Pemilu di Aceh sepi dari ide cemerlang para caleg yang berebut kursi legislatif. Gagasan yang digunakan keseringan klise dan usang. Kebanyakan dari mereka juga bukan menawarkan gagasan saat berkampanye.
Tiang listrik dan batang pohon di Jalan Jenderal Sudirman, Geuceu Meunara, Kota Banda Aceh tidak luput dari sasaran pemasangan alat peraga kampanye (APK) para caleg.
Ada lebih dari sepuluh caleg yang mempromosikan dirinya melalui baliho di lokasi itu. Letaknya persis berada di samping SPBU Sudirman.
Isi dari baliho yang terpasang hampir sama, berisikan foto caleg, nama caleg, nama partai disertai logo, nomor urut, daerah pemilihan (dapil), dan gagasan singkat yang dituangkan dalam bentuk slogan dengan bunyi yang beragam untuk menarik atensi masyarakat.
Seperti halnya gagasan milik caleg DPR Aceh dari Partai Adil Sejahtera (PAS), salah satu partai lokal di Aceh yang juga ikut mempromosikan diri di antara tiang listrik dan pohon di Jalan Sudirman.
Di baliho yang berwarna hijau itu, slogannya berujar “Harapan baru Aceh dalam menggapai rahmatan lil’alamin”. Disebutkan pula di dalam baliho, masyarakat yang memilih caleg dari partai yang bentukan ulama Aceh ini nantinya akan mendapat fadilah selawat sebanyak 22.555 kali.
Sementara caleg lainnya menuangkan slogan singkat hanya saja pendekatannya berbeda, seperti “Muda Komit!”, “Bersinergi Bersama Warga Kota Membangun Banda Aceh”, dan masih banyak slogan lainnya yang bunyi ujarannya tidak jauh beda.
Baca juga: Bawaslu Nagan Raya proses laporan pemilih nyoblos dua kali di TPS
Menurut pandangan Ahli Bahasa, Adnan A. Nasution, gagasan seperti itu sudah usang serta klise karena sudah sering kali digunakan. Ditinjau dari segi wacana kritis, gagasan tersebut juga tidak logis sebab tidak memuat unsur yang dikerjakan oleh seorang pejabat legislatif.
“Seharusnya, ujaran atau janji-janji yang disampaikan sesuai dengan tugas dan fungsinya nanti, bukan hal di luar itu. Contohnya, apa yang mereka inisiasi atau keberpihakan mereka ke arah mana. Bisa juga memberitahukan keberpihakan mereka pro atau kontra terhadap kebijakan eksekutif yang ada,” jelas Adnan.
Adnan menilai ruang baliho yang sempit menjadi alasan banyak caleg tidak menyertakan gagasannya ke dalam baliho. Namun, menurut dia, bukan berarti gagasan yang ada tidak bisa dituliskan sama sekali.
Para caleg tetap bisa menyampaikan gagasan secara ringkas menggunakan teori penulisan wara (copywriting) dengan memasukkan unsur Problem-Agitasi-Solusi (PAS) dalam sebuah gagasan.
“Tunjukkan apa problem yang ada sekarang. Lalu, agitasi hasutannya apa saja untuk menangani problem itu.
Setelahnya, baru sampaikan solusi. Kalimatnya tidak perlu panjang bisa terdiri atas tiga kata saja,” papar Adnan.
Apabila para caleg belum memiliki solusi atas berbagai permasalahan yang ada, gagasan alternatifnya sorot problem yang paling dekat dengan kebanyakan masyarakat. Misalnya, dengan gagasan berbunyi “Biaya pendidikan mahal, ayo dukung saya agar biaya pendidikan murah”.
Gagasan seperti itu dinilai lebih relevan dan menarik perhatian masyarakat ketimbang slogan-slogan klise dan usang tadi. Terlebih lagi, caleg petahana dapat memunculkan satu atau dua bukti kerja mereka saat menjabat sebagai gagasannya.
“Tulis saja misalnya ‘Saya inisiator beasiswa A’ atau ‘Inisiator Penanganan Stunting’. Itu lebih relevan daripada hanya menuliskan kalimat meminta doa dan dukungan dari masyarakat,” katanya.
Pada intinya, kata dia, baliho memang tidak bisa mengungkapkan seluruh gagasan, tetapi minimal bisa menyampaikan rencana yang akan dikerjakan caleg secara konkret.
Gagasan Isu Disabilitas Hampir Tak Ada
Program Manager Children and Youth Disabilities for Changes (CYDC), Erlina Marlinda, manyampaikan dirinya belum menemukan gagasan caleg di Aceh yang menyuarakan isu disabilitas.
“Saya melihat sampai detik ini, para caleg itu tidak ada yang menyuarakan hal itu,” kata perempuan yang akrab disapa Elin.
Padahal, Elin berharap banyak dari para calon legislatif dapat menemui kelompok disabilitas untuk berdiskusi terkait kebutuhan mereka. Apalagi, Qanun tentang disabilitas masih menjadi mimpi bagi kelompoknya.
“Kami membutuhkan Qanun disabilitas yang sampai sekarang belum ada. Katanya, baru tahun ini akan disusun untuk Aceh,” ujarnya
Elin menyampaikan aturan hukum tentang kelompok disabilitas baru ada di Aceh Besar, yakni Qanun Nomor 4 Tahun 2021 sedangkan di tingkat provinsi rencananya tahun ini baru akan diundangkan.
Karena itu, ia pun mendorong agar Pemerintah Aceh dapat segera melahirkan aturan tersebut agar kelompok disabilitas di seluruh kabupaten/kota bisa merasakan manfaatnya. Selain itu, juga tercipta pembangunan di Aceh yang inklusif dan ramah bagi disabilitas.
Di samping itu, Rencana Aksi Daerah (RAD) untuk penyandang disabilitas yang sudah tersusun bahkan sudah ada Pergubnya tahun ini tidak pernah terdengar dalam gagasan caleg selama ini.
Baca juga: Kelelahan hitung suara Pemilu, petugas KPPS di Bener Meriah meninggal
Meskipun tidak ditemukan dalam gagasan caleg, Elin masih berharap kepada siapa pun caleg yang terpilih pada tahun ini mempunyai visi dan misi untuk mendorong terlaksananya RAD untuk disabilitas agar kebijakan tersebut nantinya tidak menjadi sebuah dokumen negara yang ujung-ujungnya hanya duduk di laci meja para petinggi negara.
“Buat apa gitu kan, sedangkan kita ingin dokumen itu dibaca dan diimplementasikan sehingga pemenuhan untuk disabilitas berjalan sesuai dengan yang kita harapkan,” kata Elin.
APK Minim Gagasan, Pemilih Tidak Teredukasi
Alat peraga kampanye (APK) sebagai bentuk promosi caleg diakui oleh Ayu, salah seorang warga Kota Banda Aceh, kurang edukatif dan informatif. Dirinya tidak paham apa saja yang akan dilakukan calon legislatif (caleg) ini jika terpilih nantinya karena tidak ada informasi.
Terlebih kinerja mereka (caleg) yang sudah pernah menjabat sebagai legislatif di DPRK, DPRA, DPR RI, maupun DPD. Setidaknya harus ada informasi yang lebih menjelaskan tentang diri mereka.
Pengakuan lain datang dari Heriwanda. Mahasiswa dari salah satu kampus di Banda Aceh ini mengaku menentukan pilihan (caleg) saat pemilu nanti bukan dari pengaruh baliho maupun spanduk atau Alat Peraga Kampanye (APK) melainkan berlandaskan kedekatan lantaran sering bertemu orang tersebut.
Apalagi dari semua baliho ataupun spanduk yang ia lihat tidak ada visi misi dari para caleg. Bagi Heri, faktor kedekatan dirasa lebih mudah untuk menentukan pilihan dibanding melalui baliho atau spanduk karena sudah mengenal karakter si caleg, terutama di kalangan anak muda.
Informasi dari teman sejawat juga menjadi salah satu indikator pendukung untuk menentukan pilihan.
“Jika sudah mengenal lebih dulu sosok (caleg) yang maju lebih mudah dalam melihat karakter para peserta pemilu tersebut,” kata Heri.
Baca juga: MPU ajak semua pihak tidak euforia dengan hasil internal
Strategi Kampanye Sarat Politik Uang
Demi memperebutkan kursi kekuasaan di legislatif, para caleg di Aceh menggunakan banyak strategi yang ditujukan untuk mendulang suara dari masyarakat. Salah satunya dengan strategi sistem multi-level-marketing (MLM).
MLM merupakan strategi kampanye dengan cara merekrut anggota tim pemenangan sebanyak-banyaknya yang kemudian anggota tersebut ditugaskan untuk mengumpulkan pemilih.
Semakin banyak pemilih yang berhasil dikumpulkan, maka anggota akan mendapatkan penghargaan (reward) yang lebih besar.
Mursalin Nagaya, caleg DPRA Dapil 1-Banda Aceh, Aceh, Besar, dan Sabang dari Partai Nasdem menjadi salah satu caleg yang menggunakan strategi kampanye MLM untuk mencari suara. Hal itu dikonfirmasi saat dihubungi pada Minggu (11/12) lalu.
“Strategi mencari suara dengan sistem level marketing (MLM) berjejaring setiap orang mencari anggota sebanyak-banyaknya semakin banyak anggota semakin besar reward-nya dan setiap anggota merupakan timses,” kata Nagaya lewat pesan singkat.
Baca juga: MAA ajak semua komponen kembali bersatu usai Pemilu
Dalam selebaran formulir pendaftaran anggota Timses Sahabat Nagaya, dirinya menjanjikan setiap anggota yang memilihnya akan mendapatkan dana aspirasi dalam bentuk kelompok selama lima tahun.
Kemudian, anggota yang berhasil mengumpulkan 10 sampai dengan 100 orang pemilih akan mendapatkan bonus mulai dari tiket liburan ke Medan, tiket kapal pesiar/liburan ke tiga negara, hingga tiket umroh.
Selain itu, strategi bagi-bagi uang sebanyak Rp100 ribu per orang juga kerap digunakan oleh caleg untuk menggaet suara. Salah seorang pemilih pemula, Haris, mengungkapkan dirinya beberapa pernah ditawarkan uang sejumlah nilai tersebut asalkan memilih caleg tertentu.
“Pernah dapat tetapi dari orang lain menawarkan tidak langsung dari caleg. Diarahkan memilih caleg tertentu lalu dikasih uang Rp100 ribu,” ungkapnya.
Tawaran seperti itu tidak hanya sekali datang kepada Haris. Mahasiswa Fakultas Pertanian di Universitas Syiah Kuala itu menyampaikan mendapatkan iming-iming tersebut sebanyak dua kali.
“Beberapa ada yang mewajibkan untuk memilih dan sebagian lain tidak wajib. Tetapi harus menyerahkan nama dan NIK, baru dapat menerima uang tanpa ada syarat wajib memilih,” imbuhnya.
Menyikapi hal itu, Koordinator Masyarakat Transparansi Aceh (MaTA), Alfian, menilai bahwa caleg yang mengumbar janji tidak logis pertanda tidak punya visi dan misi sehingga segampang itu menawarkan perjalanan ke luar Aceh, ke luar negeri, sampai kepada umrah.
“Sumber anggarannya dari mana? Cawe-cawenya ini tentu mengarah ke Anggaran Pendapatan Belanja Aceh (APBA),” jelas Alfian.
Kalau dibilang ini salah satu kampanye, kata Alfian, bentuk kampanye tersebut tidak mendidik. Selain itu, kalau ditelaah secara mendalam, bonus yang diberikan kepada anggota pemilih berpotensi termasuk bagian dari politik uang (money politic).
“Tidak bisa bila disimpulkan ini reward atau penghargaan karena tidak ada istilah dalam pemilu, kecuali reward kepada penyelenggara pemilu atau misalnya ada tokoh masyarakat yang menemukan pelaku pelanggaran pemilu yang dianggap penting,” katanya.
Alfian menegaskan pernyataanya itu sesuai dengan Pasal 280 ayat 1 huruf j UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum mengatur tentang larangan bagi pelaksana, peserta, dan/atau tim kampanye untuk menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya sebagai imbalan kepada peserta kampanye pemilu.
“Berdasarkan UU Pemilu itu tergolong dalam money politic karena menjanjikan uang/materi. Kalau dibilang reward kepada tim sukses. Apakah itu termasuk tim sukses karena disebutkan tim sukses yang sudah ditentukan atau terdaftar dan itu tidak perlu lagi disebarluaskan,” kata Alfian.
Di sisi lain, penawaran uang senilai Rp100 ribu dengan tujuan agar caleg tertentu dipilih juga bagian dari politik uang berdasarkan UU Pemilu No. 7 Tahun 2017. Meskipun, dalam aturan baru Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) No. 15 tahun 2023, caleg boleh memberikan hadiah kepada pemilih berupa barang tapi nilainya tidak lebih dari Rp 100 ribu rupiah.
“Pemberian uang itu adalah money politik walaupun dikasih cuma Rp100 ribu karena pesannya jelas. Sebelumnya, di pemilu 2019 malah batasnya Rp60 ribu. Kalau kita lihat ini aturan-aturan yang memberi peluang untuk para caleg melakukan money politik,” katanya.
Alfian berpendapat para caleg yang justru lebih memilih menawarkan iming-iming uang daripada gagasan yang dimiliki tidak punya tujuan jelas untuk menyejahterakan masyarakat.
“Karena untuk kesejahteraan umat manusia, bukan soal bantuan uang yang diperlukan. Tetapi, bagaimana proses pengembangan ide/program yang harus dijalankan ke depan,” katanya.
Tulisan ini merupakan hasil liputan kolaboratif yang dilakukan oleh Nurul Hasanah (Antaranews Aceh); Ulfah (KBA.One); Indra Wijaya (Serambinews.com); dan Haris Al Qausar (Digdata.id) yang tergabung dalam Klub Jurnalis Investigasi (KJI) Aceh. Isi konten dan konsekuensi bukan merupakan tanggung jawab redaksi
Baca juga: KIP Aceh Besar pastikan proses penghitungan suara KPPS tuntas
COPYRIGHT © ANTARA News Aceh 2024