Banda Aceh, 4/4  (Antaraaceh) - Kelapa sawit kini menjadi  komoditas andalan rakyat, karena Indonesia saat ini  menjadi produsen crude palm oil (CPO) terbesar di dunia.
Wakil Menteri Perdagangan Bayu Khrisna Murti pernah menyatakan Indonesia sejak tahun 2006 telah menjadi pemasok CPO terbesar dunia mengalahkan dominasi Malasyia.
Berdasarkan data World Palm Oil Produkction tahun 2006 Indonesia menyumbang 15,9 juta ton atau 44 persen produksi CPO dunia, sedangkan Malasyaia 15,8 juta ton (43 persen).
Produksi CPO sebanyak itu dihasilkan dari perkebunan kelapa sawit seluas 9,2 juta hektare, dan 3,77 juta hektare milik rakyat, dan selebihnya milik swasta dan BUMN.
Nilai devisa yang masuk dari agro industri sawit sebesar 21 miliar dolar Amerika Serikat (Rp205 triliun). Angka itu juga setara dengan 13,7 persen ekspor non migas keseluruhan yang mencapai 153 miliar dolar.
Menurut Sekretaris Jenderal DPP Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) Asmar Arsjad saat menyampaikan pandangannya tentang potensi kelapa sawit pada workshop dengan Kaukus Wartawan Peduli Syariat Islam (KWPSI) di Banda Aceh, Rabu menyatakan, kelapa sawit kini satu-satunya komoditas yang diperhitungkan di pasar ekspor.
"Kalau 15 tahun lalu, Indonesia selalu di bawah Malaysia, tapi sejak 2006, Indonesia berada di atas Negeri Jiran tersebut soal penghasil CPO terbesar di dunia, sehingga ini merupakan peluang bagi petani kita untuk lebih meningkatkan kesejahteraan melalui perkebunan kelapa sawit," katanya.
Oleh karenanya, kelapa sawit kini telah menjadi komoditas unggulan dalam pembangunan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat pada umumnya dan pembangunan angro industri di Indonesia pada khususnya, tutur dia.
Tapi, yang lebih membanggakan, kata Asmar, dari total luas perkebunan kelapa sawit di Indonesia, terdapat 3,8 juta hektare milik rakyat, termasuk dalam program plasma dengan melibatkan sedikitnya 20 juta petani.
Menurut Asmar di tengah berkembangnya perkebunan kelapa sawit ada kecendrungan dari pemerintah kurang memperhatikan nasib petani, karena dari luas lahan milik petani belum  ada satu pun pabrik kelapa sawit (PKS).
"Kalau kita bandingkan dengan Malaysia, pemerintahnya sangat memperhatikan petani, sehingga di sana ada sejumlah PKS milik petani yang dikelola seperti koperasi," katanya.
Ia menyatakan kalau petani sudah punya PKS sendiri maka tidak bisa dipermainkan pengusaha, seperti terjadinya fluktuasi harga.
Karena, kata dia, kalau ada regulasi yang memberatkan perusahaan, dan mengakibatkan terjadinya biaya tinggi, semua itu akan dibebankan ke petani.
"Jadi, selama ini banyak peraturan dari pemerintah kepada perusahaan perkebunan yang  mengakibatkan biaya tinggi. Kebiasaan dari perusahaan, biaya tinggi itu dibebankan kepada petani, sehigga muncul kemiskinan struktural," katanya.
Seharusnya, pemerintah lebih memperhatikan nasib petani kelapa sawit, kalau mau komoditas ini tetap bersaing di pasar internasional dan Indonesia tetap menjadi produsesn CPO terbesar di dunia.
Ia mengharapkan dana bea keluar yang terkumpul sebesar Rp100 triliun agar dikembalikan kepada petani untuk dimanfaatkan perluasan kelapa sawit nasional, khususnya kelapa sawit rakyat.
Juru bicara Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) Toufan Mahdi menyatakan, satu-satunya sektor yang masih bisa diandalkan Indonesia sekarang ini adalah industri kelapa sawit.
Dikatakannya disaat komoditas perkebunan seperti kopi, coklat, dan karet menghadapi persaingan yang kuat dari berbagai negara, tapi kelapa sawit justru berada di atas, sehingga menjadi tumpuan perekonomian bagi Indonesia.
Menurut dia, neraca pembayaran Indonesia akan divisit  lebih dalam lagi, kalau tidak ada industri kelapa sawit.
Kampanye Hitam
Gemerlapnya industri kelapa sawit ternyata banyak problem, antara lain kampanye hitam dari penghasil minyak nabati lain di Eropa dan Amerika.
Wartawan senior Aceh yang sering mengikuti berbagai seminar tentang sawit, Ir H Nurdinsyam menyatakan kampanye negatif yang dilancarkan oleh pihak asing harus mampu dilawan dengan kampanye positif oleh petani dan pengusaha kepala sawit.
"Pengusaha sawit harus mampu meyakinkan pihak asing dan pembeli luar negeri bahwa budidaya kelapa sawit tidak merusak lingkungan," ucap Nurdinsyam.
Menurut Tofan, kempanye negatif terhadap sawit Indonesia itu, karena terkait dengan perang dagang dengan minyak nabati yang diproduksi Eropa dan Amerika.
"Minyak nabati yang terbuat dari jagung, kedele, dan bunga matahari, ternyata kalah bersaing dengan minyak kelapa sawit, sehingga negera-negara di Eropa dan Amerika berupaya bagaimana minyak kelapa sawit kalah bersaing dengan mengatasnamakan lingkungan," katanya.
Dikatakannya kampanye anti kelapa sawit sangat sistematis yang melibatkan aktivis lingkungan dan dananya cukup besar.
Namun, demikian kata Taofan, pihaknya akan terus melakukan sosialisasi sampai ke luar negeri bahwa kelapa sawit tidak merusak lingkungan, justru dengan adanya perkebunan tersebut bisa mengangkat derajat rakyat miskin di pedesaan.
Dikatakannya sosialisasi seperti yang dilakukan GAPKI dengan KWPSI ini juga dilakukan di provinsi lainnya, sehingga para wartawan mengetahui manfaat kelapa sawit bagi rakyat dan meningkatkan nasionalisme.
Sekjen DPP Apkasindo Asmar menyatakan kelapa sawit  memberikan dampak yang besar bagi peningkatan perekonomian rakyat dan  tidak merusak lingkungan.
Asmar Arsyad mengatakan selama ini kelapa sawit selalu diisukan negatif. Kelapa sawit dianggap banyak menyerap air dan mengganggu keseimbangan lingkungan.
Menurutnya, isu tersebut tidak ada dasarnya dan itu sengaja dihembuskan oleh para pakar untuk kepentingan negara-negara asing.
"Isu itu dihembuskan untuk kepentingan dagang negara-negara Eropa, dimana mereka ingin mengambil keuntungan dengan kampanye negatif terhadap perkebunan sawit di Aceh dan Indonesia," ucapnya.
Pemerintah juga harus mau menyuarakan bahwa perkebunan sawit ini ramah lingkungan, tidak seperti yang dilontarkan negara-negara di Eropa, yang menyebutkan sawit ini menyebabkan perubahan iklim, ujar Asmar Arsjad.
Sementara itu, pakar lingkungan Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) Banda Aceh Dr Mahidin ST MT mengatakan, banyak manfaat dari tanaman kelapa sawit. Namun, masyarakat salah mengelola kelapa sawit pascapanen, sehingga menimbulkan dampak kerusakan lingkungan.
"Bila proses pengolahan kelapa sawit dilakukan dengan benar maka perkebunan kelapa sawit tidak membawa dampak buruk bagi lingkungan," kata Mahidin.
Dari hasil penelitian yang dilakukan, budidaya kelapa sawit secara besar-besaran tidak menyebabkan banjir dan tanah longsor, juga tidak banyak menyerap air, tambahnya lagi.
Oleh karenanya, industri perkebunan kelapa sawit dapat "diajak" ramah lingkungan dengan menerapkan prinsip-prinsip atau asas-asas yang sudah disepakati bersama oleh para pihak untuk sawit berkelanjutan, demikian Mahidin.

Pewarta:

Editor : Salahuddin Wahid


COPYRIGHT © ANTARA News Aceh 2014