Solo (ANTARA) -
"Substansi RUU ada hal mendasar yang menjadi cara pandang kami. Ketika menyusun draf undang-undang penyiaran, yang pertama kami memandang harus ada perlakuan yang sama antara siaran di dunia penyiaran dengan siaran di media sosial atau media baru," kata Wakil Ketua Komisi I DPR RI Abdul Kharis Almasyhar pada seminar nasional Masukan Publik Untuk Revisi UU Penyiaran di Monumen Pers Nasional di Solo, Jumat.
Menurut dia, pada revisi UU penyiaran, baik televisi maupun media baru harus mendapatkan perlakuan yang sama di hadapan aturan atau undang-undang.
"Kami tidak akan membedakan karena ketika ada perbedaan aturan ini maka akan menjadi agak ruwet seperti sekarang. Contohnya TV-TV swasta termasuk TVRI, salah sedikit disemprit. Di sisi lain ketika ada kesalahan (di media sosial) tetap melenggang sak karepe dewe (seenaknya)," katanya.
Oleh karena itu, kata Kharis, apapun bentuk siarannya, baik dalam bentuk cuplikan maupun pernyataan dalam bentuk podcast, semua akan kena peraturan yang sama.
Ia juga mengharapkan dengan revisi UU penyiaran ini dapat menciptakan iklim siaran atau iklim penyiaran yang lebih berpihak pada edukasi kepada masyarakat.
"Jadi mendidik masyarakat untuk lebih baik, bukan kemudian memberikan kesempatan masyarakat menikmati hiburan yang kecenderungannya absurd," katanya.
Ia mencontohkan ada sebuah chanel di media sosial yang menyiarkan dialog-dialog berbahasa kasar.
"Dalam 15 menit, misuh-nya (mengumpat) bisa sampai 100 kali, tapi itu ditonton oleh ratusan ribu orang, aneh kan. Berarti ini ada yang salah, kenapa masyarakat suka nonton justru tontonan yang sepanjang acara misuh-misuh, pakai Jawa Timuran pula," katanya.
Oleh karena itu, ia berharap dengan lahirnya UU penyaran yang baru akan menyuguhkan tontonan yang lebih mendidik untuk masyarakat.