Meulaboh (ANTARA Aceh) - Pengamat Ekonomi dan Perikanan dari Universitas Teuku Umar (UTU) Meulaboh, Kabupaten Aceh Barat, Provinsi Aceh Hafinuddin S.Pi,M.Sc menyarankan dibentuknya pengelolaan perikanan dengan sistem klaster untuk penguatan produksi kelautan dan perikanan wilayah Aceh.
"Nelayan Aceh ketika mereka sudah punya alat tangkap relatif besar untuk penangkapan seperti ikan Tuna, Tongkol dan Cakalang, jadi mereka sudah tahu kemana, tapi sampai saat ini mereka masih 'meraba-raba',"katanya.
Magister spesialis teknologi perikanan ini menyampaikan, hal itu merupakan kelemahan semua pihak termasuk di dalamnya peran akademisi untuk mendapatkan data ril untuk menetapkan klaster-klaster zona penangkapan nelayan Aceh.
Menurut dia, untuk melihat dan menggarap pertumbuhan ekonomi laut dan perikanan harus ada sektor unggulan yang mendukung, seperti wilayah barat selatan Aceh memiliki tiga jenis komoditi unggulan yakni Tuna, Tongkol dan Cakalang.
Kemudian harus adanya pendukung sarana alat tangkap yang maksimal, artinya nelayan Aceh tidak lagi mengunakan armada kapal berskala rumah tangga berkapasitas di bawah 5 Grosston (GT), padahal sumber daya manusia nelayan wilayah setempat relatif banyak.
Wilayah Provinsi Aceh yang memiliki wilayah perairan laut cukup luas terbagi dalam dua zona wilayah, untuk barat selatan berhadapan langsung dengan Samudera Hindia dan untuk zona penangkapan wilayah Timur dan Utara Aceh Selat Malaka.
"Samudera Hindia, sampai saat ini blum ada data statistik zona eksklusif penangkapan layak dilakukan, kalau sehari-hari bisa kita lihat komoditi Samudera Hindia sangat besar untuk komersial ekonomi," sebut dia.
Para nelayan yang selama ini beraktivitas membutuhkan perhatian serius pemerintah terutama untuk alat tangkap nelayan baik tradisional maupun modern dengan sistem alat bantu rumpon laut tehnologi tepat guna.
Selain itu menurut Hafinuddin, pemerintah harus mulai untuk menyediakan prasarana di darat yang mencukupi terutama adalah armada kapal dan peningkatan status pelabuhan perikanan, karena wilayah barat selatan Aceh hingga kini belum ada pelabuhan perikanan tipe C apalagi tipe B.
Dengan dibentuk klustrer penangkapan, tersedianya sarana pendukung di darat dan pengetahuan nelayan meningkat, tentunya hal tersebut akan mempercepat pencapaian penguatan produksi kelautan dan perikanan di provinsi ujung barat Indonesia itu.
"Untuk langkah awal pemerintah harus mempersiapkan sarana dan prasarana, sudah banyak nelayan melaut, tingal tambah kapasitas kapalnya, kemudian sarana darat harus mendukung. Di wilayah barat selatan baru ada yang namanya pangkalan atau TPI, yang namanya pelabuhan itu belum ada," jelas dia.
Lebih lanjut dikatakan, nelayan Aceh sudah waktunya diberikan teknologi tepat guna dalam pemanfaatan potensi laut dan perikanan, karena apabila nelayan tidak tersentuh perhatian modern tentunya akan berpindah profesi, berujung meningkatnya pencari kerja di darat.
Hafinuddin menyebutkan, penelitian yang telah dilakukan, Negara Malaysia berani membayar gaji setiap individu nelayan 200 ringit/bulan atau setara dengan Rp600 ribu/bulan, itu dilakukan Pemerintah Malaysia untuk mempertahankan nelayan tidak berubah profesi.
Hal demikian juga dapat dilakukan oleh Pemerintah Aceh secara khusus, yang perlu dilakukan hanyalah memanfaatkan dengan maksimal potensi sumber daya yang ada, melalui pendapatan dan pengelolaan retribusi dan pajak akan lebih cukup mengaji nelayan lokal.
"Bila Malaysia mampu mengaji nelayannya, kenapa kita tidak, karena potensi laut Aceh dengan Malaysia itu tidak jauh beda, lebih luas Aceh. Hanya butuh tata cara pengelolaan yang maksimal yang dimulai dari keseriusan kita bersama, termasuk kami dari akademisi akan siap membantu,"katanya menambahkan.
"Nelayan Aceh ketika mereka sudah punya alat tangkap relatif besar untuk penangkapan seperti ikan Tuna, Tongkol dan Cakalang, jadi mereka sudah tahu kemana, tapi sampai saat ini mereka masih 'meraba-raba',"katanya.
Magister spesialis teknologi perikanan ini menyampaikan, hal itu merupakan kelemahan semua pihak termasuk di dalamnya peran akademisi untuk mendapatkan data ril untuk menetapkan klaster-klaster zona penangkapan nelayan Aceh.
Menurut dia, untuk melihat dan menggarap pertumbuhan ekonomi laut dan perikanan harus ada sektor unggulan yang mendukung, seperti wilayah barat selatan Aceh memiliki tiga jenis komoditi unggulan yakni Tuna, Tongkol dan Cakalang.
Kemudian harus adanya pendukung sarana alat tangkap yang maksimal, artinya nelayan Aceh tidak lagi mengunakan armada kapal berskala rumah tangga berkapasitas di bawah 5 Grosston (GT), padahal sumber daya manusia nelayan wilayah setempat relatif banyak.
Wilayah Provinsi Aceh yang memiliki wilayah perairan laut cukup luas terbagi dalam dua zona wilayah, untuk barat selatan berhadapan langsung dengan Samudera Hindia dan untuk zona penangkapan wilayah Timur dan Utara Aceh Selat Malaka.
"Samudera Hindia, sampai saat ini blum ada data statistik zona eksklusif penangkapan layak dilakukan, kalau sehari-hari bisa kita lihat komoditi Samudera Hindia sangat besar untuk komersial ekonomi," sebut dia.
Para nelayan yang selama ini beraktivitas membutuhkan perhatian serius pemerintah terutama untuk alat tangkap nelayan baik tradisional maupun modern dengan sistem alat bantu rumpon laut tehnologi tepat guna.
Selain itu menurut Hafinuddin, pemerintah harus mulai untuk menyediakan prasarana di darat yang mencukupi terutama adalah armada kapal dan peningkatan status pelabuhan perikanan, karena wilayah barat selatan Aceh hingga kini belum ada pelabuhan perikanan tipe C apalagi tipe B.
Dengan dibentuk klustrer penangkapan, tersedianya sarana pendukung di darat dan pengetahuan nelayan meningkat, tentunya hal tersebut akan mempercepat pencapaian penguatan produksi kelautan dan perikanan di provinsi ujung barat Indonesia itu.
"Untuk langkah awal pemerintah harus mempersiapkan sarana dan prasarana, sudah banyak nelayan melaut, tingal tambah kapasitas kapalnya, kemudian sarana darat harus mendukung. Di wilayah barat selatan baru ada yang namanya pangkalan atau TPI, yang namanya pelabuhan itu belum ada," jelas dia.
Lebih lanjut dikatakan, nelayan Aceh sudah waktunya diberikan teknologi tepat guna dalam pemanfaatan potensi laut dan perikanan, karena apabila nelayan tidak tersentuh perhatian modern tentunya akan berpindah profesi, berujung meningkatnya pencari kerja di darat.
Hafinuddin menyebutkan, penelitian yang telah dilakukan, Negara Malaysia berani membayar gaji setiap individu nelayan 200 ringit/bulan atau setara dengan Rp600 ribu/bulan, itu dilakukan Pemerintah Malaysia untuk mempertahankan nelayan tidak berubah profesi.
Hal demikian juga dapat dilakukan oleh Pemerintah Aceh secara khusus, yang perlu dilakukan hanyalah memanfaatkan dengan maksimal potensi sumber daya yang ada, melalui pendapatan dan pengelolaan retribusi dan pajak akan lebih cukup mengaji nelayan lokal.
"Bila Malaysia mampu mengaji nelayannya, kenapa kita tidak, karena potensi laut Aceh dengan Malaysia itu tidak jauh beda, lebih luas Aceh. Hanya butuh tata cara pengelolaan yang maksimal yang dimulai dari keseriusan kita bersama, termasuk kami dari akademisi akan siap membantu,"katanya menambahkan.
COPYRIGHT © ANTARA News Aceh 2016