Jakarta (ANTARA Aceh) - Gerakan Nasional Pengawal Fatwa-MUI (GNPF-MUI) telah menyatakan akan menggelar aksi bela Islam III di sepanjang jalan protokol Sudirman-Thamrin pada Jumat, 2 Desember 2016.
Juru bicara Front Pembela Islam (FPI) Munarman mengatakan aksi yang dilakukan berupa gelar sajadah untuk shalat Jumat berjamaah dengan imam berada di bundaran Hotel Indonesia.
Aksi tersebut ditujukan untuk mempersatukan umat dan mendoakan Indonesia agar selamat serta tidak diadu domba. Selain shalat Jumat berjamaah, aksi juga akan diikuti dengan istighatsah dan kegiatan damai lainnya.
Gubernur nonaktif DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama, yang mencalonkan kembali pada Pemilihan Gubernur DKI Jakarta 2017, telah ditetapkan sebagai tersangka pada kasus dugaan penistaan agama atas ucapannya saat kunjungan dinas ke Kepulauan Seribu.
GNPF-MUI meminta aparat penegak hukum segera menahan Ahok, panggilan Basuki Tjahaja Purnama, setelah ditetapkan sebagai tersangka. GNPF-MUI menilai, dalam sejarah Indonesia, setiap pelaku penistaan agama yang terkait Pasal 156a Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) selalu langsung ditahan.
Sementara itu, Kepala Polri Jenderal Polisi Tito Karnavian melarang rencana shalat Jumat di Bundaran HI dan sekitarnya, termasuk di Jalan Sudirman dan Jalan MH Thamrin.
"Kalau mau shalat Jumat di Istiqlal, Lapangan Banteng, Lapangan Monas, silahkan. Namun, kalau di jalan protokol seperti di Jalan Thamrin, Bundaran HI hingga Jalan Sudirman, itu tidak boleh karena itu jalan umum, mengganggu para pengguna jalan. Itu dipastikan dilarang," katanya.
Tito mempersilakan GNPF-MUI melakukan aksi damai pada 2 Desember 2016 asal tidak mengganggu ketertiban umum. Menurut dia, shalat Jumat di jalan protokol akan mengganggu ketertiban umum.
"Demonstrasi adalah penyampaian pendapat di muka umum. Itu merupakan hak konstitusi warga. Silahkan saja. Asal damai dan tidak mengganggu ketertiban umum," tuturnya.
Kepala Polda Metro Jaya Irjen Pol M Iriawan juga telah menerbitkan surat maklumat terkait rencana aksi unjuk rasa yang merupakan lanjutan dari aksi serupa pada 4 November 2016 itu.
Berdasarkan Surat Maklumat Nomor : Mak/04/XI/2016 tertanggal 21 November 2016, Irjen Polisi M Iriawan mengingatkan agenda unjuk rasa tidak mengarah kepada tindakan makar.
Melalui maklumat tersebut, Iriawan menekankan penanggung jawab dan peserta penyampaian pendapat di muka umum diwajibkan mematuhi ketentuan.
Ketentuan mengenai aksi unjuk rasa diatur sesuai Undang-Undang RI Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Penyampaian Pendapat di Muka Umum, khususnya mengenai kewajiban, larangan dan sanksi bagi pelaku penyampaian pendapat di muka umum.
Apabila tidak sesuai ketentuan dan melanggar hukum akan dilakukan tindakan kepolisian secara tegas, dari mulai pembubaran sampai penegakan hukum.
Maklumat tersebut juga melarang peserta aksi membawa senjata tajam, pemukul dan benda membahayakan lainnya, serta telah memberitahukan kepada kepolisian.
Pelaksanaan aksi dilarang mengganggu ketertiban umum, merusak fasilitas umum, mengganggu fungsi jalan umum, provokasi yang mengarah terhadap SARA dan unjuk rasa dibatasi sejak pukul 06.00 WIB hingga 18.00 WIB.
Iriawan juga melarang peserta aksi menyampaikan pendapat di muka umum melakukan kejahatan terhadap keamanan negara berupa makar terhadap Presiden dan atau Wakil Presiden RI, makar hendak memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Harus Ditindak
Ketua Setara Institute Hendardi mengatakan rencana aksi demonstrasi pada 2 Desember 2016 dengan cara menggelar sajadah di jalan protokol merupalan pelanggaran hukum yang harus ditindak.
"Rencana gelar sajadah di jalan protokol Jakarta pada 2 Desember 2016 adalah bentuk demontrasi yang jika benar dilaksanakan merupakan pelanggaran hukum. Apalagi demonstrasi tersebut ditujukan untuk mendesak penangkapan dan penahanan Basuki Tjahaja Purnama yang sebelumnya telah ditetapkan sebagai tersangka," katanya.
Menurut Hendardi, demonstrasi adalah ekspresi demokrasi untuk tujuan menyampaikan aspirasi sehingga kebebasan berpendapat mendapat jaminan dalam hukum hak asasi manusia dan dalam Konstitusi RI. Namum, demonstrasi harus dilakukan dengan cara-cara yang dibenarkan oleh demokrasi dan tidak melanggar hukum.
Hendardi mengatakan Polri sebagai penegak hukum adalah institusi demokrasi yang menjadi instrumen penegakan hukum sehingga "rule of law" bisa ditegakkan.
"Tidak bisa proses peradilan ditekan sedemikian rupa sehingga penegak hukum tidak bekerja independen," ujarnya.
Pimpinan Nahdlatul Ulama (NU), Muhammadiyah, Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan lainnya secara terbuka telah menyatakan menghormati proses hukum yang sedang berjalan. Karena itu, Hendardi menilai aksi gelar sajadah tidak lagi relevan.
"Sebaliknya, Polri harus menyusun langkah penegakan hukum pada kelompok yang main hakim sendiri karena tindakan yang melawan hukum, menebar ancaman dan menebar kebencian yang melampaui batas. Tindakan-tindakan tersebut merupakan tindak pidana yang harus diusut oleh Polri yang jika dibiarkan akan menjadi ancaman bagi demokrasi dan negara hukum Indonesia," tuturnya.
Menurut Hendardi, tindakan penegakan hukum atas tindak pidana dan dugaan aksi-aksi inkonstitusional harus dilakukan untuk menunjukkan bahwa demonstrasi tersebut bukan semata-mata soal Ahok yang belum ditahan atau Pilkada DKI, tetapi soal kebangsaan dan negara hukum Indonesia yang dicabik-cabik oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab.
Ancaman Demokrasi
Sementara itu, Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta Alghiffari Aqsa mengatakan larangan melakukan aksi pada 2 Desember 2016 merupakan kemunduran di era reformasi, bahkan juga ancaman terhadap demokrasi.
"Dalam demokrasi, justru aparat keamanan yang lebih sering melakukan pelanggaran hukum. Contohnya tindakan pembubaran paksa aksi demonstrasi buruh pada 30 Oktober 2015," kata Ghiffari.
Saat membubarkan aksi buruh 30 Oktober 2015 itu, polisi menangkap 23 aktivis buruh, satu mahasiswa dan dua pengabdi hukum LBH Jakarta.
Selain membubarkan paksa, Ghiffari mengatakan polisi juga melakukan kekerasan dengan memukul para aktivis, termasuk empat buruh peremppuan, dan merusak mobil komando serikat buruh. Padahal, saat itu aksi dilakukan dengan damai.
"LBH Jakarta mengapresiasi Polri atas larangan provokasi yang mengarah kepada sentimen terhadap suku, agama, ras dan antargolongan (SARA). Ujaran kebencian dan sentimen SARA yang mengarah pada serangan kepada etnis tertentu merupakan tindakan yang bertentangan dengan semangat demokrasi," tuturnya.
Menurut Ghiffari, sudah sepatutnya kepolisian melakukan tindakan tegas terhadap ujaran kebencian dan sentimen SARA. Surat edaran Kapolri tentang ujaran kebencian sudah seharusnya diterapkan.
"Namun, bukan berarti harus melarang keseluruhan aksi demonstrasi," ujarnya.
Ghifffari mengatakan pembatasan terhadap kebebasan berpendapat hanya dapat dilakukan dengan undang-undang, bukan maklumat pimpinan Polri.
"Dalam hal ini, kita seharusnya mengacu pada Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Penyampaian Pendapat di Muka Umum yang sudah mengatur pembatasan demonstrasi," katanya.
Ghiffari mengatakan penyampaian pendapat merupakan bagian dari hak asasi manusia. Hal itu diatur pada Pasal 28 Ayat (3) Undang-Undang dasar 1945, Pasal 25 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, dan Pasal 19 Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik yang telah diratifikadi melalui Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2015.
Kebebasan berpendapat dan berekspresi merupakan elemen penting dalam demokrasi. Karena itu, Ghiffari menilai ancaman terhadap demonstrasi 2 Desember 2016 juga merupakan ancaman terhadap kelompok masyarakat sipil lain yang ingin menyuarakan ketidakadilan.
"Misalnya, petani yang dirampas lahannya, kelompok miskin kota yang digusur rumahnya, buruh yang dilanggar haknya atas upah yang layak, nelayan yang jadi korban reklamasi dan kelompok marjinal lain yang dilanggar hak-haknya," tuturnya.
Karena itu, LBH Jakarta menilai Kepala Polda Metro Jaya Irjen Polisi Mochamad Iriawan berusaha mengambil jalan pintas dengan mengeluarkan maklumat bernada ancaman terhadap peserta aksi 2 Desember 2016.
Terkait dugaan akan terjadi makar, Ghiffari mengatakan pasal makar yang disebutkan dalam maklumat Kapolda Metro Jaya terkait dengan rencana aksi 2 Desember 2016 merupakan pasal karet yang multitafsir.
Pasal tersebut sering digunakan rezim Orde Baru untuk mengkriminalisasi para aktivis. Pada Era Reformasi, pasal ini sering digunakan untuk mengkriminalisasi aktivis Papua yang melakukan protes.
Ghiffari mengatakan dalam sebuah aksi demonstrasi, merupakan hal yang lazim bila demonstran menyampaikan ketidakpuasannya terhadap pemerintah atau meneriakkan agar Presiden dan Wakil Presiden mengundurkan diri atau digulingkan.
"Merupakan hal yang berlebihan jika kepolisian menerapkan pasal makar hanya karena ekspresi," ujarnya.
COPYRIGHT © ANTARA News Aceh 2016