Meulaboh (Antaranews Aceh) - Komisi Informasi Aceh (KIA) mengadakan konsultasi publik Rancangan Qanun (raqan) Aceh tentang Pengelolaan keterbukaan informasi publik untuk wilayah barat Aceh di Kabupaten Aceh Barat, Provinsi Aceh.
Ketua KIA Dr Afrizal Tjoetra di Meulaboh, Kamis menegaskan, kegiatan tersebut perlu dilaksanakan agar pengelola informasi publik pada satu lembaga semakin mengerti betapa pentingnya keterbukaan informasi publik dan tata cara penyajian data.
"Keterbukaan informasi publik sangat penting, namun siapa saja yang melakukan penyalahgunaan data informasi publik dari sebuah lembaga publik, maka pelakunya bisa dikenakan tindak pidana," katanya disela-sela kegiatan di Aula Setdakab Aceh Barat.
Dia menjelaskan, setiap orang dengan sengaja menggunakan informasi publik secara melawan hukum, dapat dipidana dengan ancaman penjara paling lama satu tahun dan atau denda paling banyak Rp5 juta.
Ia meminta, sebelum menyerahkan sebuah dokumen dari lembaga publik, pejabat pengelola informasi dan dokumentasi (PPID), wajib melakukan pendataan terhadap pemohon guna menanyakan secara jelas untuk kepentingan data yang diminta.
Kalau pun, digunakan untuk publikasi di media atau publikasi di website lembaga tertentu, juga harus diperjelas sehingga bisa dilakukan pengecekan apakah penggunaan data tersebut telah sesuai digunakan oleh seseorang/perwakilan lembaga yang memohon.
"Akan tetapi, apabila data informasi publik yang sudah diterima dari lembaga publik ini, tiba-tiba digunakan untuk kepentingan lain diluar subtansi yang tidak jelas, maka lembaga publik yang merasa dirugikan atas penyalahgunaan," tegasnya.
Lebih lanjut Afrizal, menyebutkan, selama ini sudah ada masyarakat maupun lembaga swadaya yang meminta data kepada lembaga pemerintah, namun sejauh ini belum ditemukan adanya kasus tindak pidana penyalahgunaan data informasi publik di Aceh.
Namun, permintaan data informasi publik dalam jumlah besar memang pernah ditemukan seperti di Kota Banda Aceh, dalam persoalan ini seseorang pemohon meminta data dalam jumlah banyak pada satu lembaga pemerintah.
"Namun saat data tersebut sudah disiapkan dalam jumlah banyak, malah si pemohon mengambil data tersebut dalam jumlah sedikit, dengan alasan tak mampu membayar biaya fotokopi data yang sebelumnya sudah ia minta," imbuhnya.
Dampak dari persoalan ini kata dia, justru petugas yang sudah menyiapkan data yang kasihan karena petugas telah mengeluarkan biaya untuk memfotokopi data yang diminta oleh di pemohon, hal demikian menurut dia, tidak boleh terjadi.
Karenanya, Afrizal Tjoetra, meminta kepada setiap PPID yang bertugas, untuk meminta keterangan dari pemohon dan menanyakan untuk kepentingan apa data tersebut diminta untuk menghindarkan dari hal-hal yang tidak memiliki tujuan yang jelas.
"Apabila tidak jelas untuk apa digunakan, pihak PPID lebih baik tidak melayani permintaan tersebut, karena dikhawatirkan akan disalahgunakan oleh si pemohon karena tidak sesuai dengan kepentingan dan peruntukkannya," pungkasnya.
COPYRIGHT © ANTARA News Aceh 2018
Ketua KIA Dr Afrizal Tjoetra di Meulaboh, Kamis menegaskan, kegiatan tersebut perlu dilaksanakan agar pengelola informasi publik pada satu lembaga semakin mengerti betapa pentingnya keterbukaan informasi publik dan tata cara penyajian data.
"Keterbukaan informasi publik sangat penting, namun siapa saja yang melakukan penyalahgunaan data informasi publik dari sebuah lembaga publik, maka pelakunya bisa dikenakan tindak pidana," katanya disela-sela kegiatan di Aula Setdakab Aceh Barat.
Dia menjelaskan, setiap orang dengan sengaja menggunakan informasi publik secara melawan hukum, dapat dipidana dengan ancaman penjara paling lama satu tahun dan atau denda paling banyak Rp5 juta.
Ia meminta, sebelum menyerahkan sebuah dokumen dari lembaga publik, pejabat pengelola informasi dan dokumentasi (PPID), wajib melakukan pendataan terhadap pemohon guna menanyakan secara jelas untuk kepentingan data yang diminta.
Kalau pun, digunakan untuk publikasi di media atau publikasi di website lembaga tertentu, juga harus diperjelas sehingga bisa dilakukan pengecekan apakah penggunaan data tersebut telah sesuai digunakan oleh seseorang/perwakilan lembaga yang memohon.
"Akan tetapi, apabila data informasi publik yang sudah diterima dari lembaga publik ini, tiba-tiba digunakan untuk kepentingan lain diluar subtansi yang tidak jelas, maka lembaga publik yang merasa dirugikan atas penyalahgunaan," tegasnya.
Lebih lanjut Afrizal, menyebutkan, selama ini sudah ada masyarakat maupun lembaga swadaya yang meminta data kepada lembaga pemerintah, namun sejauh ini belum ditemukan adanya kasus tindak pidana penyalahgunaan data informasi publik di Aceh.
Namun, permintaan data informasi publik dalam jumlah besar memang pernah ditemukan seperti di Kota Banda Aceh, dalam persoalan ini seseorang pemohon meminta data dalam jumlah banyak pada satu lembaga pemerintah.
"Namun saat data tersebut sudah disiapkan dalam jumlah banyak, malah si pemohon mengambil data tersebut dalam jumlah sedikit, dengan alasan tak mampu membayar biaya fotokopi data yang sebelumnya sudah ia minta," imbuhnya.
Dampak dari persoalan ini kata dia, justru petugas yang sudah menyiapkan data yang kasihan karena petugas telah mengeluarkan biaya untuk memfotokopi data yang diminta oleh di pemohon, hal demikian menurut dia, tidak boleh terjadi.
Karenanya, Afrizal Tjoetra, meminta kepada setiap PPID yang bertugas, untuk meminta keterangan dari pemohon dan menanyakan untuk kepentingan apa data tersebut diminta untuk menghindarkan dari hal-hal yang tidak memiliki tujuan yang jelas.
"Apabila tidak jelas untuk apa digunakan, pihak PPID lebih baik tidak melayani permintaan tersebut, karena dikhawatirkan akan disalahgunakan oleh si pemohon karena tidak sesuai dengan kepentingan dan peruntukkannya," pungkasnya.
COPYRIGHT © ANTARA News Aceh 2018