Meulaboh (ANTARA Aceh) - Kamaruzzaman (55) bersama anaknya Aan Anzalna (20), Selasa (5/5) siang, sudah berkumpul dengan keluarga di kompleks Perumahan Caritas yang merupakan relokasi korban tsunami Desa Blang Beurandang, Kecamatan Johan Pahlawan, Kabupaten Aceh Barat.

Kepulangan dua nelayan asal Desa Padang Seurahet pada Selasa (5/5) sekitar pukul 02.30 WIB dini hari itu didampingi staf Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) New Delhi Zulkifli serta perwakilan Kementrian Kelautan dan Perikanan RI.

Kedatangan mereka disambut hisak tangis oleh keluarga, kemudian siangnya dilanjutkan dengan ritual "peusijuk" (tepung tawar) oleh orang tua kampung, acara ini juga turut disaksikan pejabat pemerintah setempat.

Perjalanan panjang sebagai keluarga nelayan mengarungi samudera luas bukanlah hal yang asing apalagi kakek buyutnya juga berasal dari keluarga nelayan, mempertahan jatidiri sebagai keluarga nelayan merupakan sebuah kehormatan.

Setelah menjalani masa tahanan satu tahun kurungan penjara karena dituduh mencuri ikan diperairan laut Andaman, India merubah segalanya, saat ini Kamaruzzaman mengatakan akan merubah profesinya mencari nafkah didaratan karena trauma.

Hampir 50 tahun sudah dia mengarungi laut mencari nafkah untuk keluarga, bahkan sempat dirinya diberikan kemudahan rejeki memiliki tiga unit boad, namun semua itu sudah hilang diterjang gelombang tsunami menerpa Aceh 26 Desember 2004.

Hanya tersisa satu unit "boad" berkapasitas 18 grosstone (GT) yang dimiliki, namun kinipun harta tungalnya sudah tidak lagi ditangan, karena setelah ditangkap boadnya harus ditebus ke negara India diperkirakan seharga Rp150 juta uang Indonesia.

"Boad itu sudah pernah ditawar di sini seharga Rp80 juta, jadi tidak mungkin lagi saya menebusnya seharga Rp150 juta, karena itu saya akan berhenti melaut mungkin ada kerja lain didaratan apalagi usia saya sudah 58 tahun," katanya.

Kamaruzzaman diketahui ditangkap bersama dua orang anaknya yakni Aan Anzalna serta Irwan Saputra, tiga nelayan tradisional Aceh Barat ini petugas Negara India pada pertengahan April 2014 dituduh mencuri ikan diperairan laut negara itu.

Dua dihukum pidana tiga tahun kurungan penjara, sementara Irwan Saputra yang saat itu masih berusia dibawah umur dibebaskan dan dipulangkan ke Indonesia.

Dengan kondisi fisik tubuh tidak sempurna dibandingkan orang lain, Kamaruzzaman tidak pernah menyesal dengan profesi keturunannya bahkan sampai ditangkap bersama dua anaknya saat melaut masih sebagai seorang nelayan.

Nelayan asal Gampong (desa) Padang Seurehet ini menjelaskan, kejadiaan menerpa mereka dianggap sebuah musibah karena sudah hampir 50 tahun dirinya menjadi seorang nelayan baru kali ini ditangkap oleh negara asing karena tidak sengaja masuk ke perairan laut Andaman.

Kamaruzzaman berasal dari keluarga tidak mampu sehingga satu keluarga berprofesi sebagai nelayan, saat melaut boad digunakan mengalami rusak pada mesin sehingga diombang ambing ditengah laut selama lima hari dan tanpa diketahui sudah masuk keperairan laut Negara India.

Begitu "boad" mereka berhasil diperbaiki, dalam perjalanan pulang mereka dikejar oleh petugas patroli laut Negara India, setelah dikejutkan dengan tiga kali tembakan senjata di tengah laut lepas mereka segera berhenti.

"Kami langsung digiring oleh polisi India dibawa sampai ke pingir pantai Andaman, begitu sampai disana kami dibawa ke kantor polisi. Seinggat saya keberadaan kami baru diketahui saat pemilu presiden Indonesia," katanya.

Selama menjalani tahanan di India keduanya diperlakukan layaknya warga binaan sama seperti warga negara lain yang juga tertangkap karena memasuki perairan laut Andaman, India.

Diakui tidak ada kekerasan dan diberi makan dua kali dalam sehari oleh negara tersebut, hanya saja dia masih teringat uang tunai senilai Rp700 ribu serta dua Henphon yang dibawa dari daratan satu tahun lalu tidak dikembalikan saat bebas dari tahanan.
    
Ingin jadi petani

Aan Anzalna yang kini mengakui berusia 25 tahun itu sudah trauma dengan kejadian tersebut, sejak usia 12 tahun dirinya sudah mengikuti jejak sang ayah mengarungi samudera Indonesia-Hindia mencari nafkah di laut lepas.

Dirinya sudah mengambil kesimpulan tidak akan lagi menjadi seorang nelayan pasca tertangkap melaut bersama ayah dan adiknya dan dihukum tiga tahun, kejadian tersebut membuat dirinya trauma.

"Kalau saya mau jadi petani, semoga saja pemerintah membantu kami untuk menyediakan bibit dan sebagainyalah agar usaha pertanian tanaman pangan bisa saya lakukan," kata Aan saat dijumpai di kediamannya.

Meskipun perjuangan hidup sebagai seorang nelayan bagi dirinya tidak sebanding dengan pengalaman Kamaruzzaman, namun tekad sudah bulat tidak akan kembali kelaut untuk menangkap ikan.

Terlebih lagi Aan sudah memiliki seorang istri dan seorang anak berusia 1,5 tahun, saat tertangkap anaknya tersebut masih berusia empat bulan dan dia juga punya seorang adik perempuan yang masih sekolah.

Pemulangan kedua nelayan tersebut turut didampinggi staf KBRI New Delhi Zulkifli serta dari Kementrian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia sampai ke rumahnya di Desa Blang Beurandang, Aceh Barat.

Niat hatinya apabila memiliki sedikit modal akan membangun usaha kecil keluarga sehingga akan lebih dekat dengan keluarga, pekerjaan yang dicari agar tidak beresiko tinggi seperti dihadapi seorang nelayan.

Bahkan demi mencari rezeki halal Kamaruzzaman mengaku pernah membawa anaknya berlayar menempuh jarak hingga 50 mil dari bibir pantai mencari ikan lebih bernilai ekonomis karena untuk kawasan perairan dekat beberapa jenis ikan sudah sangat berkurang.

Dikawasan jarak tempuh mereka itu ditemukan jenis ikan tongkol dan ikan tuna dengan berat bisa mencapai 1,5 kilogram/ekor, untuk jenis ikan ini lebih menguntungkan ketimbang menangkap ikan jenis lainnya.

Kata dia, tidak mudah menjadi seorang nelayan, bila mungkin tidak terlahir dari keluarga nelayan mungkin tidak akan ada masyarakat yang bersedia menjadi nelayan, untuk mencari nafkah ditengah laut dengan resiko taruhan nyawa.

Belum lagi diceritakan persoalan ekonomi dari hasil kerja nelayan yang terkadang terpuruk, sebelum berangkat melaut harus membuat bon hutang begitupun keluarga ditingal didaratan terlilit dengan hutang atau pinjaman pada orang lain.

Buakanya tidak ada perhatian pemerintah untuk nelayan, akan tetapi sulit dinyatakan apa kebutuhan sebenarnya nelayan sehingga tidak terpenuhi, diberikan alat tangkap ataupun kemudahan bahan bakar sama saja, rejeki tergantung pada hasil tangkapan.

Apabila sedang beruntung, hasil tangkapan banyak terkadang harga ikan malah turun, sementara disaar kondisi cuaca buruk nelayan tidak melaut harga ikan melambung tinggi, artinya kehidupan nelayan tetap berada pada poros datar tidak ada ekonomi fluaktif dirasakan.

Sementara itu, Pnglima Laot (pemangku adat laut) Aceh Barat Amiruddin mengatakan, nelayan Aceh Barat selain membutuhkan bantuan juga membutuhkan pendampingan dalam mengelola sumber daya kelautan.

Selain nelayan diberikan kemudahan alat tangkap melaut, keluarga nelayan harus mendapat perhatian serius dari pemerintah, dengan kepedulian semua pihak pastinya kesejahteraan nelayan dapat meningkat.

"Untuk kedepan nelayan Aceh harus diberikan sarana pendukung seperti alat komunikasi radio sehingga saat terjadi demikian cepat diketahui," sebutnya.

Peristiwa dialami nelayan demikian bukan yang perdana, akan tetapi jauh sebelum itu juga ada nelayan Aceh lain pernah ditangkap di negara tetangga terutama seperti India karena perbatasan mereka sulit dikenali nelayan tradisional.

Kondisi sudah berkurangnya ikan di perairan laut Indonesia memaksa nelayan terkadang harus berlayar jauh diatas 50 mil dari bibir pantai untuk mencari ikan tangkap bernilai ekonomis padahal armada tangkapnya tidak layak menempuh jarak sedemikian jauh.

Di pihak lain, pemerintah Kabupaten Aceh Barat, terus memacu penuntasan pembangunan Tempat Pelabuhan Ikan (TPI) Samudera yang diharapkan mampu mempercepat penguatan poros maritim di kawasan itu.

"Untuk penuntasan pelabuhan ini butuh dana Rp300 miliar lagi, untuk tahapan yang sedang dipacu adalah pembangunan tambak labuh sudah diajukan kemudian baru setelah itu kita fikirkan yang lain,"kata kepala Dinas kelautan dan Perikanan (DKP) Aceh Barat T Helmi.

Proyek multi years dana APBN tersebut belum ada perencanaan target penuntasan secara pasti, akan tetapi untuk mempercepat pemanfaatan diusulkan pembangunan yang bersifat urgens sehingga dapat segera dimanfaatkan oleh nelayan meski dalam kondisi belum 100 persen.

Dalam upaya memperkuat poros maritim pemkab Aceh Barat melakukan beberapa trobosan terutama memperkaya infrastruktur pelabuhan, memberikan bantuan kepada nelayan seperti pengadaan armada, alat tangkap serta penguatan kapasitas sumber daya manusia nelayan.

Upaya poros maritim juga, termasuk persoalan penanganan ikan segar agar tidak mempengaruhi produksi tangkapan nelayan serta pengadaan kapal-kapal diatas 30 gross tonnage (GT) sehingga mampu berlayar ke perairan laut dengan jenis ikan bernilai ekonomis.

Data dari pemerintah Kabupaten Aceh Barat, kawasan itu memiliki sekitar 803 unit armada tangkapan nelayan namun masih berkapasitas dibawah 30 GT, dengan fasilitas yang dimiliki tersebut sulit meningkatkan ekonomi 2.700 orang nelayan dikawasan setempat.

Perikanan tangkap di laut adalah mata pencarian utama penduduk Aceh Barat yang merupakan daerah pesisir, hasil perikanan ini mencapai angka besar yakni 12.723 ton/tahun dengan nilai Rp311 milyar.

Hasil ini terdiri dari jenis ikan sebanyak 11,234 ton, jenis udang sejumlah 1,432 ton, kepiting 44,60 ton dan cumi-cumi 12,40 ton, angka ini meningkat setiap tahun rata-rata 15-20 persen.

Kecamatan penyumbang hasil perikanan tangkap terbesar adalah daerah yang berbatasan langsung dengan pantai seperti Meureubo dan Johan Pahlawan, Sama Tiga dan Arongan Lambalek. Poros Maritim bisa menjadi jawaban bagi para nelayan setempat.

Pewarta: Oleh Anwar

Uploader : Salahuddin Wahid


COPYRIGHT © ANTARA News Aceh 2015