Para ahli biologi menemukan aktivitas unik pada orang utan sumatera (pongo abelii) jantan bernama Rakus di Suaq Balimbing, Aceh Selatan, bagian dari Taman Nasional Gunung Leuser. Satwa itu mengobati lukanya secara mandiri dengan mengoleskan getah dari daun akar kuning. 

Penemuan itu dipublikasikan di Scientific Reports pada 2 Mei 2024 oleh ahli biologi sekaligus peneliti dari Development and Evolution of Cognition Research Group, Max Planck Institute of Animal Behavior, Jerman, Isabelle B Laumer dan Caroline Schuppli. 

Laporan itu juga ditulis oleh Arif Rahman, Tri Rahmaeti, dan Sri Suci Utami Atmoko dari Fakultas Biologi dan Pertanian Universitas Nasional, Ulil Azhari dari SUAQ Project, Medan, serta Hermansyah dari Yayasan Ekosistem Lestari (YEL).

Dalam jurnalnya, para ahli itu menyebutkan telah mengobservasi Rakus menyembuhkan luka di bagian wajahnya pada Juni-Agustus 2022. 

Hasil observasi menunjukkan setelah tiga hari mengalami luka, Rakus secara selektif merobek daun tanaman liana dengan nama umum akar kuning (fibraurea tinctoria).

Baca juga: Satu individu orang utan mati terseret banjir di Gayo Lues

Rakus mengunyah daun tersebut kemudian berulang kali mengoleskan getah yang dihasilkan ke luka di wajah. Sebagai langkah terakhir, dia menutupi seluruh lukanya dengan daun yang sudah dikunyah. 

Selain itu, peneliti juga mencatat Rakus beristirahat lebih lama dari biasanya setelah terluka, yang mungkin berdampak positif terhadap penyembuhan luka karena pelepasan hormon pertumbuhan, sintesis protein, dan pembelahan sel meningkat selama tidur.

Laumer melihat, bahwa waktu istirahatnya meningkat saat terluka, dibandingkan ketika masih sehat, dan kembali berkurang setelah lukanya sembuh.

Fenomena itu juga telah dituliskan dalam jurnal Active self-treatment of a facial wound with a biologically active plant by a male sumatran orangutan yang dikutip di scientific reports. 

Adapun luka yang terdapat di bagian wajah Rakus itu diduga didapatkan akibat berkelahi dengan orang utan jantan lainnya yang ada di Taman Nasional Gunung Leuser.

"Pengamatan terhadap Rakus sebenarnya sudah dilakukan sejak Maret 2009. Pada saat itu, Rakus masih berupa jantan tanpa sayap (dewasa tetapi tanpa ciri-ciri seksual sekunder). Diperkirakan lahir pada akhir 1980-an dan sepenuhnya menjadi pejantan sejak Agustus 2021," kata Laumer. 

Tidak hanya Rakus, para ahli dari Max Planck Institute of Animal Behavior, Jerman ini sudah menjadikan orang utan sumatera liar di Suaq Balimbing sebagai subjek penelitian non invasif dan hampir secara eksklusif bersifat observasional. 

Baca juga: BKSDA Aceh evakuasi orang utan dari kebun sawit di Subulussalam

Namun, selama 21 tahun dan 28.000 jam pengamatan, para peneliti tidak pernah melihat ada orang utan lain di lokasi itu yang menggunakan fibraurea tinctoria untuk mengobati lukanya. 

Dalam amatan mereka dari beberapa orang utan terluka, sejauh ini  hanya orang utan berflang bernama Pluto yang juga mencoba mengobati luka secara mandiri, tetapi tidak menggunakan akar kuning, melainkan dengan air tanaman kantong semar. 
 
Pluto berulang kali memasukkan jarinya yang terluka ke dalam air tanaman kantong semar. Air tersebut diduga memiliki efek mendinginkan yang pada akhirnya dapat menghilangkan rasa sakit atau membantu membersihkan luka.

Laumer memastikan, perilaku Rakus memulihkan diri sendiri disengaja, karena orang utan ini secara selektif merawat luka di bagian wajah dengan sari tanaman tersebut, dan tidak menggunakan pada bagian tubuh lainnya.

“Perilaku tersebut diulangi beberapa kali, tidak hanya sari tanaman tetapi kemudian bahan tanaman yang lebih padat diaplikasikan hingga luka tertutup seluruhnya, dan prosesnya memakan waktu yang cukup lama,” tulis Laumer. 

Ahli Biologi tersebut menduga, pengobatan luka dengan fibraurea tinctoria muncul melalui inovasi individu orang utan yang tidak disengaja. 

Ada individu yang mungkin secara tidak sengaja menyentuh lukanya saat memakan fibraurea tinctoria, lalu secara tidak sengaja juga mengoleskan sari tanaman ke lukanya.

Karena fibraurea tinctoria memiliki efek analgesik yang kuat, individu mungkin akan segera merasakan pelepasan rasa sakit, menyebabkan mereka mengulangi perilaku tersebut beberapa kali dan kemudian mengoleskan bahan tanaman padat yang mungkin juga menutupi luka sebagai perlindungan terhadap lalat. 
 
Dalam kasus Rakus, Laumer dan peneliti lainnya menduga perilaku orang utan yang mengobati luka dengan akar kuning akan dapat ditemukan dalam populasi kelahirannya. 

Sementara itu, Rakus diketahui tidak lahir di Suaq Balimbing, sebab menurut para peneliti orang utan jantan berpencar dari wilayah kelahirannya selama/setelah masa pubertas dalam jarak yang jauh untuk membangun wilayah jelajah baru di wilayah lain. Hingga saat ini, asal habitat Rakus masih belum diketahui. 

Baca juga: JPU Kejati Aceh masih kaji vonis hakim perkara perdagangan orang utan

Temuan lain pengobatan mandiri satwa
Pengobatan mandiri pada satwa bukan temuan baru bagi para peneliti. Pada awal 1960-an, untuk pertama kalinya peneliti bernama Goodall menemukan keberadaan daun utuh dalam kotoran simpanse (pan troglodytes) di Gombe Stream, Tanzania. 

Perilaku hewan yang menelan daun utuh kemudian berhasil di dokumentasikan lebih banyak pada akhir tahun 1990-an setelah melakukan penelitian terhadap kera besar di Afrika. 

Kera besar tersebut mengunyah empulur pahit (vernonia amygdalina) yang terbukti memiliki fungsi terapeutik dan antiparasit. 

Pengobatan dengan menelan daun juga ditemukan pada bonobo (pan paniscus), gorila (misalnya Gorila beringei graueri), dan hanya pada satu spesies kera Asia, siamang bertangan putih (hylobates lar).

Selain itu, orang utan betina Kalimantan (pongo pygmaeus) di Sabah, Malaysia, yang terluka parah juga pernah ditemukan memakan daun dan batang jahe (zingiberaceae). 

Jahe dikenal sebagai tanaman obat tradisional yang dapat mengatasi radang dengan sifat antibakteri, antivirus, dan antijamur.  

Laumer menjelaskan, selama tujuh tahun pengamatan, tidak ada individu lain, kecuali dua pejantan berflang yang pernah teramati memakan spesies jahe yang sama di lokasi penelitian. 

"Para peneliti menyimpulkan bahwa remaja tersebut mungkin telah mencoba mengobati dirinya sendiri dengan tanaman ini,” sebut Laumer dalam jurnalnya.

Penelitian lain, menunjukkan orang utan Kalimantan memakan bagian tumbuhan yang sama dari dua spesies tumbuhan (uncaria gambir roxb dan pternandra galeata ridl), yang digunakan oleh dukun setempat untuk mengobati penyakit dalam, tumor, dan pendarahan.

Tidak hanya itu, mereka juga mengamati orang utan Kalimantan betina yang selektif memilih daun muda mezzetia sp, daging buah dyera lowii dan Ilex cymosa, serta daun belang handipek (scolopia macrophylla). 

Kombinasi tumbuhan ini digunakan dalam etnomedis sebagai pencegahan terhadap kelelahan. 

Terlepas dari laporan-laporan tersebut, secara keseluruhan, kata Laumer, bukti konsumsi tumbuhan untuk pengobatan mandiri pada orang utan masih terbatas. 

Namun, semakin banyak bukti yang menunjukkan penerapan senyawa tanaman aktif secara biologis pada kulit orang utan. 

Di hutan rawa gambut Sabangau, Kalimantan Tengah, dua orang utan Kalimantan betina dewasa dan satu orang utan betina remaja diamati mengunyah daun dracaena cantleyi selama tiga hingga lima menit, kemudian menggosokkan busa hijau-putih yang dihasilkan ke lengan dan kaki mereka selama hingga 35 menit. 

Baca juga: Kejati: JPU belum bersikap terkait vonis hakim perkara orang utan

Sepuluh tahun kemudian, penelitian lanjutan menemukan perilaku yang sama pada enam orang utan betina dewasa dan satu laki-laki berflang dari populasi yang sama. Busa tersebut juga dioleskan dan dipijat ke kulit hingga 45 menit.

Perilaku ini tampaknya disengaja karena hanya bagian tubuh tertentu yang dirawat, perilaku tersebut diulangi beberapa kali hingga rambut benar-benar basah dan seluruh proses memakan waktu yang cukup lama. 

"Dari dokumentasi yang dilakukan, orang utan teramati tidak pernah terlihat memakan daunnya," ujar Laumer.

Dracaena cantleyi merupakan tanaman obat yang digunakan oleh masyarakat adat untuk beberapa pengobatan termasuk nyeri otot, nyeri sendi atau tulang, nyeri setelah stroke, dan bengkak. 

Analisis farmakologis juga mengungkapkan bahwa dracaena cantleyi menghambat produksi sitokin inflamasi yang diinduksi TNF sehingga bertindak sebagai agen antiinflamasi.

Akar kuning, diburu masyarakat 
Akar kuning (fibraurea tinctoria) yang digunakan orang utan Rakus untuk mengobati luka merupakan tumbuhan liana dari Suku Menispermaceae. 

Tumbuhan ini bersifat epifit, hidup dengan merambat/melilit pada tumbuhan lain dengan diameter batang mulai dari 5 centimeter hingga 20 meter.

Fibraurea tinctoria dikenal karena efek analgesik, antipiretik, penawar racun, dan diuretiknya. Karena efeknya tersebut, tanaman ini digunakan dalam pengobatan tradisional untuk mengobati penyakit seperti disentri, diabetes, dan malaria. 
Batang akar kuning atau dikenal uyet using banyak dicari masyarakat Gayo Lues untuk dijual kepada pengepul di Medan. Batang uyet kuning diyakini memiliki banyak khasiat yang dapat digunakan sebagai obat, Senin(7/5/2024). (ANTARA/HO/Dok. Scientific Reports, Isabelle Laumer, dkk)

Jurnal yang dipublikasikan Laumer menyebutkan, fibraurea tinctoria menunjukkan aktivitas tertinggi yang diuji untuk efek antimalaria dibandingkan 38 tanaman lainnya yang juga digunakan dalam etnomedis di Vietnam Selatan. 

Daun dan batang fibraurea tinctoria juga telah terbukti menghambat pertumbuhan beberapa spesies bakteri, termasuk Bacillus cereus, Staphylococcus aureus, dan Escherichia.

Fibraurea tinctoria juga menunjukkan efek anti-inflamasi yang signifikan dalam mengurangi edema kaki.

Di Aceh, tumbuhan akar kuning ini hampir dapat ditemukan di seluruh kawasan Hutan Ekosistem Leuser (KEL) mulai dari dataran rendah hingga dataran tinggi Gayo Lues. 

Tumbuhan jenis ini juga dapat ditemukan di hutan Tiongkok, Indonesia, Malaysia, Thailand, Vietnam, dan wilayah lain di Asia Tenggara.

Dosen Jurusan Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA) Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh, Essy Harnelly, menyebutkan tumbuhan akar kuning dikenali oleh masyarakat Gayo Lues dengan nama uyet using atau uyet kuning. 

Penelitian yang pernah dilakukan oleh mahasiswa Essy baru-baru ini, ditemukan beberapa jenis tumbuhan akar kuning yang hidup di kawasan Hutan Leuser dataran tinggi Gayo Lues, yakni fibraurea tinctoria dan arcangelisia flava. 

Hasil identifikasi penelitian terhadap tumbuhan liana ini, ada sebanyak 1.372 individu fibraurea tinctoria dan 303 individu arcangelisia flava yang hidup di hutan Kecamatan Pining, Gayo Lues, yang juga merupakan bagian dari KEL. 

“Meskipun sama-sama jenis akar kuning, bentuk daunnya berbeda. Bentuk daun arcangelisia flava bulat dan runcing sedangkan fibraurea tinctoria lebih lonjong,” kata Essy.

Penelitian itu juga menemukan tumbuhan uyet kuning ini banyak diburu oleh masyarakat Gayo Lues untuk dijual kepada pengepul yang ada di Medan, Sumatera Utara. 

Permintaan akar kuning dari pengepul Medan ini diduga untuk diolah lagi turunannya sebagai obat. 

“Yang dijual ini bukan daunnya, tetapi batang akar kuningnya yang kemungkinan akan diolah sebagai obat,” ujar Essy. 

Sementara itu, Kepala Bidang Teknis Konservasi Balai Besar Taman Nasional Gunung Leuser (BBTNGL) Andrinaldi Adnan mengatakan khusus di kawasan TNGL, pemungutan akar kuning sebagai hasil hutan bukan kayu (HHBK) dimungkinkan melalui kegiatan budidaya tradisional atau pemungutan HHBK dalam rangka pemberdayaan masyarakat.

Asalkan, ketentuan pemungutan tersebut dilakukan oleh kelompok masyarakat sekitar kawasan untuk pemenuhan kebutuhan sehari-hari dan telah dilakukan secara turun temurun. 

“Pemberian akses pemberdayaan masyarakat didasari oleh inventarisasi potensi dan identifikasi terhadap kelompok masyarakat yang melakukan pemungutan,” kata Andrinaldi.

Meskipun begitu, Andrianaldi menyatakan pihaknya juga menerapkan upaya perlindungan keberadaan akar kuning agar tidak terjadi pengambilan secara berlebihan tanaman tersebut untuk kawasan TNGL.

Untuk pemanfaatan HHBK (termasuk akar kuning) Balai Besar TNGL mengarahkan pemanfaatan dilakukan melalui budidaya tradisional, yaitu memungut indukan dari dalam
kawasan TNGL untuk selanjutnya dibudidayakan di luar kawasan TNGL. 

“Hal ini untuk mencegah terjadinya dampak negatif dari pemanfaatan HHBK terhadap keutuhan ekosistem kawasan TNGL,” ujarnya. 

Upaya lain yang dilakukan yakni menerapkan regulasi yang mengatur pemanfaatan HHBK (termasuk akar kuning) yaitu Peraturan Menteri LHK Nomor: P.43/MENLHK/SETJEN/KUM.1/6/2017 tentang Pemberdayaan Masyarakat di Sekitar Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam.

Yaitu dengan menginventarisasi dan kajian terhadap potensi dan jumlah HHBK yang dapat dimanfaatkan, lokasi pemanfaatan, serta menentukan metode atau tata cara dan waktu pemanfaatan.

Kemudian, lanjut dia, melakukan perlindungan kawasan sekaligus monitoring potensi HHBK melalui kegiatan patroli berbasis aplikas Spatial Monitoring and Reporting Tool (SMART) bersama mitra dan masyarakat.

"Terakhir kita juga melakukan sosialisasi terkait pengelolaan kawasan TNGL (termasuk pemanfaatan HHBK) kepada pemerintah daerah, masyarakat sekitar, dan pihak terkait lainnya untuk melindungi kawasan hutan Leuser," tutup Andrianaldi.

Baca juga: Orang utan ditemukan mati, BBKSDA turunkan tim investigasi
 

Pewarta: Nurul Hasanah

Editor : M.Haris Setiady Agus


COPYRIGHT © ANTARA News Aceh 2024