Koalisi masyarakat sipil untuk penguatan kelembagaan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) Aceh meminta DPR Aceh untuk memberhentikan para komisioner saat ini karena telah berperilaku koruptif.
"Kami mendesak DPRA untuk melakukan evaluasi menyeluruh terhadap kinerja KKR Aceh untuk memperkuat kelembagaan tersebut," kata Staf LBH Banda Aceh Maulidin, di Banda Aceh, Senin.
Pernyataan tersebut disampaikan dalam rekomendasi masyarakat sipil Aceh yang kemudian dibacakan saat menggelar konferensi pers, di Banda Aceh.
Baca juga: Polisi agar lanjutkan proses pidana kasus SPPD fiktif di KKR Aceh
Koalisi masyarakat sipil untuk penguatan KKR Aceh tersebut terdiri dari tujuh LSM tersebut yakni LBH Banda Aceh, Masyarakat Transparansi Aceh (MaTA), Koalisinya Ngo HAM, ACSTF, Katahati Institut, Flower Aceh, dan KontraS Aceh.
Sebelumnya, Satreskrim Polresta Banda Aceh menemukan adanya dugaan tindak pidana korupsi pada lembaga KKR Aceh terhadap kegiatan perjalanan dinas atau SPPD fiktif yang menyebabkan adanya kerugian negara sebesar Rp258 juta.
Setelah terbukti, dan hasil audit inspektorat Aceh terdapat kerugian Rp258 juta, akhirnya komisioner KKR Aceh mengembalikan kerugian keuangan negara tersebut untuk dimasukkan kembali ke kas daerah.
Maulidin menyampaikan, pengembalian kerugian negara tidak menghapus unsur tindak pidana
korupsi sebagaimana diatur pada ketentuan peraturan perundang-undangan.
Sebagai bentuk kredibilitas dan integritas lembaga, maka Komisioner KKR Aceh beserta perangkat kerja yang melakukan dugaan tindak pidana korupsi sesuai dengan hasil penyelidikan Polresta Banda Aceh.
"Berdasarkan hasil itu, maka komisioner harus mengundurkan diri atau diberhentikan secara tidak hormat oleh DPRA," ujarnya.
Menurutnya, perilaku koruptif oleh Komisioner KKR Aceh beserta perangkat kerja nya merupakan tindakan amoral yang berdampak pada integritas lembaga itu sendiri.
"Perilaku ini juga dapat menghilangkan kepercayaan masyarakat Aceh, terutama korban konflik (lembaga KKR dilahirkan untuk korban konflik Aceh). Karena itu, DPRA segera mengevaluasi para komisioner saat ini," katanya.
Dalam kesempatan ini, koalisi masyarakat sipil Aceh juga mendesak aparat penegak hukum (APH) untuk tetap melanjutkan proses hukum dugaan tindak pidana korupsi perjalanan dinas KKR Aceh secara terbuka dan tuntas.
"Kasus ini harus dilanjutkan, demi memberikan kepastian dan keadilan hukum untuk masyarakat Aceh, terutama bagi korban konflik," kata Maulidin.
Di sisi lain, Ketua Komisi I DPRA Iskandar Usman Al Farlaky menyatakan telah memanggil para komisioner KKR Aceh untuk dilakukan evaluasi secara komprehensif.
"Sebenarnya mereka punya kewajiban itu enam bulan sekali melaporkan mengenai dengan progres kegiatan KKR Aceh. Dan kita juga mempertanyakan kenapa persoalan yang beredar itu muncul," katanya.
Artinya, lanjut Iskandar, permasalahan kasus korupsi pihaknya telah memperingatkan komisioner KKR Aceh agar dalam tenggang waktu enam bulan ke depan dapat memperbaiki kinerjanya, dan persoalan miskomunikasi internal harus bisa terselesaikan.
"Kita beri peringatan keras, tidak serta merta juga, karena prosesnya secara hukum sudah selesai di tingkat kepolisian. Artinya ini bukan kesalahan satu dua orang, tapi kesalahan kolektif kolegial, secara kelembagaan," demikian Iskandar.
Baca juga: Kasus SPPD Fiktif diselesaikan dengan KKR Aceh kembalikan kerugian negara Rp258 juta
COPYRIGHT © ANTARA News Aceh 2023
"Kami mendesak DPRA untuk melakukan evaluasi menyeluruh terhadap kinerja KKR Aceh untuk memperkuat kelembagaan tersebut," kata Staf LBH Banda Aceh Maulidin, di Banda Aceh, Senin.
Pernyataan tersebut disampaikan dalam rekomendasi masyarakat sipil Aceh yang kemudian dibacakan saat menggelar konferensi pers, di Banda Aceh.
Baca juga: Polisi agar lanjutkan proses pidana kasus SPPD fiktif di KKR Aceh
Koalisi masyarakat sipil untuk penguatan KKR Aceh tersebut terdiri dari tujuh LSM tersebut yakni LBH Banda Aceh, Masyarakat Transparansi Aceh (MaTA), Koalisinya Ngo HAM, ACSTF, Katahati Institut, Flower Aceh, dan KontraS Aceh.
Sebelumnya, Satreskrim Polresta Banda Aceh menemukan adanya dugaan tindak pidana korupsi pada lembaga KKR Aceh terhadap kegiatan perjalanan dinas atau SPPD fiktif yang menyebabkan adanya kerugian negara sebesar Rp258 juta.
Setelah terbukti, dan hasil audit inspektorat Aceh terdapat kerugian Rp258 juta, akhirnya komisioner KKR Aceh mengembalikan kerugian keuangan negara tersebut untuk dimasukkan kembali ke kas daerah.
Maulidin menyampaikan, pengembalian kerugian negara tidak menghapus unsur tindak pidana
korupsi sebagaimana diatur pada ketentuan peraturan perundang-undangan.
Sebagai bentuk kredibilitas dan integritas lembaga, maka Komisioner KKR Aceh beserta perangkat kerja yang melakukan dugaan tindak pidana korupsi sesuai dengan hasil penyelidikan Polresta Banda Aceh.
"Berdasarkan hasil itu, maka komisioner harus mengundurkan diri atau diberhentikan secara tidak hormat oleh DPRA," ujarnya.
Menurutnya, perilaku koruptif oleh Komisioner KKR Aceh beserta perangkat kerja nya merupakan tindakan amoral yang berdampak pada integritas lembaga itu sendiri.
"Perilaku ini juga dapat menghilangkan kepercayaan masyarakat Aceh, terutama korban konflik (lembaga KKR dilahirkan untuk korban konflik Aceh). Karena itu, DPRA segera mengevaluasi para komisioner saat ini," katanya.
Dalam kesempatan ini, koalisi masyarakat sipil Aceh juga mendesak aparat penegak hukum (APH) untuk tetap melanjutkan proses hukum dugaan tindak pidana korupsi perjalanan dinas KKR Aceh secara terbuka dan tuntas.
"Kasus ini harus dilanjutkan, demi memberikan kepastian dan keadilan hukum untuk masyarakat Aceh, terutama bagi korban konflik," kata Maulidin.
Di sisi lain, Ketua Komisi I DPRA Iskandar Usman Al Farlaky menyatakan telah memanggil para komisioner KKR Aceh untuk dilakukan evaluasi secara komprehensif.
"Sebenarnya mereka punya kewajiban itu enam bulan sekali melaporkan mengenai dengan progres kegiatan KKR Aceh. Dan kita juga mempertanyakan kenapa persoalan yang beredar itu muncul," katanya.
Artinya, lanjut Iskandar, permasalahan kasus korupsi pihaknya telah memperingatkan komisioner KKR Aceh agar dalam tenggang waktu enam bulan ke depan dapat memperbaiki kinerjanya, dan persoalan miskomunikasi internal harus bisa terselesaikan.
"Kita beri peringatan keras, tidak serta merta juga, karena prosesnya secara hukum sudah selesai di tingkat kepolisian. Artinya ini bukan kesalahan satu dua orang, tapi kesalahan kolektif kolegial, secara kelembagaan," demikian Iskandar.
Baca juga: Kasus SPPD Fiktif diselesaikan dengan KKR Aceh kembalikan kerugian negara Rp258 juta
COPYRIGHT © ANTARA News Aceh 2023