Banda Aceh (ANTARA) - Pemerintah Aceh menetapkan libur hari tasyrik Idul Adha 1445 Hijriah untuk masyarakat dan aparatur sipil negara (ASN) di tanah rencong, yakni pada 19-20 Juni 2024. Dengan begitu, ada empat hari libur bersama Idul Adha di Aceh.
"Dengan ketentuan itu maka warga di Aceh akan benar benar merasakan nikmat hari tasyrik selama empat hari awal Idul Adha," kata Pj Gubernur Aceh Bustami Hamzah di Banda Aceh, Senin.
Kebijakan libur hari tasyrik Idul Adha tersebut ditetapkan lewat Keputusan Gubernur (Kepgub) Aceh Nomor 100.3.3.1/845/2024 Tentang Penetapan Hari Raya yang diliburkan setelah Idul Adha 1445 H/2024 Masehi. Sedangkan libur bersama secara nasional hanya dua hari pada 17-18 Juni.
Bustami menegaskan, kebijakan tersebut juga telah sesuai dengan ketentuan dalam agama Islam yang melarang umatnya beraktivitas selama berlangsungnya hari tasyrik Idul Adha.
"Bahkan, umat Islam melakukan ibadah kurban dalam koridor hari Tasyrik, di luar itu tak lagi namanya kurban," ujarnya.
Namun, lanjut Bustami, dua hari libur untuk melengkapi hari tasyrik tersebut bakal diganti dengan dua hari kerja pada Sabtu 22 Juni 2024, dan Sabtu 29 Juni 2024 di pekan berikutnya.
Gubernur mengingatkan, kepada seluruh pimpinan unit untuk mengawasi stafnya serta memastikan benar-benar bekerja pada hari pengganti, guna memastikan kepada masyarakat tentang berjalannya pelayanan maksimal.
"Penetapan libur untuk melengkapi hari tasyrik itu juga atas konsideran terkait UU dan Qanun (peraturan daerah) menyangkut Keistimewaan Aceh, termasuk UU Pemerintah Aceh," demikian Bustami.
Keputusan Gubernur Aceh itu disambut baik salah seorang ulama muda Aceh, Ustadz Masrul Aidi menyatakan bahwa kebijakan seperti itu sudah lama disuarakannya. Apalagi Aceh merupakan daerah yang memiliki otonomi atau kekhususan dalam pelaksanaan syariat Islam.
“Kita telah suarakan itu sejak lama, warga juga menanti kebijakan dari umaranya. Alhamdulillah kini telah ditanggapi dan bahkan sudah dalam aksi nyata," katanya.
Dirinya berharap, Kepgub tersebut tidak bersifat temporer dan parsial secara waktu, tetapi harus permanen dengan pembuatan qanun.
"Dengan demikian, ketetapan itu akan permanen sifatnya, bukan hanya karena kehendak sosok pimpinan daerah," demikian Ustadz Masrul Aidi.