Di Jakarta, Desember tidak pernah benar-benar datang sebagai bulan penutup tahun yang tenang. Sejak lama, dua tanggal di awal bulan ini membawa kewaspadaan tersendiri bagi pemerintah pusat tanggal 1 Desember, yang diklaim sebagai hari “kemerdekaan” oleh pendukung Organisasi Papua Merdeka (OPM) dan 4 Desember, yang diperingati oleh sebagian masyarakat Aceh sebagai hari lahir Gerakan Aceh Merdeka (GAM).
Masing-masing tanggal membawa jejak sejarah, narasi identitas, dan resonansi politik yang tidak pernah hilang sepenuhnya, meskipun konflik bersenjata di kedua wilayah itu telah mengalami perubahan signifikan.
Di ruang-ruang rapat kementerian, di meja intelijen, di pos-pos tentara di Papua, serta di kantor pemerintahan Aceh, awal Desember selalu menjadi periode di mana kepekaan meningkat. Di lapangan, aparat keamanan mengaktifkan pola siaga. Di ruang digital, pemerintah memantau peningkatan percakapan tentang Papua dan Aceh, terutama dari jaringan diaspora dan kelompok advokasi internasional. Di Jakarta, ketenangan tampak seperti biasa, tetapi tensi politik selalu naik beberapa derajat pada dua tanggal tersebut.
Jakarta dan 1 Desember, Ketika Papua Menjadi Pusat Perhatian
Menjelang 1 Desember, suasana di Papua biasanya berubah. Aktivitas harian tetap berlangsung, tetapi ada lapisan kewaspadaan yang terasa. Di Wamena, Jayapura, atau Timika dan wilayah lainnya, aparat keamanan memperbanyak patroli. Jalan-jalan tertentu dijaga lebih ketat. Titik-titik yang sebelumnya pernah terjadi bentrokan atau pengibaran simbol separatis diperhatikan secara khusus.
Bagi pendukung OPM, 1 Desember adalah simbol sejarah. Mereka merujuk pada pengibaran Bintang Kejora pada 1961 sebagai momen “kemerdekaan Papua”, meskipun secara hukum dan politik internasional klaim itu tidak pernah diakui. Namun, seperti halnya banyak simbol politik lain, kekuatan 1 Desember tidak berada pada fakta hukum, tetapi pada makna historis yang terus dipertahankan sebagian kelompok.
Baca juga: Mantan GAM Pase peringati Milad dengan zikir
Aksi Lapangan dan Ruang Digital
Pada tahun-tahun sebelumnya, sejumlah insiden terjadi menjelang atau setelah 1 Desember. Serangan terhadap aparat, penyanderaan pekerja, pembakaran fasilitas publik, atau penembakan sporadis di daerah pegunungan merupakan pola yang berulang. Kelompok bersenjata memanfaatkan tanggal ini sebagai panggung untuk menunjukkan bahwa mereka masih ada. Bagi pemerintah, setiap aksi kecil bisa berkembang menjadi isu keamanan yang signifikan.
Di kota-kota besar Papua, aparat menempatkan perhatian khusus pada kegiatan mahasiswa dan kelompok sipil. Beberapa organisasi lokal biasanya menggelar diskusi atau aksi simbolik, sementara aparat berupaya memastikan kegiatan tersebut tidak berkembang menjadi kerumunan yang dapat memicu ketegangan.
Seiring perkembangan media sosial, 1 Desember kini tidak hanya dirayakan di lapangan, tetapi juga di ruang digital. Di Twitter, Instagram, dan Facebook, kampanye tentang Papua meningkat tajam menjelang tanggal tersebut. Tagar-tagar tertentu dinaikkan oleh jaringan diaspora di Australia, Belanda, Inggris, dan negara-negara Pasifik.
Isu yang diangkat biasanya berporos pada pelanggaran HAM, sejarah integrasi Papua, hingga seruan referendum. Jakarta memperhatikan perkembangan ini dengan cermat karena opini internasional dapat terbentuk dari potongan video, foto, atau narasi yang tersebar cepat tanpa konteks.
Sorotan yang Tak Pernah Padam
Pada 1 Desember, kelompok solidaritas Papua di luar negeri sering menggelar aksi unjuk rasa di depan kantor-kantor pemerintah setempat atau kedutaan besar Indonesia. Pemerintah Indonesia biasanya merespons melalui pernyataan diplomatik dan penjelasan resmi mengenai situasi di Papua.
Kedutaan besar Indonesia di berbagai negara sering harus menyiapkan siaran pers untuk meluruskan informasi yang beredar. Situasi ini bukan sesuatu yang mengancam kedaulatan negara, tetapi tetap menjadi sumber kecemasan Jakarta karena menyangkut reputasi internasional.
Jakarta dan 4 Desember Tenang Namun Penuh Memori
Aceh hari ini tidak lagi berada dalam suasana konflik. Jalan-jalan di Banda Aceh ramai hingga malam. Anak-anak bermain di halaman masjid, dan kehidupan berlangsung seperti daerah lain di Indonesia. Namun setiap 4 Desember, ada semacam ingatan yang kembali hidup.
Berbeda dengan Papua, Aceh telah memasuki fase damai yang stabil setelah perjanjian damai Helsinki tahun 2005. Namun simbolisme 4 Desember tanggal yang dianggap sebagai hari lahir GAM pada 1976 tetap menjadi penanda identitas bagi sebagian masyarakat.
Di beberapa wilayah bekas basis GAM, seperti Pidie, Bireuen, dan Aceh Utara, kegiatan peringatan 4 Desember sering berlangsung dalam bentuk doa bersama atau zikir. Tidak ada senjata. Tidak ada tuntutan merdeka. Namun kegiatan ini tetap menjadi perhatian pemerintah pusat karena sejarah panjang konflik Aceh yang mencatat lebih dari 15.000 korban jiwa.
Pemerintah pusat tahu bahwa momen seperti ini bisa menjadi ruang artikulasi politik lokal, entah berupa kritik terhadap jalannya otonomi khusus atau terkait dinamika ekonomi dan pemerintahan di Aceh.
Baca juga: Menimbang Sentralisasi Polri dalam Cermin Perbandingan Internasional
Dinamika Politik Lokal & Kompleksitas Setelah Damai
Jika Papua masih berhadapan dengan kelompok bersenjata aktif, Aceh menghadapi persoalan yang lebih politis. Mantan kombatan GAM kini banyak yang berpolitik melalui partai lokal. Fragmentasi di internal mantan GAM yang terbagi ke dalam berbagai faksi membuat peringatan 4 Desember kadang dijadikan panggung untuk menunjukkan kedekatan dengan basis massa atau mengirim sinyal kepada pihak lawan.
Jakarta mencermati ini bukan karena takut Aceh kembali bergejolak secara militer, tetapi karena dinamika politik yang dapat memengaruhi stabilitas daerah, terutama menjelang pemilu atau pembahasan kebijakan strategis seperti dana Otonomi Khusus Aceh.
Aceh menerima dana otonomi khusus yang cukup besar sejak 2008. Namun distribusi dan pemanfaatannya acap kali menjadi perdebatan. Di tingkat akar rumput, sebagian masyarakat mengeluhkan ketimpangan ekonomi dan ketidakmerataan program kesejahteraan.
Ketidakpuasan ini tidak langsung terkait dengan separatisme, tetapi bisa menjadi bahan narasi saat momentum 4 Desember berlangsung. Jakarta memantau situasi ini karena faktor ekonomi sering menjadi pemicu ketegangan sosial jika tidak dikelola dengan baik.
Mengapa Dua Tanggal Ini Membuat Jakarta Cemas?
Meski situasi Aceh relatif stabil dan kapasitas bersenjata OPM tidak sebesar klaimnya, kedua tanggal itu tetap menjadi catatan penting bagi Jakarta. Ada setidaknya empat alasan utama mengapa kecemasan itu tetap muncul setiap tahun.
Pertama, Kekuatan Simbol Lebih Besar dari Kekuatan Senjata, Dalam konflik etnis dan identitas, simbol sering bertahan lebih lama daripada gerakan itu sendiri. 1 Desember dan 4 Desember adalah simbol yang membawa memori panjang dan hubungan emosional yang sulit dihapus. Simbol semacam ini dapat memobilisasi kelompok, memicu sensitivitas, atau bahkan menciptakan momentum konsolidasi baru.
Kedua, Resiko Geopolitik dan Tekanan Internasional, Papua, khususnya, masih menjadi perhatian sejumlah negara dan kelompok internasional. Aksi-aksi pada 1 Desember mudah memicu laporan media luar negeri yang kadang menyederhanakan konteks dan menimbulkan tekanan diplomatik terhadap Jakarta. Ketiga, Perang Narasi di Era Digital, Peristiwa kecil bisa menjadi besar dalam hitungan jam jika direkam dan disebarkan di media sosial. Pemerintah harus mengelola narasi dengan cepat dan akurat agar tidak terjadi distorsi informasi. Kampanye digital mengenai Papua jauh lebih intens dibanding satu dekade lalu.
Terakhir, Dinamika Lokal yang Sulit Diprediksi, Papua dan Aceh memiliki karakter sosial yang berbeda, tetapi memiliki kesamaan dalam hal kerumitan dinamika lokal. Ketegangan kecil di satu wilayah bisa memicu respon yang lebih besar jika terjadi pada tanggal yang sarat simbolisme.
Baca juga: Intelijen: Selamat Datang Era "Cold War Vol.2"
Desember, Sejarah, dan Masa Depan
Setiap 1 dan 4 Desember, Jakarta bukan hanya mengawasi potensi gangguan keamanan, pemerintah juga tengah berhadapan dengan masa lalu bangsa. Kedua tanggal itu adalah cermin sejarah Indonesia yang penuh kompleksitas dari konflik identitas, ketidakpuasan politik, hingga perjuangan menuju perdamaian dan pembangunan.
Di Papua, pekerjaan rumah masih panjang. Ketimpangan pembangunan, persoalan hak adat, dan kehadiran kelompok bersenjata masih membutuhkan solusi jangka panjang berbasis dialog dan pembangunan yang inklusif. Di Aceh, tantangan tidak lagi berbentuk senjata, tetapi konsolidasi politik dan pemerintahan yang stabil.
Jika Indonesia mampu melewati momen-momen simbolik ini dengan damai dan tanpa eskalasi, itu berarti negara semakin matang dalam mengelola keragaman dan memori kolektif. Namun untuk sampai ke titik itu, Jakarta perlu terus menjaga keseimbangan antara keamanan, diplomasi, pembangunan, dan penghormatan terhadap identitas lokal.
Desember barangkali tetap bulan yang membuat pusat pemerintahan cemas. Tetapi kecemasan itu tidak harus menjadi ketakutan. Ia bisa menjadi pengingat bahwa perdamaian dan stabilitas adalah proses yang harus terus dirawat, bukan sekadar hasil yang dapat diterima begitu saja.
*Penulis Dr. Safriady S.sos, M.I.kom adalah pemerhati isu strategis, akademisi, praktisi media, instruktur pelatihan, dan Doktor Ilmu Komunikasi dari Universitas Padjajaran.
Baca juga: Perundungan, Dampak dan Gengsi Sekolah
Editor : Febrianto Budi Anggoro
COPYRIGHT © ANTARA News Aceh 2025