Penyidik Kejaksaan Tinggi Aceh melimpahkan perkara dugaan tindak pidana korupsi pertanahan di Kabupaten Aceh Tamiang ke jaksa penuntut umum (JPU).
"Pelimpahan tahap dua tersebut dilakukan setelah perkara dinyatakan lengkap atau P-21," kata Kepala Seksi Penerangan Hukum dan Humas Kejaksaan Tinggi Aceh Ali Rasab Lubis di Banda Aceh, Jumat.
Ia mengatakan perkara dugaan tindak pidana korupsi pertanahan tersebut dengan tiga tersangka yakni berinisial M, eks Kepala Badan Pertanahan Negara (BPN) Kabupaten Aceh Tamiang.
Baca juga: Kejati Aceh periksa 50 saksi kasus korupsi pertanahan
Serta TY, merupakan direktur perusahaan perkebunan eks pemegang hak guna usaha (HGU), dan TR, selaku orang yang diduga uang ganti rugi dari tanah negara.
"JPU juga melanjutkan penahanan ketiga tersangka. Penahanan ketiga tersangka sebelumnya juga dilakukan penyidik. Setelah pelimpahan perkara, JPU segera menyusun surat dakwaan untuk selanjutnya dilimpahkan ke pengadilan tindak pidana korupsi," kata Ali Rasab Lubis.
Sebelumnya, Ali Rasab Lubis memaparkan kronologis perkara berawal dari penerbitan dua HGU perkebunan karet diberikan kepada PT Desa Jaya pada 1963.
HGU pertama seluas 885,65 hektare dan HGU kedua dengan luas 1.658 hektare. Masa waktu kedua HGU tersebut selama 25 tahun. Izin HGU tersebut berakhir pada Agustus 1988.
Sejak izin HGU berakhir pada 1988 hingga sekarang, perusahaan tersebut tidak didukung alas hak dan perizinan melaksanakan usaha perkebunan. Pada 2009, TR selaku pengurus perusahaan mengajukan permohonan sertifikat hak milik di atas tanah milik negara.
Tujuan pengajuan sertifikat tanah, untuk mendapatkan pembayaran dari pengadaan tanah untuk pembangunan Makodim Aceh Tamiang. Padahal, tanah yang diajukan untuk penerbitan sertifikat tersebut adalah tanah milik negara.
Kemudian, M selaku Kepala Badan Pertanahan Negara (BPN) Kabupaten Aceh Tamiang menerbitkan sertifikat tanah dari tanah negara tersebut. Selang beberapa waktu kemudian, Pemerintah Kabupaten Aceh Tamiang melakukan ganti rugi atas tanah tersebut kepada TR dengan nilai Rp6,43 miliar.
"Penanganan kasus masih dalam proses penyidikan. Penyidik masih terus mengumpulkan keterangan serta alat dan barang bukti lainnya. Dan tidak tertutup kemungkinan adanya penambahan tersangka, tergantung hasil penyidikan," kata Ali Rasab Lubis.
"Dalam kasus ini, penyidik menyita lahan perkebunan dengan luas mencapai 1.306,5 hektare beserta enam sertifikat tanah. Kerugian negara dan perekonomian negara mencapai Rp46,8 miliar," kata Ali Rasab Lubis.
Para tersangka disangkakan primair melanggar Pasal 2 Ayat (1) jo Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.
"Serta subsidair melanggar Pasal 3 Ayat (1) jo Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP," kata Ali Rasab Lubis.
Baca juga: Kejati Aceh sita 1.306,5 ha lahan perkebunan terkait korupsi pertanahan
COPYRIGHT © ANTARA News Aceh 2023
"Pelimpahan tahap dua tersebut dilakukan setelah perkara dinyatakan lengkap atau P-21," kata Kepala Seksi Penerangan Hukum dan Humas Kejaksaan Tinggi Aceh Ali Rasab Lubis di Banda Aceh, Jumat.
Ia mengatakan perkara dugaan tindak pidana korupsi pertanahan tersebut dengan tiga tersangka yakni berinisial M, eks Kepala Badan Pertanahan Negara (BPN) Kabupaten Aceh Tamiang.
Baca juga: Kejati Aceh periksa 50 saksi kasus korupsi pertanahan
Serta TY, merupakan direktur perusahaan perkebunan eks pemegang hak guna usaha (HGU), dan TR, selaku orang yang diduga uang ganti rugi dari tanah negara.
"JPU juga melanjutkan penahanan ketiga tersangka. Penahanan ketiga tersangka sebelumnya juga dilakukan penyidik. Setelah pelimpahan perkara, JPU segera menyusun surat dakwaan untuk selanjutnya dilimpahkan ke pengadilan tindak pidana korupsi," kata Ali Rasab Lubis.
Sebelumnya, Ali Rasab Lubis memaparkan kronologis perkara berawal dari penerbitan dua HGU perkebunan karet diberikan kepada PT Desa Jaya pada 1963.
HGU pertama seluas 885,65 hektare dan HGU kedua dengan luas 1.658 hektare. Masa waktu kedua HGU tersebut selama 25 tahun. Izin HGU tersebut berakhir pada Agustus 1988.
Sejak izin HGU berakhir pada 1988 hingga sekarang, perusahaan tersebut tidak didukung alas hak dan perizinan melaksanakan usaha perkebunan. Pada 2009, TR selaku pengurus perusahaan mengajukan permohonan sertifikat hak milik di atas tanah milik negara.
Tujuan pengajuan sertifikat tanah, untuk mendapatkan pembayaran dari pengadaan tanah untuk pembangunan Makodim Aceh Tamiang. Padahal, tanah yang diajukan untuk penerbitan sertifikat tersebut adalah tanah milik negara.
Kemudian, M selaku Kepala Badan Pertanahan Negara (BPN) Kabupaten Aceh Tamiang menerbitkan sertifikat tanah dari tanah negara tersebut. Selang beberapa waktu kemudian, Pemerintah Kabupaten Aceh Tamiang melakukan ganti rugi atas tanah tersebut kepada TR dengan nilai Rp6,43 miliar.
"Penanganan kasus masih dalam proses penyidikan. Penyidik masih terus mengumpulkan keterangan serta alat dan barang bukti lainnya. Dan tidak tertutup kemungkinan adanya penambahan tersangka, tergantung hasil penyidikan," kata Ali Rasab Lubis.
"Dalam kasus ini, penyidik menyita lahan perkebunan dengan luas mencapai 1.306,5 hektare beserta enam sertifikat tanah. Kerugian negara dan perekonomian negara mencapai Rp46,8 miliar," kata Ali Rasab Lubis.
Para tersangka disangkakan primair melanggar Pasal 2 Ayat (1) jo Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.
"Serta subsidair melanggar Pasal 3 Ayat (1) jo Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP," kata Ali Rasab Lubis.
Baca juga: Kejati Aceh sita 1.306,5 ha lahan perkebunan terkait korupsi pertanahan
COPYRIGHT © ANTARA News Aceh 2023