Di samudera ini ada tiga selat yang vital bagi lalu lintas maritim dunia, termasuk militer.
Selat pertama adalah Hormuz yang menghubungkan Teluk Persia dengan Laut Arab di Samudera Hindia. Selat ini menjadi saluran untuk 2/3 perdagangan minyak dunia.
Selat kedua adalah Bab-al-Mandab di Tanduk Afrika yang terhubung ke Laut Merah, Terusan Suez dan Laut Tengah yang memisahkan Afrika dan Eropa.
Selat ketiga adalah Malaka yang diapit Malaysia dan Indonesia, yang merupakan jalur penghubung Samudera Hindia dan Pasifik.
Jalur sempit selebar 2,7 km antara Singapura dan Batam menjadi ujung selat ini. Singapura sendiri mengelola seperlima perdagangan maritim dunia.
Mengingat pentingnya jalur-jalur ini, negara-negara yang berkepentingan dengan keamanan dan stabilitas lautan ini berusaha memastikan jalur-jalur ini tidak mengganggu kepentingan ekonomi mereka.
Ini pula di antara alasan China berkepentingan membangun pangkalan militer di Djibouti. Sepertinya China tak akan berhenti di Djibouti, jika tantangan geopolitik dan keamanan maritim menjadi kian pelik.
Sebaliknya, setiap manuver China dalam mengerahkan aset-aset pertahanannya demi keamanan jalur perdagangannya di Samudera Hindia, akan membuat cemas India dan Australia, selain juga Amerika Serikat.
Jepang yang tak mau kehilangan pijakan pengaruh dan ekonominya di Asia Selatan dan Tenggara, juga terusik.
Dinamika ini membuat Samudera Hindia menjadi lingkungan keamanan baru yang menjadi tempat kepentingan-kepentingan negara besar bertabrakan, termasuk Iran, Pakistan, dan India.
Jika tak dikelola dengan baik, maka kekeruhan, seperti terjadi di Laut China Selatan bisa mencapai Samudera Hindia, termasuk Teluk Benggala dan Laut Andaman yang membatasi India, Sri Lanka, Bangladesh, Myanmar, Thailand, Malaysia, dan Indonesia.
Sebaliknya, bisa juga persinggungan kepentingan malah mendorong kerja sama antara negara-negara berpantai Samudera Hindia, karena permusuhan sering hanya menciptakan kehancuran dan hilangnya peluang.