Guru besar dari USK Prof. Harun Ar-rasyid mengatakan penggunaan Bahasa Aceh di sekolah dan ruang publik semakin menurun. Sementara di dayah dan balai pengajian masih cukup kuat.
FGD tersebut membahas dua isu utama, yaitu antisipasi kepunahan Bahasa Aceh dan implementasi Qanun Bahasa Aceh.
Rektor ISBI Aceh, Prof. Wildan menekankan pentingnya konsistensi dalam pelaksanaan Qanun Bahasa Aceh, terutama pada Bab VIII yang mengatur 17 poin pengembangan bahasa dan 11 poin pengembangan sastra.
“ISBI telah membuka Program Studi Bahasa Aceh, namun masih menghadapi keterbatasan dosen ahli dan kurikulum. Pelaksanaan Qanun harus diiringi dukungan nyata agar bahasa ini benar-benar berkembang,” katanya.
Baca: Peneliti BRIN sebut bahasa Aceh dalam status terancam punah
Perwakilan Lembaga Wali Nanggroe Aceh, Abdullah Hasbullah, menyoroti minimnya penggunaan Bahasa Aceh dalam penyelenggaraan adat dan kegiatan budaya. Ia juga menyoroti masih adanya stigma negatif terhadap penutur Bahasa Aceh.
“Wali Nanggroe akan mendorong agar Bahasa Aceh diajarkan tidak hanya di kampus, tetapi juga di sekolah-sekolah hingga gampong. Bahasa adalah bagian tidak terpisahkan dari adat,” katanya.
Perwakilan dari Balai Bahasa Provinsi Aceh, Ibrahami Sembiring menambahkan bahwa Qanun Bahasa Aceh sejalan dengan program revitalisasi bahasa daerah yang dijalankan oleh Kemendikbudristek melalui program Merdeka Belajar sejak 2022.
Balai Bahasa telah melakukan revitalisasi Bahasa Gayo dan tahun ini melanjutkan ke sejumlah daerah lain.
“Bahasa Aceh belum sepenuhnya terancam punah, tetapi gejala kemundurannya sudah terlihat di rumah tangga. Ini menjadi peringatan dini agar semua pihak bergerak,” katanya.
Baca: BBPA dorong penerapan bahasa daerah Aceh dalam pendidikan
