Tapaktuan (ANTARA Aceh) - Musibah banjir dan tanah longsor telah terjadi saban tahun di Kemukiman Menggamat, Kecamatan Kluet Tengah, Kabupaten Aceh Selatan. Datangnya bencana alam itu diduga akibat ulah tangan usil manusia yang membuka usaha pertambangan secara serampangan sehingga mengakibatkan kerusakan lingkungan.

Kemukiman Menggamat merupakan sebuah wilayah pedalam di Kabupaten Aceh Selatan. Dulunya sekitar tahun 2009 – 2012, daerah ini terkenal dengan wilayah “petro dolarnya” di Aceh Selatan. Maklum saja, di kawasan tersebut terdapat beberapa perusahaan pertambangan baik yang mengeksploitasi bahan mineral emas maupun bijih besi yang diantaranya adalah PT Pinang Sejati Utama (PSU) dan PT Beri Mineral Utama (BMU).

Perusahaan – perusahaan tambang itu, menggali belasan hektar tanah Gunung di Desa Simpang Tiga dan Desa Simpang Dua untuk mengambil batu bijih besi dan emas, sehingga mengakibatkan hutan jadi gundul.

Persoalan belum berhenti di situ, pasca berhentinya beroperasi PT PSU mengeksploitasi batu bijih besi di wilayah itu tahun 2013 lalu, giliran masyarakat pula yang membuka pertambangan rakyat secara tradisional menggali tanah untuk mendapatkan batu yang mengandung emas.

Ribuan masyarakat baik yang berasal dari Aceh Selatan maupun luar daerah memadati lokasi tersebut mencari emas dengan cara menggali lobang dengan kedalaman mencapai puluhan bahkan ratusan meter dari permukaan tanah.

Pasca terjadinya kerusakan lingkungan di Gunung Menggamat tersebut, telah mengakibatkan wilayah itu di landa banjir dan tanah longsor setiap kali diguyur hujan lebat. Peristiwa terakhir seperti terjadi Minggu (16/8) lalu dimana setelah wilayah itu di guyur hujan lebat sejak pagi, mengakibatkan banjir bandang akibat meluapnya Sungai Menggamat. Banjir kali ini, sedikitnya merendam 12 Desa yakni Gampong Jambo Dalem, Malaka, Koto, Lawe Melang, Gampong Sawah, Gampong Padang, Pulo ie, Mersek, Simpang Dua, Simpang Tiga, Koto Indarung dan Si Urai-urai.

Selain banjir, bencana alam kali ini juga mengakibatkan terjadinya tanah longsor di kawasan Gunung perbatasan antara Desa Mersak dengan Desa Simpang Dua. Tumpukan tanah longsor yang menimbun badan jalan, sempat membuat Dua Desa di Menggamat yakni Desa Simpang Dua dan Simpang Tiga terisolir selama beberapa jam karena tidak ada alternative transportasi lain untuk menuju ke Desa itu dari Pusat Kecamatan.

Kondisi ini telah mengundang sikap keprihatinan dari pegiat LSM lingkungan hidup di Aceh Selatan salah satunya adalah LSM Yayasan Gunung Hutan Lestari (YGHL). Ketua LSM YGHL, Sarbunis mengatakan jika dilihat dan dikaji dari segi intensitas terjadinya bencana alam di Menggamat sejak beberapa tahun terakhir sudah cukup sering, maka terjadinya bencana alam itu tidak bisa di lepaskan dari aktivitas operasional usaha pertambangan di Gunung Menggamat baik yang di lakukan oleh pihak Perusahaan maupun oleh masyarakat yang membuka usaha pertambangan rakyat secara tradisional.

“Saya pikir, penyebab terjadinya bencana alam itu mempunyai kaitan erat dengan dibukanya usaha pertambangan di Gunung Menggamat. Sebab dampak dari pembukaan tambang itu telah mengakibatkan terjadinya kerusakan lingkungan,” kata Sarbunis saat dihubungi di Tapaktuan, Kamis (20/8).

Menurutnya, memang sudah menjadi resiko dengan dibukanya lokasi tambang mengakibatkan hutan menjadi gundul dan lingkungan rusak. Kondisi seperti itu sudah bisa di prediksi sejak awal. Seharusnya, kata Sarbunis, Pemkab Aceh Selatan dapat mengantisifasi dari awal terhadap kemungkinan terjadinya hal-hal yang tidak di inginkan tersebut.

Dia menjelaskan, korelasi atau hubungan terjadinya banjir dengan pembukaan tambang adalah akibat dibukanya tambang hutan jadi gundul karena kayu-kayu besar telah di tebang sehingga tidak ada lagi yang mampu menyerap atau menahan air hujan di dalam tanah. Kemudian, langkah pengerukan tanah yang dilakukan saat mengambil batu baji besi oleh pihak Perusahaan tambang, mengakibatkan struktur tanah jadi labil dan tidak padat lagi sehingga mudah terjadi longsor.

“Tumpukan tanah bekas galian lama kelamaan juga terseret ke bawah di bawa air hujan dari atas Gunung. Tanah tersebut perlahan-lahan menimbun saluran pembuang air di perkampungan Penduduk termasuk Daerah Aliran Sungai (DAS) Menggamat, sehingga mengakibatkan sungai dan saluran drainase menjadi dangkal,” papar Sarbunis.

Kondisi serupa, ujarnya, juga terjadi akibat dibukanya usaha tambang rakyat secara tradisional oleh masyarakat. Pasalnya, langkah penambang menggali ribuan lobang di atas Gunung dengan kedalaman mencapai puluhan bahkan ratusan meter dari permukaan tanah, telah mengakibatkan struktur tanah di wilayah itu labil sehingga mudah ambruk terjadi longsor.

“Sebab di saat wilayah itu diguyur hujan lebat, air hujan itu secara otomatis masuk ke dalam lobang yang telah di gali itu. Dengan jumlah lobang di Gunung Menggamat telah mencapai ribuan tentu saja penyerapan air kedalam tanah tidak maksimal lagi. Ditambah lagi di lokasi itu tidak ada lagi pohon kayu besar yang mampu menyerap air,” jelasnya.

Untuk mencegah terjadinya bencana lebih parah lagi ke depannya, Sarbunis meminta kepada Pemkab Aceh Selatan dan Pemerintah Aceh agar melakukan pengawasan yang ketat terhadap kegiatan usaha pertambangan di daerah itu baik usaha tambang yang dilakukan oleh pihak Perusahaan maupun oleh pihak masyarakat.

“Kami tidak alergi atau anti dibukanya tambang khususnya tambang rakyat, sebab dengan adanya usaha itu membuka lapangan kerja dan meningkatkan perekonomian masyarakat. Hanya saja kami meminta kepada pihak Pemerintah, supaya mengawasi secara ketat usaha pertambangan yang di jalankan tersebut sesuai aturan yang telah di tetapkan dalam UU Pertambangan,” pinta Sarbunis.

Camat Kluet Tengah, Martunis, yang dimintai tanggapannya terkait bencana banjir di Menggamat mengatakan, pasca terjadi banjir dan tanah longsor Minggu (16/8) lalu, saat ini genangan air di wilayah itu sudah surut. Namun masyarakat korban banjir masih belum bisa bekerja seperti biasa, karena harus membersihkan sisa lumpur dalam rumahnya masing-masing yang dibawa banjir.

Dia menyebutkan, dampak terjadinya banjir selain merendam ratusan rumah Penduduk dalam 12 Desa, juga mengakibatkan puluhan hektar lahan Pertanian dan Perkebunan milik masyarakat seperti Padi, Sawit, Kakao, Kemiri, Pinang, Kopi serta tanaman muda lainnya rusak. Di samping itu, kerugian akibat banjir juga di alami oleh pemilik hewan ternak karena puluhan Kambing, Kerbau serta ayam dan itik hanyut terseret arus banjir.

“Dampak banjir juga mengakibatkan 4 unit rumah Penduduk masing-masing di Desa Mersak dan Desa Koto rusak, sedangkan satu unit rumah Penduduk lainnya di Gampong Sawah mengalami rusak total hingga tidak dapat di tempati lagi,” kata Camat Kluet Tengah.

Diakuinya, sampai sejauh ini belum ada langkah penanganan yang dilakukan oleh pihak Dinas terkait di jajaran Pemkab Aceh Selatan untuk membantu pembangunan kembali rumah Penduduk yang telah hancur akibat di terjang banjir tersebut. Termasuk juga mengganti hewan ternak warga yang hanyut serta menyalurkan bibit pertanian dan perkebunan yang telah rusak terendam banjir.

“Kalau mengenai itu (bantuan penanganan), sampai saat ini belum ada kecuali yang sudah di salurkan hanya bantuan masa panik berupa makanan dan minuman serta pakaian,” tegasnya seraya menyatakan terkait laporan kerugian dan kerusakan yang di alami akibat banjir serta tanah longsor telah di serahkan oleh pihaknya kepada Dinas terkait di Tapaktuan.

Namun di sisi lain, Camat Kluet Tengah, Martunis, menyangkal penyebab terjadinya banjir dan tanah longsor itu akibat adanya pembukaan usaha pertambangan di Gunung Menggamat sejak beberapa tahun terakhir.

“Menurut saya tidak ada kaitannya dengan tambang, sebab pada Minggu (16/8) itu, hujan mengguyur wilayah ini benar-benar deras. Di samping itu juga, persoalan abrasi sungai menggamat sejak beberapa bulan terakhir sudah sangat parah bahkan terjangan air sungai sudah mengikis belasan meter tanah dalam pemukiman penduduk dan beberapa waktu lalu ada sebuah rumah warga yang hanyut,” ujarnya.

Karena itu, kata Martunis, pihaknya atas nama masyarakat Kluet Tengah meminta kepada Pemkab Aceh Selatan dan Pemerintah Aceh, segera membangun tanggul menggunakan batu gajah di sepanjang bantaran sungai menggamat tersebut. Selain itu, mereka juga meminta agar dilakukan normalisasi sungai serta seluruh saluran drainase dalam Kecamatan Kluet Tengah yang kondisinya saat ini sudah mulai dangkal.

Dalam kesempatan itu, Camat Kluet Tengah juga menginformasikan bahwa dampak dari hujan lebat yang mengguyur wilayah itu Minggu (16/8) lalu, telah mengakibatkan kondisi longsor badan jalan di kawasan Gunung perbatasan antara Kecamatan Kluet Utara dengan Kluet Tengah semakin parah.

“Jika sebelumnya longsor badan jalan hanya terdapat di beberapa titik, maka saat ini titik longsor hampir terjadi di sepanjang jalan yang menanjak dan berliku itu. Jika kondisi ini tidak segera di tangani oleh Pemkab Aceh Selatan maka dapat dipastikan, jika hujan lebat kembali terjadi jalur transportasi dari dan menuju ke menggamat akan putus total,” tandasnya.

Sementara itu, Kepala BPBD Aceh Selatan Erwiandi SSos MSi mengatakan, pasca terjadi longsor dan banjir beberapa waktu lalu, Tim Reaksi Cepat (TRC) BNPB Pusat, telah turun ke beberapa Kecamatan yang terjadi bencana alam tersebut termasuk ke Menggamat untuk melakukan assesment yakni melakukan perhitungan dampak dari bencana alam itu, sehingga berapa jumlah kerugian dapat diperkirakan.

“Asessment TRC BNPB ini akan menentukan bantuan apa yang akan di kucurkan ke Aceh Selatan nantinya dalam rangka melakukan langkah rehap/rekon baik infrastruktur umum maupun rumah penduduk yang telah rusak akibat banjir,” sebutnya.

Di samping itu, sambungnya, karena menunggu turunnya bantuan dari BNPB membutuhkan waktu lama, maka untuk terlaksananya langkah penanganan darurat, pihaknya juga telah menaikkan usulan kepada Bupati Aceh Selatan untuk menggunakan dana Bantuan Tak Terduga (BTT) sumber APBK 2015.

“Karena ketersediaan dana BTT dalam APBK sangat terbatas, maka tentu saja langkah penanganan yang mampu dilakukanpun sangat terbatas. Apalagi dalam penanganan bencana seperti itu, tufoksi BPBD hanya sebatas menanggulangi dalam konteks tanggap darurat, sedangkan untuk penanganan secara permanen akan di tangani langsung oleh pihak SKPK terkait,” ucapnya.

Dia menambahkan, salah satu keterbatasan lainnya yang di alami BPBD Aceh Selatan sekarang ini adalah belum adanya alat berat (beco atau loder). Padahal sebagai instansi yang menangani langsung masalah bencana hal itu sangat di butuhkan.

“Akibat belum adanya alat berat, untuk membersihkan tumpukan tanah longsor yang menimbun badan jalan Minggu (16/8) pihak BPBD Aceh Selatan terpaksa harus meminta bantu kepada pihak luar.

Yakni untuk membersihkan tanah longsor di Desa Panton Luas, Kecamatan Sawang meminta bantu alat berat kepada salah seorang kontraktor di daerah itu sedangkan di Desa Mersak Kecamatan Kluet Tengah meminta bantu alat berat kepada pihak PT PSU, karena itu untuk memudahkan tugas kerja BPBD diminta kepada pejabat terkait segera mengalokasikan anggaran untuk pengadaan alat berat tersebut,” pungkasnya.


Pewarta: Oleh Hendrik

Uploader : Salahuddin Wahid


COPYRIGHT © ANTARA News Aceh 2015