Pengamat Politik dan Antropolog Universitas Malikul Saleh Lhokseumawe Teuku Kemal Pasya menilai diusia ke-14 tahun perdamaian Aceh namun kesejahteraan belum kunjung terwujud di provinsi paling barat Indonesia.

"Patut kita syukuri sudah 14 tahun perdamaian di Aceh, tapi belum mampu mewujudkan kesejahteraan bagi masyarakat," kata Teuku Kemal Pasya ketika dihubungi dari Banda Aceh, Jumat.

Pernyataan ini disampaikannya saat dimintai tanggapannya terkait peringatan 14 tahun perdamaian Aceh antara Pemerintah Republik Indonesia dengan Gerakan Aceh
Merdeka (GAM) pada, 15 Agustus 2005 di Helsinki, Finlandia.

Undang-Undang Pemerintah Aceh (UUPA) Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh yang lahir pasca perdamaian memberikan ruang yang besar untuk pengelolaan pemerintah daerah guna mendorong peningkatan kesejahteraan masyarakat setempat.

"UUPA itu produk politik dan banyak kekhususan diberikan untuk Aceh, tapi regulasinya belum cukup maksimal untuk peningkatan sosial maupun kesejahteraan," kata dia.

Menurut Teuku Kemal, Aceh memiliki dana otonomi khusus (otsus) yang cukup besar, namun lagi-lagi pengelolaannya tidak maksimal. Hal tersebut sungguh sangat memprihatinkan bahkan membingungkan.

"Kemampuan manajerial sangat lemah sehingga menyebabkan tidak tepatnya pengambilan kebijakan dan ironinya lagi angka korupsi di Aceh pun masih tinggi," ucap dia.

Meski demikian, ia mengajak para elit politik di Aceh maupun masyarakat secara umum
untuk terus merawat perdamaian dan mengisinya dengan kegiatan-kegiatan positif agar mampu meningkatkan perekonomian masyarakat paling barat Indonesia.

"Jika kembali berperang sama saja dengan keledai, dan para elit politik serta teknokrat harus rela berkorban serta menumbuhkan idealismenya untuk mensejahterakan masyarakat agar Aceh tidak lagi termasuk daerah termiskin di Sumatera," demikian kata Teuku Kemal.
 

Pewarta: Irman Yusuf

Uploader : Salahuddin Wahid


COPYRIGHT © ANTARA News Aceh 2019