Ketua Komisi VI DPRA Tgk H Irawan Abdullah meminta Pemerintah Aceh serius untuk memberlakukan zakat sebagai pengurang pajak di Aceh sesuai dengan ketentuan yang berlaku di daerah berjulukan Tanah Rencong itu.
"Hingga saat ini ketentuan itu belum dijalankan walau peraturan yang ada sudah mengaturnya pada Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA)," kata Tgk Irawan Abdullah di Banda Aceh, Kamis.
Irawan mengatakan, pada pasal 192 UUPA tersebut jelas disebutkan bahwa zakat yang dibayarkan menjadi faktor pengurang terhadap jumlah pajak penghasilan terhutang dari wajib pajak.
Selain itu, ketentuan itu juga diatur dalam qanun Nomor 10 Tahun 2018 tentang Baitul Mal, lalu pada Pasal 105 ayat (1) disebutkan bahwa zakat yang dibayarkan kepada Baitul Mal menjadi faktor pengurang terhadap jumlah pajak penghasilan dari wajib pajak.
“Hingga saat ini zakat sebagai pengurang pajak itu belum dijalankan oleh Pemerintah Aceh. Akibatnya masyarakat yang terkena imbasnya, yaitu harus membayar zakat dan juga pajak,” ujarnya.
Irawan menjelaskan, pada dasarnya memang sudah menjadi kewajiban umat muslim untuk menunaikan zakatnya. Jika memenuhi syarat sah dan syarat rukun berzakat dan tidak mengerjakannya maka mendapatkan ganjaran dosa.
Selain itu, zakat dapat menjadi pengurang pajak di SPT tahunan. Salah satu kewajiban yang dilaksanakan oleh umat muslim dapat menjadi pengurang pajak pada saat pelaporan SPT tersebut.
Irawan menegaskan, jika diperlukan Pemerintah Aceh dapat membentuk tim khusus agar percepatan pelaksanaan zakat sebagai pengurang pajak segera berlaku di Aceh.
Kata Irawan, Aceh semestinya menjadi pelopor dalam hal tersebut karena secara legal formal telah diatur dalam peraturan yang ada di negara.
Oleh karena itu, dirinya menuntut keseriusan Pemerintah Aceh segera merealisasikan amanah qanun dan UU terkait zakat sebagai pengurang pajak tersebut.
"Zakat sebagai pengurang pajak harus dimulai dari Aceh karena zakat yang dikumpulkan oleh Baitul Mal Aceh sama dengan pajak sebagai Penghasilan Asli Daerah (PAD),” kata politikus PKS itu.
Irawan menambahkan, berdasarkan informasi yang diperolehnya tentang materi zakat sebagai pengurang zakat di Aceh (implementasi pasal 192 UU PA) bahwa saat ini sedang dibahas pada tingkat kementerian dan usulan itu sudah sampai pada tingkatan Kementerian Hukum dan HAM.
Secara subtansial materinya disetujui, tetapi ditolak untuk masuk pada peraturan pemerintah tentang klaster kemudahan berusaha yang merupakan turunan UU Cipta Kerja. Maka dari itu perlu dukungan serius dari Pemerintah Aceh, apalagi pembahasan RPP Cipta Kerja dijadwalkan berakhir 02 Febuari 2021 mendatang.
“Kami meminta kepada Pemerintah Aceh dalam hal ini Gubernur Aceh untuk segera menyurati Pemerintah Pusat melalui kementerian terkait supaya klausul zakat sebagai pajak dapat dilaksanakan di Aceh,” ujarnya.
COPYRIGHT © ANTARA News Aceh 2021
"Hingga saat ini ketentuan itu belum dijalankan walau peraturan yang ada sudah mengaturnya pada Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA)," kata Tgk Irawan Abdullah di Banda Aceh, Kamis.
Irawan mengatakan, pada pasal 192 UUPA tersebut jelas disebutkan bahwa zakat yang dibayarkan menjadi faktor pengurang terhadap jumlah pajak penghasilan terhutang dari wajib pajak.
Selain itu, ketentuan itu juga diatur dalam qanun Nomor 10 Tahun 2018 tentang Baitul Mal, lalu pada Pasal 105 ayat (1) disebutkan bahwa zakat yang dibayarkan kepada Baitul Mal menjadi faktor pengurang terhadap jumlah pajak penghasilan dari wajib pajak.
“Hingga saat ini zakat sebagai pengurang pajak itu belum dijalankan oleh Pemerintah Aceh. Akibatnya masyarakat yang terkena imbasnya, yaitu harus membayar zakat dan juga pajak,” ujarnya.
Irawan menjelaskan, pada dasarnya memang sudah menjadi kewajiban umat muslim untuk menunaikan zakatnya. Jika memenuhi syarat sah dan syarat rukun berzakat dan tidak mengerjakannya maka mendapatkan ganjaran dosa.
Selain itu, zakat dapat menjadi pengurang pajak di SPT tahunan. Salah satu kewajiban yang dilaksanakan oleh umat muslim dapat menjadi pengurang pajak pada saat pelaporan SPT tersebut.
Irawan menegaskan, jika diperlukan Pemerintah Aceh dapat membentuk tim khusus agar percepatan pelaksanaan zakat sebagai pengurang pajak segera berlaku di Aceh.
Kata Irawan, Aceh semestinya menjadi pelopor dalam hal tersebut karena secara legal formal telah diatur dalam peraturan yang ada di negara.
Oleh karena itu, dirinya menuntut keseriusan Pemerintah Aceh segera merealisasikan amanah qanun dan UU terkait zakat sebagai pengurang pajak tersebut.
"Zakat sebagai pengurang pajak harus dimulai dari Aceh karena zakat yang dikumpulkan oleh Baitul Mal Aceh sama dengan pajak sebagai Penghasilan Asli Daerah (PAD),” kata politikus PKS itu.
Irawan menambahkan, berdasarkan informasi yang diperolehnya tentang materi zakat sebagai pengurang zakat di Aceh (implementasi pasal 192 UU PA) bahwa saat ini sedang dibahas pada tingkat kementerian dan usulan itu sudah sampai pada tingkatan Kementerian Hukum dan HAM.
Secara subtansial materinya disetujui, tetapi ditolak untuk masuk pada peraturan pemerintah tentang klaster kemudahan berusaha yang merupakan turunan UU Cipta Kerja. Maka dari itu perlu dukungan serius dari Pemerintah Aceh, apalagi pembahasan RPP Cipta Kerja dijadwalkan berakhir 02 Febuari 2021 mendatang.
“Kami meminta kepada Pemerintah Aceh dalam hal ini Gubernur Aceh untuk segera menyurati Pemerintah Pusat melalui kementerian terkait supaya klausul zakat sebagai pajak dapat dilaksanakan di Aceh,” ujarnya.
COPYRIGHT © ANTARA News Aceh 2021