Tenunan sebagai salah satu mahakarya seni di bidang perkainan telah menjadi ciri khas dan kebanggaan di kalangan perempuan pemakainya.

Sumatera Utara dikenal dengan ulos, Kalimantan Timur ada kain doyo, tenun ikat populer di Bali, tenun Toraja dari Flores dan Sumba maka di Sumatera Barat dikenal kain songket.

Beragam jenis tenun yang tersebar dari Sabang hingga Merauke dengan berbagai keunikan mencirikan kearifan lokal daerah seakan menunjukkan betapa kayanya Indonesia akan karya seni bermutu tinggi.

Sumatera Barat juga menjadi bagian dari keragaman tenun tersebut, beberapa daerah memiliki tenunan yang khas, mulai dari warna serta motif yang digunakan.

Di Kabupaten Tanah Datar terdapat beberapa macam tenunan songket, seperti Songket Pitalah, Pandai Sikek, Batipuah, Tanjuang Sungayang, Lintau, Pariangan serta Padang Magek.

Jika selama ini songket banyak digunakan sebagai bahan pakaian, di tangan kreatif Nita Nilam Sari songket dipadu padankan dengan kulit sehingga tercipta tas perempuan dengan corak yang indah.

Berawal dari kecintaannya pada tas jenis kulit yang digunakan untuk koleksi pribadi karena banyak peminat akhirnya ia pun resmi memproduksi tas kulit dengan brand Duck Bag.

Perempuan kelahiran Padang 16 November 1978 itu pun memilih kulit sapi yang murni dan premium dengan pewarnaan yang alami untuk menghadirkan tas berkualitas.

"Pertama kali saya pakai sendiri, ternyata teman-teman bilang eh bagus tasnya," ujar ibu tiga anak tersebut.

Pada 2014 ia memproduksi tas kulit hanya untuk dipasarkan di lingkungan terdekat saja.

Ternyata banyak permintaan yang pemasarannya menyebar dari mulut ke mulut.

Nita pun mulai berpikir jika tas kulit adalah hal biasa maka perlu dilakukan kreasi baru agar lebih menarik.

Ia pun menemukan ide untuk memadukan tas kulit dengan songket sehingga hadir tas yang tak hanya bagus namun juga mengangkat ciri khas karya tenunan asal Sumbar.

"Kita punya kain tradisional saya coba padu padankan ternyata responnya bagus dan positif, akhirnya saya memberanikan diri memproduksi dalam jumlah banyak," kata istri dari Admartin tersebut.

Akhirnya setelah dua tahun memperkenalkan produk pada 2016 produknya mulai dikenal dan mampu menjual 60 sampai 70 tas kulit yang dipadukan dengan songket.

Untuk memproduksi tas Nita memilih membuat di Yogyakarta dengan melibatkan perajin setempat serta tenaga ahli dengan pertimbangan seni lebih tinggi.

"Ada tiga perajin saya di Yogyakarta, termasuk perajin kulit yang bisa menyamak," ujarnya.

Ia pun menjajal produknya dengan mengikuti pameran terbilang besar yakni Indonesia Fashion Week dengan biaya sendiri dan mendapatkan respon yang baik.

Usai pameran tersebut Duck Bag ditawari memasukan produknya di Alun-Alun Grand Indonesia salah satu pusat perbelanjaan terkemuka di ibu kota negara.

Tak hanya itu ia pun mencoba membawa produknya ke Bali dan mendapatkan respon yang cukup baik.

Duck Bag pun berkesempatan menjadi salah satu UKM binaan BNI dan dibawa serta dalam Inacraft 2019 yaitu festival produk kerajinan paling bergengsi di Tanah Air karena juga diikuti peserta dari luar negeri.

Terkait pilihan merek Duck Bag ia mengemukakan ada filosofi dibalik nama yaitu bebek yang identik dengan Minang karena ada kuliner itiak lado hijau dan ada ukiran bernama itiak pulang patang.

"Saya mengambil bebek karena tidak bisa berjalan sendiri, saya ingin merangkul perajin dan UKM lain untuk bersama-sama mengenalkan produk," kata dia.

Misalnya ia bekerja sama dengan perajin kulit hingga songket untuk maju bersama-sama mengembangkan usaha.

"Kalau di Sumbar saya bekerja sama dengan perajin songket Pandai Sikek, di Jawa perajin kulit, jadi tidak berjalan sendiri" katanya.

Dengan filosofi itu Duck Bag tidak memiliki workshop di Padang dan untuk produksi dipusatkan di Yogyakarta lewat sinergi tadi.

Jika sesama UKM menyatu, saling mengisi saya ambil produknya seperti songket dan kulit serta saya juga bisa mendapatkan pemasukan, katanya.

Saat ini pemasaran duck bag lebih terfokus secara lisan karena Nita mengaku belum siap memasarkan dalam skala lebih luas.

Apalagi pembuatan tas butuh seni yang tinggi dan waktu cukup lama mengingat produknya berjenis premium yang membidik para sosialita sebagai pasar.

Satu tas itu bisa pengerjaan lima hari dengan harga paling murah mulai dari Rp1,5 juta dan tertinggi dibanderol Rp3,5 juta.

"Pasarnya cukup bagus, ibu-ibu sekarang kalau sudah pakai tas ingin kekinian, kalau sudah punya duck bag ingin nambah koleksi baru," katanya lagi.

Untuk menjaga ekslusif produk, satu model tas paling banyak diproduksi hanya empat saja dengan warna yang berbeda.
Tas dengan lapisan songket Minang karya Nita Nilam Sari. (Antara/Ikhwan Wahyudi)

Terkait kendala yang dihadapi Nita mengemukakan ia sulit mendapatkan bahan songket karena memilih menggunakan songket berkualitas memakai benang makobarek dengan motif lama.

Agar produknya tidak pasaran ia pun rela berburu songket dengan motif lawas sehingga produknya benar-benar autentik.

Kalau kulit ia biasanya mengambil dari Magetan bekerja sama dengan perajin untuk diolah dan disamak sendiri.

Kini paling sedikit ia memproduksi paling kurang 30 tas yang sebagiannya merupakan pesanan konsumen.

Untuk pemasaran kendala yang dihadapi adalah bagaimana mengedukasi kalangan masyarakat yang masih berorientasi pada tas merek luar.

"Produk anak negeri tidak kalah kualitasnya dibandingkan luar negeri lho," katanya.

Kemudian kendala lain adalah pada waktu tertentu kulit kosong karena harus berebut dengan perajin lainnya dan orang yang benar-benar ahli dalam pewarnaan juga terbatas.

Berkat kreativitasnya duck bag pun mulai dikenal di luar negeri apalagi di pasarkan di alun-alun Grand Indonesia yang juga kerap dikunjungi wisatawan asing.

"Ada permintaan dari Paris, Singapura bahkan ada juga dari Belgia namun saya belum sanggupi karena khawatir kualitas produk turun," katanya.

Kini Nita bercita-cita memiliki pabrik kulit yang menunjang produksinya sehingga bisa memproduksi dengan jumlah lebih banyak.
 

Pewarta: Ikhwan Wahyudi

Uploader : Salahuddin Wahid


COPYRIGHT © ANTARA News Aceh 2020