Oleh : Azhari
Banda Aceh, 15/11 (Antaraaceh) - Aceh tercatat sebagai salah satu provinsi kaya di Indonesia, namun di balik itu juga termasuk daerah rentan terjadinya bencana alam, seperti gempa, tsunami, banjir, dan tanah longsor.
Di penghujung 2014, sejumlah kabupaten dan kota di provinsi berpenduduk sekitar 4,5 juta jiwa itu kembali dilanda banjir bandang dan luapan sungai serta tanah longsor menyusul tingginya curah hujan pada periode Oktober dan November.
Banjir merendam ribuan hektare tanaman padi, selain areal tambak ikan serta lahan pertanian dan pemukiman masyarakat di Aceh Besar, Pidie Jaya, Aceh Barat Daya, Nagan Raya, Aceh Barat, Kota Banda Aceh, Aceh Tenggara, dan Aceh Tengah.
Tidak hanya banjir, tanah longsor juga sempat melumpuhkan arus transportasi darat di sejumlah kawasan seperti ruas jalan Medan-Tapaktuan (Aceh Selatan), Banda Aceh-Calang (Aceh Jaya) dan Blangkejeren (Gayo Lues)-Kutacane (Aceh Tenggara).
Gubernur Aceh Zaini Abdullah mengatakan banjir dan tanah longsor yang menerpa sejumlah kabupaten wilayah barat selatan Aceh, akibat masih tingginya aktivitas penebangan ilegal yang menyebabkan rusaknya hutan.
"Dasar sebabnya banyak, seperti pemotongan kayu di hutan secara ilegal, ini masih berlanjut. Kita minta pengertian kepada semua untuk menghentikan penebangan liar," katanya.
Zaini juga mengatakan, selain penebangan ilegal ada faktor lain yang saat ini sedang berkembang, yakni pengambilan batu gajah di gunung oleh pengusaha dan itu harus dihentikan.
"Pengusaha yang sampai sekarang masih mengangkat batu gajah di gunung untuk kepentingan mereka, ini bahaya sekali, untungnya sedikit ruginya besar dan ini sangat berdosa, ini bukan kepentingan beberapa golongan, ini kepentingan umat. Jadi ini harus dihentikan, batu gajah adalah paku di tanah," katanya.
Gubernur juga meminta setiap kabupaten yang terkena bencana alam untuk mendata secara detil terkait kerusakan infrastruktur serta korban pegungsian, karena akan ada bantuan dari BNPB terkait kerusakan infrastruktur ini.
Jelasnya, apabila melewati masa dua minggu progres perbaikan infrastruktur akan dibebankan kepada pemerintah Aceh melaluia BPBA, kemudian bila juga ada yang tidak terlayani maka dimasukkan ke dalam program rehab rekonstruksi.
Moratorium Penebangan
Kerusakan hutan Aceh seperti itu sebetulnya tidak perlu terjadi karena Pemerintah Aceh telah memberlakukan moratorium penebangan melalui Instruksi Gubernur Nomor 05/INSTR/2007.
Ingub tersebut ditandatangani oleh Irwandi Yusuf (gubernur saat itu) pada 6 Juni 2007.
Dasar dikeluarkannya Ingub tersebut menimbang bahwa terjadinya berbagai musibah seperti banjir, tanah longsor dan gangguan satwa liar antara lain disebabkan oleh adanya kerusakan hutan yang tidak terkendali.
Sementara itu, pengamat lingkungan dari Universitas Serambi Mekah Banda Aceh TM Zulfikar mengatakan pemerintah di Aceh harus menghentikan aksi alih fungsi lahan sebagai upaya pencegahan bencana alam, seperti banjir dan tanah longsor di masa mendatang.
"Pemerintah Aceh, kabupaten dan kota diharapkan segera menghentikan alih fungsi lahan hutan menjadi areal perkebunan, kalau tidak, kita khawatirkan bencana banjir dan tanah longsor tetap mengintai daerah ini," katanya.
Dosen konservasi lingkungan dan tata ruang pada Fakultas Teknik Universitas Serambi Mekah itu menjelaskan, alih fungsi lahan hutan menjadi perkebunan masyarakat di sejumlah daerah di Aceh mengkhawatirkan.
Kerentanan situasi lingkungan juga terjadi di kawasan Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) disebabkan alih funhgsi lahan yang hingga kini tidak terkendali, kata TM Zulfikar.
"Kita bisa lihat, alih fungsi lahan hutan menjadi perkebunan kelapa sawit seperti di Aceh Selatan lebih dominan. Seharusnya, hal tersebut sudah terdeteksi tapi pemerintah tampaknya lepas tangan," katanya.
Selain itu, TM Zulfikar juga menyesalkan sikap pemerintah yang membuka jalan-jalan baru di beberapa daerah yang dipastikan berpotensi menyumbang bencana alam di masa mendatang.
"Harapan kita, Pemerintah Aceh dan kabupaten/kota lainnya memiliki kepekaan terhadap bencana. Banjir dan tanah longsor beberapa waktu lalu yang menerjang sejumlah daerah di Aceh itu karena kurangnya kepedulian kita terhadap pelestarian lingkungan," kata dia.
TM Zulfikar juga menjelaskan, kawasan daerah aliran sungai (DAS) di Aceh juga banyak yang rusak meski proses kerusakannya itu sudah berlangsung sejak puluhan tahun silam.
Aktivitas pertambangan serta galian C menjadi penyabab kerusakan lingkungan di Aceh. Misalnya ia menyebutkan banjir bandang dan luapan menyapu rumah penduduk dan menyebabkan korban jiwa di Kecamatan Tangse, Mane, Kabupaten Pidie, beberapa waktu lalu.
"Kita berharap masalah kerusakan lingkungan ini menjadi perhatian serius Pemerintah Aceh. Pembangunan jangan sampai mengabaikan lingkungan karena nantinya bisa menimbulkan malapetakan bagi rakyat dan daerah," kata mantan Direktur Eksekutif Walhi Aceh itu.
Oleh karena itu, TM Zulfikar mengatakan jika memang pemerintah ingin menekan kerusakan hutan maka perlu dilakukan beberapa kegiatan. Pertama lakukan redesain. Artinya, lihat kembali tata ruang Aceh dalam bentuk Qanun (Perda) RTRW tersebut.
"Sebab, Qanun Nomor 19 Tahun 2013 tentang RTRW Aceh itu tidak sepenuhhnya memastikan terjaminnya lingkungan hidup, sebab untuk wilayah Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) saja sudah dihilangkan," kata dia.
Kemudian, TM Zulfikar menjelaskan pemerintah mengevaluasi kembali semua perizinan yang sampai kini belum dijalankan dengan baik. Selanjutnya, pemerintah perlu melakukan penghijauan kembali kawasan hutan kritis. Saat ini, tercatat sekitar 1,6 juta hutan kritis di Aceh.
Upaya mengembalikan lingkungan yang baik dan hijau maka pemerintah harus melakukan reduksi laju atau tingkat kerusakan hutan. Saat ini, Pemerintah Aceh yang diperkuat oleh 1.870 Polhut bisa melakukan itu semua untuk mencegah kerusakan hutan yang lebih hebat.
Sementara itu, data kerusakan hutan Aceh yang diperoleh dari berbagai sumber hingga saat ini masih berbeda-beda.
Pemerintah Aceh pada 2008 menyebutkan kehilangan kawasan hutan akibat penerbangan liar rata-rata mencapai seluas 900 hektare. Sehingga total kerusakan hutan Aceh per tahun hingga 32.000 hektare. Data kerusakan itu disampaikan Wagub Aceh saat itu Muhammad Nazar.
Kemudian Greenomic tahun 2009 juga menyebutkan data kerusakan hutan Aceh dari April 2005 - April 2009, total selama empat tahun sebanyak 163.000 hektare atau sekitar 40.000 hektare hutan yang rusak per tahun.
Sedangkan data yang bersumber dari Working Group Analysis Hutan Aceh 2010, menyebutkan dari total 1,8 juta hektare luasan hutan lindung di Aceh, seluas 13.486 hektare dilaporkan dalam kondisi rusak, yang terjadi selama kurun waktu tiga tahun (2006-2009).
Working Group Analysis Hutan Aceh 2010 yang beranggotakan Sekretariat Aceh Green, Dinas Kehutanan Aceh, Badan Pengelola Kawasan Ekosistem Leuser (BPKEL), Fauna & Flaura Internasional (FFI), dan Yayasan Leuser International (YLI).
Sementara Walhi Aceh juga mencatat data kerusakan hutan Aceh hingga 23.000 hektare per tahun. Dalam proposal REDD yang diajukan FFI Aceh Programme disebutkan untuk kerusakan Hutan Ulu Masen hanya 9.630 hektare per tahun.
Dalam Qanun RTRW Nomor 19 Tahun 2013 tersebut Pemerintah Aceh telah mengusulkan pengurangan luas hutan Aceh dari 3,5 juta hektare menjadi 3,3 juta hektare. Tapi, Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Aceh menolak usulan pengurangan kawasan hutan dalam qanun tersebut.
"Kami menolak pengurangan luas hutan karena sarat dengan kepentingan pertambangan dan perkebunan," kata Direktur Walhi Aceh, Muhammad Nur.
Dari data yang didapat oleh Walhi Aceh, pengurangan luas kawasan hutan dan penurunan status kawasan hutan terjadi di 53 titik dan tersebar di 19 kabupaten/kota di Aceh.
"Jika luas hutan dikurangi atau status hutan diturunkan, maka hutan tersebut akan semakin cepat mengalami perusakan. Jika memang pengurangan kawasan itu tetap dilakukan dan disetujui oleh DPR RI, maka kami akan menggugatnya," kata M Nur.
Walhi Aceh juga menolak Keputusan Menteri Kehutanan yang melakukan perubahan kawasan hutan menjadi bukan hutan di Aceh. Perubahan status hutan itu dinilai akan mengancam kelestarian lingkungan dan akan mengganggu KEL dan hutan lindung lainnya di Aceh.
"Jangan lagi tebang hutan. Bencana banjir dan tanah longsor ini akibat kita menebang hutan. Ke depan, kita harus menjaga hutan kita agar tetap lestari," demikian pesan Gubernur Aceh Zaini Abdullah saat meninjau korban banjir di Kecamatan Lhoong, Aceh Besar, belum lama ini.
COPYRIGHT © ANTARA News Aceh 2014
Banda Aceh, 15/11 (Antaraaceh) - Aceh tercatat sebagai salah satu provinsi kaya di Indonesia, namun di balik itu juga termasuk daerah rentan terjadinya bencana alam, seperti gempa, tsunami, banjir, dan tanah longsor.
Di penghujung 2014, sejumlah kabupaten dan kota di provinsi berpenduduk sekitar 4,5 juta jiwa itu kembali dilanda banjir bandang dan luapan sungai serta tanah longsor menyusul tingginya curah hujan pada periode Oktober dan November.
Banjir merendam ribuan hektare tanaman padi, selain areal tambak ikan serta lahan pertanian dan pemukiman masyarakat di Aceh Besar, Pidie Jaya, Aceh Barat Daya, Nagan Raya, Aceh Barat, Kota Banda Aceh, Aceh Tenggara, dan Aceh Tengah.
Tidak hanya banjir, tanah longsor juga sempat melumpuhkan arus transportasi darat di sejumlah kawasan seperti ruas jalan Medan-Tapaktuan (Aceh Selatan), Banda Aceh-Calang (Aceh Jaya) dan Blangkejeren (Gayo Lues)-Kutacane (Aceh Tenggara).
Gubernur Aceh Zaini Abdullah mengatakan banjir dan tanah longsor yang menerpa sejumlah kabupaten wilayah barat selatan Aceh, akibat masih tingginya aktivitas penebangan ilegal yang menyebabkan rusaknya hutan.
"Dasar sebabnya banyak, seperti pemotongan kayu di hutan secara ilegal, ini masih berlanjut. Kita minta pengertian kepada semua untuk menghentikan penebangan liar," katanya.
Zaini juga mengatakan, selain penebangan ilegal ada faktor lain yang saat ini sedang berkembang, yakni pengambilan batu gajah di gunung oleh pengusaha dan itu harus dihentikan.
"Pengusaha yang sampai sekarang masih mengangkat batu gajah di gunung untuk kepentingan mereka, ini bahaya sekali, untungnya sedikit ruginya besar dan ini sangat berdosa, ini bukan kepentingan beberapa golongan, ini kepentingan umat. Jadi ini harus dihentikan, batu gajah adalah paku di tanah," katanya.
Gubernur juga meminta setiap kabupaten yang terkena bencana alam untuk mendata secara detil terkait kerusakan infrastruktur serta korban pegungsian, karena akan ada bantuan dari BNPB terkait kerusakan infrastruktur ini.
Jelasnya, apabila melewati masa dua minggu progres perbaikan infrastruktur akan dibebankan kepada pemerintah Aceh melaluia BPBA, kemudian bila juga ada yang tidak terlayani maka dimasukkan ke dalam program rehab rekonstruksi.
Moratorium Penebangan
Kerusakan hutan Aceh seperti itu sebetulnya tidak perlu terjadi karena Pemerintah Aceh telah memberlakukan moratorium penebangan melalui Instruksi Gubernur Nomor 05/INSTR/2007.
Ingub tersebut ditandatangani oleh Irwandi Yusuf (gubernur saat itu) pada 6 Juni 2007.
Dasar dikeluarkannya Ingub tersebut menimbang bahwa terjadinya berbagai musibah seperti banjir, tanah longsor dan gangguan satwa liar antara lain disebabkan oleh adanya kerusakan hutan yang tidak terkendali.
Sementara itu, pengamat lingkungan dari Universitas Serambi Mekah Banda Aceh TM Zulfikar mengatakan pemerintah di Aceh harus menghentikan aksi alih fungsi lahan sebagai upaya pencegahan bencana alam, seperti banjir dan tanah longsor di masa mendatang.
"Pemerintah Aceh, kabupaten dan kota diharapkan segera menghentikan alih fungsi lahan hutan menjadi areal perkebunan, kalau tidak, kita khawatirkan bencana banjir dan tanah longsor tetap mengintai daerah ini," katanya.
Dosen konservasi lingkungan dan tata ruang pada Fakultas Teknik Universitas Serambi Mekah itu menjelaskan, alih fungsi lahan hutan menjadi perkebunan masyarakat di sejumlah daerah di Aceh mengkhawatirkan.
Kerentanan situasi lingkungan juga terjadi di kawasan Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) disebabkan alih funhgsi lahan yang hingga kini tidak terkendali, kata TM Zulfikar.
"Kita bisa lihat, alih fungsi lahan hutan menjadi perkebunan kelapa sawit seperti di Aceh Selatan lebih dominan. Seharusnya, hal tersebut sudah terdeteksi tapi pemerintah tampaknya lepas tangan," katanya.
Selain itu, TM Zulfikar juga menyesalkan sikap pemerintah yang membuka jalan-jalan baru di beberapa daerah yang dipastikan berpotensi menyumbang bencana alam di masa mendatang.
"Harapan kita, Pemerintah Aceh dan kabupaten/kota lainnya memiliki kepekaan terhadap bencana. Banjir dan tanah longsor beberapa waktu lalu yang menerjang sejumlah daerah di Aceh itu karena kurangnya kepedulian kita terhadap pelestarian lingkungan," kata dia.
TM Zulfikar juga menjelaskan, kawasan daerah aliran sungai (DAS) di Aceh juga banyak yang rusak meski proses kerusakannya itu sudah berlangsung sejak puluhan tahun silam.
Aktivitas pertambangan serta galian C menjadi penyabab kerusakan lingkungan di Aceh. Misalnya ia menyebutkan banjir bandang dan luapan menyapu rumah penduduk dan menyebabkan korban jiwa di Kecamatan Tangse, Mane, Kabupaten Pidie, beberapa waktu lalu.
"Kita berharap masalah kerusakan lingkungan ini menjadi perhatian serius Pemerintah Aceh. Pembangunan jangan sampai mengabaikan lingkungan karena nantinya bisa menimbulkan malapetakan bagi rakyat dan daerah," kata mantan Direktur Eksekutif Walhi Aceh itu.
Oleh karena itu, TM Zulfikar mengatakan jika memang pemerintah ingin menekan kerusakan hutan maka perlu dilakukan beberapa kegiatan. Pertama lakukan redesain. Artinya, lihat kembali tata ruang Aceh dalam bentuk Qanun (Perda) RTRW tersebut.
"Sebab, Qanun Nomor 19 Tahun 2013 tentang RTRW Aceh itu tidak sepenuhhnya memastikan terjaminnya lingkungan hidup, sebab untuk wilayah Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) saja sudah dihilangkan," kata dia.
Kemudian, TM Zulfikar menjelaskan pemerintah mengevaluasi kembali semua perizinan yang sampai kini belum dijalankan dengan baik. Selanjutnya, pemerintah perlu melakukan penghijauan kembali kawasan hutan kritis. Saat ini, tercatat sekitar 1,6 juta hutan kritis di Aceh.
Upaya mengembalikan lingkungan yang baik dan hijau maka pemerintah harus melakukan reduksi laju atau tingkat kerusakan hutan. Saat ini, Pemerintah Aceh yang diperkuat oleh 1.870 Polhut bisa melakukan itu semua untuk mencegah kerusakan hutan yang lebih hebat.
Sementara itu, data kerusakan hutan Aceh yang diperoleh dari berbagai sumber hingga saat ini masih berbeda-beda.
Pemerintah Aceh pada 2008 menyebutkan kehilangan kawasan hutan akibat penerbangan liar rata-rata mencapai seluas 900 hektare. Sehingga total kerusakan hutan Aceh per tahun hingga 32.000 hektare. Data kerusakan itu disampaikan Wagub Aceh saat itu Muhammad Nazar.
Kemudian Greenomic tahun 2009 juga menyebutkan data kerusakan hutan Aceh dari April 2005 - April 2009, total selama empat tahun sebanyak 163.000 hektare atau sekitar 40.000 hektare hutan yang rusak per tahun.
Sedangkan data yang bersumber dari Working Group Analysis Hutan Aceh 2010, menyebutkan dari total 1,8 juta hektare luasan hutan lindung di Aceh, seluas 13.486 hektare dilaporkan dalam kondisi rusak, yang terjadi selama kurun waktu tiga tahun (2006-2009).
Working Group Analysis Hutan Aceh 2010 yang beranggotakan Sekretariat Aceh Green, Dinas Kehutanan Aceh, Badan Pengelola Kawasan Ekosistem Leuser (BPKEL), Fauna & Flaura Internasional (FFI), dan Yayasan Leuser International (YLI).
Sementara Walhi Aceh juga mencatat data kerusakan hutan Aceh hingga 23.000 hektare per tahun. Dalam proposal REDD yang diajukan FFI Aceh Programme disebutkan untuk kerusakan Hutan Ulu Masen hanya 9.630 hektare per tahun.
Dalam Qanun RTRW Nomor 19 Tahun 2013 tersebut Pemerintah Aceh telah mengusulkan pengurangan luas hutan Aceh dari 3,5 juta hektare menjadi 3,3 juta hektare. Tapi, Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Aceh menolak usulan pengurangan kawasan hutan dalam qanun tersebut.
"Kami menolak pengurangan luas hutan karena sarat dengan kepentingan pertambangan dan perkebunan," kata Direktur Walhi Aceh, Muhammad Nur.
Dari data yang didapat oleh Walhi Aceh, pengurangan luas kawasan hutan dan penurunan status kawasan hutan terjadi di 53 titik dan tersebar di 19 kabupaten/kota di Aceh.
"Jika luas hutan dikurangi atau status hutan diturunkan, maka hutan tersebut akan semakin cepat mengalami perusakan. Jika memang pengurangan kawasan itu tetap dilakukan dan disetujui oleh DPR RI, maka kami akan menggugatnya," kata M Nur.
Walhi Aceh juga menolak Keputusan Menteri Kehutanan yang melakukan perubahan kawasan hutan menjadi bukan hutan di Aceh. Perubahan status hutan itu dinilai akan mengancam kelestarian lingkungan dan akan mengganggu KEL dan hutan lindung lainnya di Aceh.
"Jangan lagi tebang hutan. Bencana banjir dan tanah longsor ini akibat kita menebang hutan. Ke depan, kita harus menjaga hutan kita agar tetap lestari," demikian pesan Gubernur Aceh Zaini Abdullah saat meninjau korban banjir di Kecamatan Lhoong, Aceh Besar, belum lama ini.
COPYRIGHT © ANTARA News Aceh 2014