Pasangan calon Gubernur dan Wakil Gubernur Aceh terpilih Muzakir Manaf-Fadhlullah (Mualem-Dek Fadh) berkomitmen untuk melakukan pemerataan akses kesehatan di Aceh.
Komitmen tersebut disampaikan dalam debat publik Pilkada 2024 yang berlangsung pada Jumat malam (1/11/2024). Mereka menyatakan rencana untuk membangun tiga rumah sakit regional di wilayah selatan, tengah, dan timur Aceh guna memastikan bahwa seluruh masyarakat dapat mengakses layanan kesehatan yang memadai.
“Dalam visi misi kami, kami tegaskan akan membangun 3 RS regional yang terletak di Pantai Barat Selatan, poros tengah, dan di Pantai Timur. Supaya semua masyarakat Aceh terjamin sama seperti sila kelima,” ujar Fadhlullah.
Baca juga: Pemidanaan, bukan satu-satunya solusi melindungi perempuan dan anak
Selain itu, mereka juga merencanakan untuk menyediakan ambulans laut bagi wilayah terpencil seperti Simeulue dan Sabang, serta memastikan bahwa kualitas pelayanan kesehatan di daerah setara dengan fasilitas di kota-kota besar.
“Kami sangat memahami seperti Simeulue, Sabang, kami akan menyiapkan ambulan laut untuk mereka dan kami pastikan pelayanan sama seperti yang di pusat kota,” imbuh Fadhlullah.
Namun, gagasan pembangunan rumah sakit regional ini bukanlah hal baru. Pada 2015, Mualem yang saat itu menjabat sebagai Wakil Gubernur Aceh bersama Gubernur Zaini Abdullah telah menetapkan pembangunan lima rumah sakit regional di berbagai wilayah Aceh.
Rumah sakit regional yang ditetapkan saat itu yakni, Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Tjut Nya’ Dhien (Aceh Barat), RSUD Yulidin Away (Aceh Selatan), RSUD Datu Beru (Takengon), RS Regional Bireuen (Bireuen), dan RSUD Langsa (Langsa).
Namun, pembangunan rumah sakit ini terhambat oleh korupsi yang berakibat proyek tersebut mangkrak. Contohnya, RSUD Tjut Nya’ Dhien di Aceh Barat yang hingga kini belum beroperasi meskipun pembangunannya dimulai pada 2017 dengan anggaran sekitar Rp332,2 miliar.
Begitu pula dengan RSUD Langsa dan RS Regional Bireuen, yang kondisinya terbengkalai. Pembangunan RSUD Langsa bahkan baru mencapai kurang dari 30 persen meskipun telah menghabiskan lebih dari Rp169 miliar dari anggaran yang direncanakan sebesar Rp600 miliar.
Sementara itu, RSUD Datu Beru Takengon tersandung korupsi dengan kerugian negara mencapai Rp1,17 miliar. Dugaan korupsi ini mencuat setelah ambruknya bangunan bagian teras pada 2022.
Halaman selanjutnya: pelayanan kesehatan masyarakat miskin
Pelayanan kesehatan sulit dijangkau masyarakat miskin
Ketua Yayasan Blood For Life Foundation (BFLF) Aceh, Michael Octaviano, menyoroti pelayanan kesehatan di Aceh masih terpusat di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Zainoel Abidin di Banda Aceh.
Akibatnya, masyarakat miskin di berbagai daerah Aceh terutama yang menderita penyakit kronis seperti kanker, leukemia, gagal ginjal, dan thalasemia banyak yang enggan berobat karena tidak punya biaya untuk ongkos perjalanan dan akomodasi selama berada di Ibu Kota Banda Aceh.
“Ini sangat menyulitkan masyarakat karena jarak tempuh yang begitu panjang, membuat kondisi daya tahan masyarakat itu yang sudah sakit menjadi lemah. Yang kedua, biaya transportasi, biaya akomodasi, biaya makan juga yang membuat masyarakat menjadi enggan untuk bisa melakukan pengobatan,” kata Michael.
Baca juga: Paslon gubernur klaim anggaran PPA kurang maksimal di Aceh, benarkah?
Selain itu, lanjut Michael, kondisi ini juga akan berdampak pada pekerjaan pendamping pasien, yang seringkali harus mengambil cuti atau berhenti bekerja karena terpaksa bolak-balik ke Banda Aceh untuk menemani pasien berobat.
“Itu tidak sedikit yang berhenti bekerja atau diberhentikan juga akhirnya kan ekonomi keluarga terganggu,” kata Michael.
Di samping itu, anak-anak yang harus menjalani pengobatan jangka panjang pun terpaksa sering absen dari sekolah yang berakibat pada ketertinggalan pelajaran. Bahkan, mereka sering merasa minder dan menjadi korban perundungan yang membuat mereka putus sekolah.
"Kondisi ini sangat tidak adil bagi mereka. Anak-anak ini sudah harus menghadapi penyakit, tetapi juga kehilangan kesempatan pendidikan," tegas Michael.
Sebagai informasi, Michael melalui Yayasan BFLF Aceh mengoperasikan rumah singgah untuk membantu masyarakat fakir miskin dari daerah yang membutuhkan penginapan selama berobat di RSUD Zainoel Abidin.
Namun, kapasitas rumah singgah terbatas dan sering kali harus menerima lebih banyak pasien dari kapasitas yang ideal.
“Rumah singgah ini seharusnya hanya dapat menampung 8 pasien, tetapi sering kali harus menampung hingga 13 pasien karena tingginya kebutuhan,” katanya.
Baca juga: Perempuan dan anak Aceh belum sepenuhnya terlindungi
Karena itu, Michael mengatakan pembangunan RS regional seperti yang dijanjikan Mualem-Dek Fadh sangat mendesak agar masyarakat miskin di wilayah terpencil yang jauh dari Banda Aceh bisa segera mendapatkan pelayanan terbaik tanpa perlu khawatir lagi dengan biaya.
“Nah inilah akses-akses yang selama ini terpusat, yang tidak bisa di sentral. Sangat mendukung sekali kalau memang program itu bisa dibuat sehingga bisa memperpendek. Yang kedua, aktivitas kehidupan, ekonomi, keluarga juga bisa berlangsung,” demikian Michael.
*Konten ini merupakan bagian dari program fellowship cek fakta Aliansi Jurnalis Independen (AJI)
Baca juga: AJI Banda Aceh buka posko liputan dan cek fakta Pilkada Aceh
COPYRIGHT © ANTARA News Aceh 2024