Banda Aceh (ANTARA) - LSM Gerakan Anti Korupsi (GeRAK) Aceh dan LBH Banda Aceh meminta kepolisian melanjutkan kasus korupsi SPPD fiktif di Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) Aceh, karena upaya pengembalian keuangan negara tidak menghilangkan unsur pidananya.
"Pengembalian Rp258 juta lebih oleh Komisioner KKR itu sebenarnya tidak bisa dia dengan serta merta dihapus pidana yang melekat, tetap wajib harus dilanjutkan," kata Koordinator GeRAK Aceh Askhalani di Banda Aceh, Jumat.
Sebelumnya, KKR Aceh mengembalikan kerugian keuangan negara sebesar Rp258,5 juta dari temuan kasus dugaan tindak pidana korupsi pada kegiatan perjalanan dinas (SPPD) fiktif di lembaga tersebut.
Karena adanya pengembalian, penyidik Satreskrim Polresta Banda Aceh kemudian menyelesaikan kasus itu secara restorative justice, dan kasus yang melibatkan tujuh komisioner KKR Aceh itu tidak dilanjutkan lagi.
Askhalani mengatakan, penghentian perkara korupsi KKR Aceh karena telah dilakukan pengembalian uang negara tidak berdasar. Karena jika merujuk pada pasal 4 UU Tipikor disebutkan bahwa pengembalian kerugian keuangan negara tidak menghapus pidana.
"Ketentuan itu juga diatur dalam pasal 2 dan 3 Undang-Undang 31 tahun 1999 Jo UU 20 tahun 2001 tentang pemberantasan korupsi di Indonesia," ujarnya.
Askhalani mencontohkan, banyak penanganan perkara oleh aparat penegak hukum terhadap dugaan tindak pidana korupsi yang melibatkan keuchik (kepala desa) dan aparat gampong dalam kasus dana desa.
Bahkan, nilai kerugian keuangan negaranya yang dikembalikan lebih kecil, tetapi kasusnya juga berlanjut sampai penuntutan. Sebenarnya itu bisa dijadikan contoh.
Intinya, kata Askhalani, pengembalian kerugian keuangan negara tidak bisa menghapus pidana, jika kemudian dilakukan penghentian, maka juga harus dilakukan upaya gelar perkara ke Biro Wassidik Mabes Polri.
"Gelar perkara itu perlu untuk menelusuri apakah unsur pelanggaran, dan penghentian perkara itu sudah cukup dalilnya atau tidak," kata Askhalani.
Sementara itu, Direktur LBH Banda Aceh, Syahrul menyatakan bahwa jika audit kerugian keuangan negara dalam kasus SPPD fiktif KKR Aceh itu dilakukan atas dasar permintaan penyidik, maka pidananya harus berlanjut.
Kata Syahrul, jika audit tersebut dilakukan sendiri oleh inspektorat, maka bisa dilakukan penyelesaian di luar hukum. Artinya, bisa melalui mekanisme APIP (aparat pengawas intern pemerintah).
Tetapi, kalau berdasarkan permintaan kepolisian atau dalam untuk kepentingan proses hukum, maka tidak boleh langsung menghapus pidananya.
"Karena permintaan polisi, maka pengembalian kerugian negara tidak bisa menghapus pidana. Hal itu juga telah diatur dalam UU Tipikor," katanya.
Syahrul menilai ada kekeliruan jika kasus korupsi tersebut dihentikan, karena seharusnya itu tetap berlanjut demi kepentingan hukum.
"Apalagi semuanya sudah terang , berapa orang yang terlibat, berapa nominalnya dan apa modusnya, maka ini harus berlanjut," demikian Syahrul.
Baca juga: Kasus SPPD Fiktif diselesaikan dengan KKR Aceh kembalikan kerugian negara Rp258 juta