Dua alat deteksi SARS-CoV-2 penyebab COVID-19 yang dikembangkan perguruan tinggi di Jawa Barat yakni Unpad dan ITB, sedang divalidasi ke sampel virus sebenarnya.
Kedua alat itu adalah Deteksi CePAD atau Tes Cepat 2.0, dan Surface Plasmon Resonance (SPR).
Koordinator peneliti tes cepat COVID-19 Unpad dari Fakultas MIPA, Muhammad Yusuf mengatakan validasi ke sampel virus dilakukan setelah kedua alat tersebut tervalidasi di laboratorium.
"Kami bekerja sama dengan beberapa pihak dalam validasi ini. Saat ini, formulasi dan uji CePAD di skala laboratorium terhadap protein virus sudah menunjukkan hasil yang baik, jadi bisa dilanjutkan ke validasi di lapangan," kata Yusuf di Bandung, Kamis.
Yusuf menjelaskan perbedaan tes cepat 2.0 dengan tes cepat yang umum digunakan saat ini adalah molekul yang dideteksi.
Tes cepat COVID-19 yang umum mendeteksi antibodi, dan tes cepat 2.0 ini mendeteksi antigen. Sehingga, kata Yusuf, tes cepat 2.0 dapat mendeteksi virus lebih cepat, karena tidak perlu menunggu pembentukan antibodi saat tubuh terinfeksi virus.
"Konsep deteksi antibodi maupun antigen keduanya bagus dan berdasar pada teknologi yang benar. Deteksi antibodi saat ini keunggulannya pada samplingnya yang lebih mudah, dari darah. Namun, deteksi antibodi pada COVID-19 lebih tepat untuk pelacakan, ingin tahu virus sudah menyebar di mana saja," ujarnya.
"Deteksi antigen bisa digunakan untuk mengetahui penyebab orang sakit ketika sedang menunjukkan gejala seperti demam dan batuk. Jika orang baru terpapar virus beberapa hari, deteksi antibodi kemungkinan besar negatif atau nonreaktif karena antibodi terhadap virusnya belum terbentuk," tambahnya.
Yusuf mengatakan, pihaknya bersama mitra industri sedang melengkapi fasilitas assembly tes cepat dan produksi 5.000 kit pada Mei-Juni untuk keperluan validasi.
Setelah validasi menunjukkan hasil yang baik, pada Juli 2020, pihaknya akan produksi 10.000 kit, kemudian dilanjutkan 50.000 kit per bulan sesuai dengan kapasitas produksi mitra saat ini. Jika diperlukan lebih banyak, kata Yusuf, pihaknya mengajak partisipasi berbagai pihak untuk meningkatkan kapasitas produksi tersebut.
"Cara kerja tes cepat 2.0 ini, sampel usap dicampurkan ke larutan khusus, kemudian diteteskan ke alatnya. Sama dengan tes cepat yang sekarang, 10-15 menit hasilnya keluar. Selain swab nasofaring, kami juga sedang mengembangkan sampling dari air liur," katanya.
Adapun SPR atau Surface Plasmon Resonance, kata Yusuf, dikembangkan bersama-sama oleh ITB dan Unpad yang tergabung dalam Gugus Tugas Riset dan Inovasi Penanganan COVID-19 (TFRIC-19), yang diinisiasi dan dikoordinasikan oleh Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) dan Kemenristek/BRIN.
SPR dikembangkan untuk bisa berfungsi sebagai detektor COVID-19. Alat seukuran aki mobil itu dapat mendeteksi interaksi antara biosensor dan virus SARS-CoV-2.
"Cara kerjanya, sampel biologis yang diambil dari pasien atau dalam VTM (viral transport medium) akan dicampur dengan pelarut kemudian dialirkan pada alat SPR. Jika ada virus dalam sampel, maka nanti akan ada perubahan sinyal yang dapat dibaca pada alatnya," ujarnya.
"SPR ini dikembangkan sebagai metode alternatif (pendeteksi COVID-19) yang diharapkan memiliki akurasi yang baik setara dengan PCR. ITB mengembangkan metode SPR-nya, dan Unpad mengembangkan biosensornya, yakni molekul yang bisa menangkap virusnya," katanya.
Kepala Pusat Studi Infeksi Fakultas Kedokteran Unpad Bachti Alisjahbana mengatakan validasi bertujuan untuk meyakinkan atau menilai kualitas tea cepat 2.0 dan SPR.
Salah satunya membandingkan tingkat akurasi dengan metode teknik reaksi rantai polimerase (polymerase chain reaction/PCR) yang sudah terbukti baik.
"Kami ambil spesimen yang sama, usap juga, tapi kemudian pasien diperiksa PCR. Kami ambil spesimen 30 pasien yang COVID-19-nya positif PCR, dan 30 pasien yang COVID-19-nya negatif PCR," kata Bachti.
"Spesimen yang sama, kami periksakan dengan alat uji cepat Pak Yusuf dan kawan-kawan. Nanti, kita bisa lihat seberapa besar tingkat ketepatan atau kesamaannya," katanya.
Menurut Bachti, sejauh ini, validasi masih dalam tahap pengumpulan spesimen. Jika hasil validasi kurang memuaskan, maka akan ada evaluasi dan perbaikan. Setelah itu, validasi dilakukan kembali.
"Tapi, kalau sudah cukup oke, sesuai harapan kita, itu bisa langsung registrasi Depkes. Lalu, digunakan layanan-layanan kesehatan," katanya.
Kepala Dinas Kesehatan (Dinkes) Jabar Berli Hamdani mengatakan jika telah divalidasi, rapid test 2.0 dan SPR dapat digunakan untuk diagnosa ataupun penapisan, karena akurasi setara PCR.
Tes masif dengan menggunakan tes cwpat 2.0 dan SPR akan menemukan peta sebaran COVID-19 yang lebih komprehensif, dan mendeteksi virus lebih dini. Dengan begitu, sebaran COVID-19 dapat diputus dan angka kematian bisa di-nol-kan.
"Setelah produksi pertama ini dipergunakan dan bisa dievaluasi manfaat dan kendala-kendalanya (selama validasi). Sewaktu presentasi dari ITB-UNPAD disampaikan rencana produksi masal di akhir bulan Juli 2020," kata Berli.
COPYRIGHT © ANTARA News Aceh 2020
Kedua alat itu adalah Deteksi CePAD atau Tes Cepat 2.0, dan Surface Plasmon Resonance (SPR).
Koordinator peneliti tes cepat COVID-19 Unpad dari Fakultas MIPA, Muhammad Yusuf mengatakan validasi ke sampel virus dilakukan setelah kedua alat tersebut tervalidasi di laboratorium.
"Kami bekerja sama dengan beberapa pihak dalam validasi ini. Saat ini, formulasi dan uji CePAD di skala laboratorium terhadap protein virus sudah menunjukkan hasil yang baik, jadi bisa dilanjutkan ke validasi di lapangan," kata Yusuf di Bandung, Kamis.
Yusuf menjelaskan perbedaan tes cepat 2.0 dengan tes cepat yang umum digunakan saat ini adalah molekul yang dideteksi.
Tes cepat COVID-19 yang umum mendeteksi antibodi, dan tes cepat 2.0 ini mendeteksi antigen. Sehingga, kata Yusuf, tes cepat 2.0 dapat mendeteksi virus lebih cepat, karena tidak perlu menunggu pembentukan antibodi saat tubuh terinfeksi virus.
"Konsep deteksi antibodi maupun antigen keduanya bagus dan berdasar pada teknologi yang benar. Deteksi antibodi saat ini keunggulannya pada samplingnya yang lebih mudah, dari darah. Namun, deteksi antibodi pada COVID-19 lebih tepat untuk pelacakan, ingin tahu virus sudah menyebar di mana saja," ujarnya.
"Deteksi antigen bisa digunakan untuk mengetahui penyebab orang sakit ketika sedang menunjukkan gejala seperti demam dan batuk. Jika orang baru terpapar virus beberapa hari, deteksi antibodi kemungkinan besar negatif atau nonreaktif karena antibodi terhadap virusnya belum terbentuk," tambahnya.
Yusuf mengatakan, pihaknya bersama mitra industri sedang melengkapi fasilitas assembly tes cepat dan produksi 5.000 kit pada Mei-Juni untuk keperluan validasi.
Setelah validasi menunjukkan hasil yang baik, pada Juli 2020, pihaknya akan produksi 10.000 kit, kemudian dilanjutkan 50.000 kit per bulan sesuai dengan kapasitas produksi mitra saat ini. Jika diperlukan lebih banyak, kata Yusuf, pihaknya mengajak partisipasi berbagai pihak untuk meningkatkan kapasitas produksi tersebut.
"Cara kerja tes cepat 2.0 ini, sampel usap dicampurkan ke larutan khusus, kemudian diteteskan ke alatnya. Sama dengan tes cepat yang sekarang, 10-15 menit hasilnya keluar. Selain swab nasofaring, kami juga sedang mengembangkan sampling dari air liur," katanya.
Adapun SPR atau Surface Plasmon Resonance, kata Yusuf, dikembangkan bersama-sama oleh ITB dan Unpad yang tergabung dalam Gugus Tugas Riset dan Inovasi Penanganan COVID-19 (TFRIC-19), yang diinisiasi dan dikoordinasikan oleh Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) dan Kemenristek/BRIN.
SPR dikembangkan untuk bisa berfungsi sebagai detektor COVID-19. Alat seukuran aki mobil itu dapat mendeteksi interaksi antara biosensor dan virus SARS-CoV-2.
"Cara kerjanya, sampel biologis yang diambil dari pasien atau dalam VTM (viral transport medium) akan dicampur dengan pelarut kemudian dialirkan pada alat SPR. Jika ada virus dalam sampel, maka nanti akan ada perubahan sinyal yang dapat dibaca pada alatnya," ujarnya.
"SPR ini dikembangkan sebagai metode alternatif (pendeteksi COVID-19) yang diharapkan memiliki akurasi yang baik setara dengan PCR. ITB mengembangkan metode SPR-nya, dan Unpad mengembangkan biosensornya, yakni molekul yang bisa menangkap virusnya," katanya.
Kepala Pusat Studi Infeksi Fakultas Kedokteran Unpad Bachti Alisjahbana mengatakan validasi bertujuan untuk meyakinkan atau menilai kualitas tea cepat 2.0 dan SPR.
Salah satunya membandingkan tingkat akurasi dengan metode teknik reaksi rantai polimerase (polymerase chain reaction/PCR) yang sudah terbukti baik.
"Kami ambil spesimen yang sama, usap juga, tapi kemudian pasien diperiksa PCR. Kami ambil spesimen 30 pasien yang COVID-19-nya positif PCR, dan 30 pasien yang COVID-19-nya negatif PCR," kata Bachti.
"Spesimen yang sama, kami periksakan dengan alat uji cepat Pak Yusuf dan kawan-kawan. Nanti, kita bisa lihat seberapa besar tingkat ketepatan atau kesamaannya," katanya.
Menurut Bachti, sejauh ini, validasi masih dalam tahap pengumpulan spesimen. Jika hasil validasi kurang memuaskan, maka akan ada evaluasi dan perbaikan. Setelah itu, validasi dilakukan kembali.
"Tapi, kalau sudah cukup oke, sesuai harapan kita, itu bisa langsung registrasi Depkes. Lalu, digunakan layanan-layanan kesehatan," katanya.
Kepala Dinas Kesehatan (Dinkes) Jabar Berli Hamdani mengatakan jika telah divalidasi, rapid test 2.0 dan SPR dapat digunakan untuk diagnosa ataupun penapisan, karena akurasi setara PCR.
Tes masif dengan menggunakan tes cwpat 2.0 dan SPR akan menemukan peta sebaran COVID-19 yang lebih komprehensif, dan mendeteksi virus lebih dini. Dengan begitu, sebaran COVID-19 dapat diputus dan angka kematian bisa di-nol-kan.
"Setelah produksi pertama ini dipergunakan dan bisa dievaluasi manfaat dan kendala-kendalanya (selama validasi). Sewaktu presentasi dari ITB-UNPAD disampaikan rencana produksi masal di akhir bulan Juli 2020," kata Berli.
COPYRIGHT © ANTARA News Aceh 2020