Masyarakat hukum adat dan eksistensinya selalu menjadi topik yang menarik, sekaligus sering menimbulkan perdebatan. Saat berhadapan masyarakat hukum adat bersama dengan hak-haknya dengan kepentingan negara atau pemerintah, perdebatan tentang posisi dan konsep sering muncul perdebatan panjang.

Dalam realitas sosiologis, istilah masyarakat hukum adat yang paling banyak digunakan meneguhkan bentuk kategori pengelompokan masyarakat yang disebut masyarakat hukum (rechtsgemeenschappen). 

Masyarakat hukum adat semakin sering digunakan karena istilah yang dipergunakan di dalam pasal 18B ayat 2 UUD Tahun 1945, bahwa negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang. 

Dalam Pasal 28I, menegaskan identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban.

Di luar istilah masyarakat hukum sebagai rechtsgemeenschappen sebagaimana disebut di atas, istilah lainnya yang juga sering digunakan adalah masyarakat adat. Istilah ini tentu saja tidak dapat disamakan dengan istilah masyarakat hukum adat. 

Jika ditelusuri, istilah masyarakat adat lebih dekat dengan padanan dari istilah indigenous peoples. Istilah ini sudah dikenal luas dan disebutkan dalam sejumlah kesepakatan internasional. 

Penggunaan istilah indigenous peoples sendiri bisa ditelusuri dari masing-masing pihak yang mengoperasikannya. 

Bank Dunia misalnya, mendefinisikan terminologi indigenous peoples sebagai “social groups with a social and cultural identity distinct from the dominant society that makes them vulnerable to being disadvantaged in the development process. 

Diartikan sebagai kelompok-kelompok sosial yang memiliki perbedaan identitas sosial dan budaya dari kelompok masyarakat yang dominan dan menjadikan masyarakat tersebut rentan untuk tidak diuntungkan dalam proses pembangunan.

Di kalangan ahli antropologi, masyarakat adat disebut first peoples, Sejumlah negara, seperti Amerika Serikat dan Kanada, menyebutnya dengan istilah first nation. Sedangkan di Filipina sering disebut dengan indigenous cultural communities. 

Negara tetangga kita, Malaysia, menyebut masyarakat adat sebagai bangsa asal dan orang asli. Istilah lainnya adalah masyarakat lokal yang diartikan sebagai masyarakat di dalam dan di sekitar kawasan hutan. 

Perbedaan masyarakat di dalam dan di sekitar hutan dengan masyarakat hukum adat terletak pada acuan kekuasaan. Masyarakat di dalam dan di sekitar kawasan hutan mengacu pada hukum negara, sedangkan masyarakat hukum adat mengacu pada hukum adat masyarakat yang bersangkutan.

Istilah masyarakat di dalam dan di sekitar kawasan hutan ini seringkali disebut pula sebagai masyarakat setempat, sebagaimana halnya penduduk asli yang di atas diistilahkan dengan masyarakat adat dalam makna indigenous peoples.

Keberadaan ragam pemaknaan di atas, pada akhirnya akan terkait dengan pemahaman dalam hal yang lebih operasional dalam kebijakan. Dalam hal ini, negara berusaha merumuskan kebijakan yang seoperasional dan sefungsional mungkin agar tidak menimbulkan berbagai masalah dalam pelaksanaannya. 

Hal ini penting sebagai pegangan dalam pelaksanaan berbagai kebijakan negara. Salah satunya adalah terkait dengan tanah ulayat.

Menghindari sengketa, lumrah terjadi dalam ruang-ruang sosial. Tidak terhindarkan, termasuk sengketa terkait keberadaan tanah yang sering terjadi dalam masyarakat. 

Tanah dapat dikategorikan sebagai kebutuhan penting yang memungkinkan terjadinya sengketa dalam proses pengakuan dan pengelolaannya. 

Bahkan untuk tanah-tanah yang diklaim masyarakat hukum adat, ada yang masih belum tuntas proses pengakuan haknya. Tentu saja konteks pengakuan, diawali oleh pengakuan terhadap masyarakat hukum adat.

Dalam realitas, berbagai pihak memungkinkan terjadinya sengketa. Subjek sengketa antara lain antara masyarakat hukum adat yang satu dengan masyarakat hukum adat yang lain. 

Selain itu antara masyarakat hukum adat dengan pelaku usaha pemegang hak guna usaha, pemegang konsesi tambang, dan pemegang izin lokasi. 

Sengketa juga terjadi antara masyarakat hukum adat dengan kawasan hutan. Serta sengketa antara masyarakat dengan pemerintah daerah dan kementerian/lembaga.

Ada sejumlah langkah yang dilakukan selama ini terhadap masyarakat hukum adat didorong kegiatan identifikasi keberadaannya. Hal lain memberikan pengakuan dan perlindungan melalui penetapan pemerintah yaitu keputusan gubernur dan bupati/wali kota melakukan percepatan pendaftaran tanah oleh kementerian ATR/BPN. 

Selain itu juga pemberian bimbingan dan fasilitasi dalam pengelolaan tanah oleh masyarakat hukum adat. Pendaftaran tanah ulayat di Indonesia tanah-tanah adat terdiri dari hak masyarakat adat dan hak adat perorangan. 

Tanah yang dipunyai oleh masyarakat adat dikenal dengan sebutan hak ulayat, atau hak pertuanan atau hak persekutuan (beschikkingsrecht).

Di sebagian tempat dikenal juga dengan istilah tanah milik desa, tanah kas desa, tanah bengkok atau ambt veld. 

Khusus terhadap prosedur pengakuan tanah ulayat yang terletak di areal penggunaan lain (APL), harus dipenuhi dua tahap untuk mendaftar. Pertama, keberadaan masyarakat hukum adat diakui oleh pemerintah daerah. 

Langkah ini mengikuti prosedur yang sudah ditentukan dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 52 Tahun 2014. Kedua, masyarakat hukum adat mengajukan permohonan pendaftaran tanah ulayat kepada Kantor Pertanahan setempat. 

Surat keputusan kepala daerah yang mengakui keberadaan harus dilampirkan pada permohonan, sebagai tanggapan terhadap permohonan itu, kantor pertanahan mengadakan survei dan pemetaan terhadap tanah ulayat. 

Kantor Pertanahan setempat membuat peta bidang tanah dan dicantumkannya tanah ulayat itu dalam daftar tanah sebagai hasil akhir dari penatausahaan tanah ulayat. 

Dalam Surat Edaran Direktur Jenderal Survei dan Pemetaan Pertanahan dan Ruang Kementerian ATR/BPN tahun 2020, telah melakukan terobosan dengan membolehkan penetapan deliniasi tanah ulayat meskipun tahapan pengakuan keberadaan masyarakat hukum adat belum dilakukan.

Deliniasi akan menghasilkan Nomor Identifikasi Sementara (NIS). Selain itu, harus ada tanda atau atribut yang menunjukkan bahwa tanah itu adalah tanah ulayat. NIS akan diganti dengan Nomor Identifikasi Bidang (NIB) setelah ada keputusan kepala daerah mengenai pengakuannya. 

Di samping itu, hari ini telah keluar PP No 18 tahun 2021 tentang Hak Pengelolaan, Hak Atas Tanah, Satuan Rumah Susun, dan Pendaftaran Tanah. Memberikan kepastian hak atas tanah ulayat yang dimiliki masyarakat hukum adat dengan hak pengelolaan.

Dalam Pasal 4 PP 18/2021 tersebut dinyatakan bahwa hak pengelolaan dapat berasal dari tanah negara dan tanah ulayat. Pasal 5 ayat (2) ini,  hak pengelolaan yang berasal dari tanah ulayat ditetapkan kepada masyarakat hukum adat.

Dengan adanya PP Nomor 18 Tahun 2021 telah memberi peluang bagi masyarakat adat untuk diberikan hak pengelolaan terhadap tanah tanah adatnya baru kemudian di atas tanah hak pengelolaan terhadap tanah tanah hak ulayat dilekatkan hak lain seperti hak guna bangunan, hak guna usaha maupun hak pakai. 

Selama ini, Kementerian ATR/BPN bekerja sama dengan sejumlah perguruan tinggi melaksanakan kegiatan identifikasi dan verifikasi terkait keberadaan masyarakat hukum adat. Hal yang diharapkan dari identifikasi dan verifikasi ini adalah akan tersedianya deliniasi wilayah-wilayah penguasaan masyarakat hukum adat.

Pendaftaran tanah untuk masyarakat hukum adat sendiri, untuk memperjelas proses pengelolaannya, ada yang namanya hak pengelolaan masyarakat hukum adat.

Pengelolaan tanah hak pengelolaan masyarakat hukum adat, selain untuk kebutuhan dan kepentingan sendiri satuan masyarakat hukum adat dalam dilakukan kerja sama pemanfaatan tanah dengan pihak lain tanpa mengurangi tanah masyarakat hukum adat yang telah dilakukan pendaftaran tanahnya.

Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 7 ayat (1) huruf b Peraturan Pemerintah 18/2021, disebutkan bahwa pemegang  hak pengelolaan diberikan kewenangan untuk menggunakan dan memanfaatkan seluruh atau Sebagian tanah hak pengelolaan untuk digunakan sendiri atau dikerjasamakan dengan pihak lain.

Jelaslah betapa kompleksnya masalah ketika berbicara keberadaan masyarakat hukum adat atau dalam makna yang berbeda disebut masyarakat adat. 

Komponen ini juga merupakan bagian penting dalam kehidupan negara. Ia tidak semata berimplikasi pada konsep, melainkan, juga bagaimana berbagai kebijakan yang harus dilahirkan negara agar memberi kepastian hukum, mengingat masyarakat ini juga bagian dari masyarakat negara. 


Penulis:

- Tenaga Ahli Menteri ATR Bidang Hukum Adat dan Masyarakat Hukum Adat

- Dosen Hukum Adat Universitas Syiah Kuala Banda Aceh

Pewarta: Oleh Dr M Adli Abdullah SH MCL

Editor : M Ifdhal


COPYRIGHT © ANTARA News Aceh 2023