Mercusuar atau menara Willem's Toren yang dibangun penjajah Belanda tahun 1875 di ujung kepulauan paling barat Indonesia itu mampu memantulkan cahaya hingga puluhan mil ke Samudera Hindia. Pantulan cahaya tersebut berfungsi untuk mengatur jalur pelayaran internasional.

Menara bundar dengan warna merah putih itu menjulang tinggi di atas perbukitan di ujung Pulau Breueh (Pulau Beras) Gampong (desa) Meulingge, Kecamatan Pulo Aceh (Pulau Aceh) Kabupaten Aceh Besar, provinsi di ujung barat Sumatera tersebut.

Mercusuar Willem's Toren yang tingginya 45 meter dari dataran perbukitan kepualaun paling ujung barat Indonesia itu kabarnya mengadopsi nama sang raja penjajah, yakni Willem Alexander Paul Frederik Lodewijk, penguasa Luxemburg 1817 sampai dengan 1890. Menara yang dibangun pemerintah kolonial Belanda ini hanya ada tiga di dunia, yakni di Hollands (sudah dijadikan museum), dan Kepulauan Karibia serta Pulo Aceh.

Disamping menara mercusuar itu terdapat empat bangunan khas Belanda berkonstruksi "bentong" serta kayu dan tiga di antaranya yang sudah direhap. Meskipun sudah direhap namun tidak menghilangkan cirikhas serta bentuk bagunan yang dibangun Pemerintah Hindia Belanda pada umumnya.

Masih dalam kompleks Mercusuar Willem's Toren. Sekira 100 meter dari Mercusuar Willem's Toren terdapat satu bangunan berlantai dua yang dipenuhi semak belukar tanpa atap dan jendela masih berdiri kokoh di atas perbukitan Pulau Breueh yang dikelilingi asrinya hutan ujung negeri.

Untuk menjaga kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dari Sabang sampai dengan Meraoke, Pemerintah Indonesia melalui Direktorat Kenavigasian, Direktorat Jenderal Perhubungan Laut dan Kementerian Perhubungan menempatkan personelnya untuk menjaga keselamatan dan keamanan pelayaran di wilayah barat Indonesia mengemban tugus tersebut kepada Distrik Navigasi Kelas II Sabang.

Ketika penulis bertandang ke pulau terluar Indonesia, Pulau Breueh, Kecamatan Pulo Aceh, Kabupaten Aceh Besar, Provinsi Aceh, 28 Maret di dalam kompleks mercusuar tersebut terlihat sepi tanpa ada pengunjung dan menara pun digembok.

Selang beberapa menit kemudian, keluar seorang petugas jaga Mercusuar Willem's Toren dan dengan ramah petugas itu menyapa sembari memperkanalkan diri. "Saya petugas jaga Mercusuar, Pasaribu. Selamat datang dan silakan istrihat dulu," kata petugas Distrik Navigasi Kelas II Sabang itu.

Petugas Distrik Navigasi Kelas II Sabang itu melanjutkan perbincabangannya, "Menara dikunci untuk keamanan dan yang memegang kunci sudah turun kebawah sebentar lagi juga kembali, istirahat dulu lah," ujarnya menawari sembari menyodorkan kursi.

Tepat lima menit kemudian, pemegang kunci Mercusuar Willem's Toren pun kembali dan ia langsung menyapa, "selamat datang, menara di kunci untuk keamanan dan sudah sangat lama air raksa yang berfungsi untuk menghidupi lampu mercusuar hilang, makanya kita kunci untuk keamanan," kata Edy Yulianto menjelaskan.

"Lampu utama di atas mercusuar sudah tidak mennyala lagi, air raksanya hilang dan sekarang sudah dipasang lampu lainnya disamping lampu utama dan fungsinya juga sama," ucap petugas Navigasi menjelaskan.

Lebih lanjut Edy menceritakan, Mercusuar yang dibangun pemerintah kolonial Belanda ini merupakan situs sejarah yang sangat penting dan masih berfungsi sampai sekarang. Fungsinya pun sangat sakral, yakni cahaya dari atas menara untuk mengatur lalu lintas pelayaran pada jalur pelayaran Internasional Samudera Hindia.

"Dulu menara ini berfungsi untuk menghitung jumlah kapal yang sedang berlayar melalui jalur internasional (Samudera Hindia) secara otomatis, tapi sekarang tidak kita hitung lagi," ceritanya.

Kemudian, petugas jaga menara pun memberikan kunci dan mempersilakan penulis untuk menikmati embusan udara segar yang berasal dari lautan lepas jalur pelayaran penting bagi kapal-kapal dunia internasional.

Untuk sampai di puncak Mercusuar Willem's Toren, banyak menguras energi dan pengunjung harus menaiki tangga hingga 174 anak tangga plat besi bunga. Cukup melelahkan.

Sampai di pucuk mercusuar, seketika itu juga kelelahan tadi tergantikan dengan sajian panorama hamparan laut lepas di kepulauan paling ujung barat Indonesia, Samudera Hindia sejuah mata memandang sampai ke kaki langit.

Masih diatas pucuk mercusuar, dibalik kaca bundar putih transparan itu pun terlihat jelas air laut nan kebiru-biruan sampai ke kaki langit dan pulau-pulau kecil bebatuan tanpa penghuni pun seperti mengapung di ujung negeri itu.

Hari itu, cuaca sangat cerah dan bersahabat, langit biru dihiasi gumpalan awan keputihan dan air laut nan kebiru-biruan pun terlihat menyejukkan. Pecahan ombak yang mengeluarkan buih putih terlihat jelas di kejauhan sana bak abstrak terbingkai yang dipajang dinding gedung-gedung besar.

Kemudian, dari atas pucuk menara juga terlihat asrinya hutan Pulau Breueh dan di kejauhan sana sekira 15 meter menghadap ke Utara tampak jelas Pulah Weh (Sabang) yang memanjang.

Awan putih cerah pun mewarnai langit ujung negeri dan di kejauhan sana juga terlihat satu pulau terluar (Pualu Rondo) sekira 20 mil dan pulau tersebut dijaga oleh pasukan TNI.

Lalu, menatap ke Selatan hamparan perbukitan terlihat masih asri nan virgin dan di sisi Timur terlihat empat bangunan peninggalan Belanda yang memanjang hingga ke perbukitan.

Di atas ujung mercusuar juga terdapat satu lampu (putih) raksasa yang berputar setiap saat. Namun sungguh sangat disayangkan lampu raksasa (benda bersejarah) di puncak mercusuar tersebut tidak lagi berfungsi sebagaimana mestinya, karena air raksa sebagai bahan utama penerangnya sudah hilang.

Lampu utama menara tersebut pun tidak lagi berfungsi, kendati demikian petugas Distrik Navigasi Kelas II Sabang telah memasang lampu lain di samping lampu raksasa tersebut dan cahaya dari Mercusuar Willem's Toren untuk mengatur pelayaran jalur lintas Internasional (Samdera Hindia).

Perjalanan menuju menara Mercusuar Willem's Toren sungguh sangat melelahkan dan sepanjang perjalanan dari depan Sekolah Dasar (SD) Rinon, Pulo Aceh harus menyusuri hutan, jalannya pun penuh dengan lubang, berbatuan serta akar pepohonan yang melintang di sepanjang jalan setapak yang jauhnya hingga sekitar 4 kilimoter.

Sepanjang perjalanan menuju menera tersebut anda harus benar-benar konsentrasi dan meskipun demikian sesekali terperosok juga ke dalam lubang serta tersandung akar kayu yang melintangi jalur setapak di tengah rindangnya hutan Pulau Breueh.

"Mercusuar Ini kan situs sejarah, seharusnya pemerintah menyegerakan membangun jalan menuju mercusuar," kata penjaga mercusuar.

Pulau Aceh meliputi enam pulau, yakni Pulau Breueh (Pulau Beras), Bunta, Nasi, Keureusik, Teunom, Sidom, Kepala dan Pulau Batee, selain itu ada juga pulau-pulau kecil bebatuan tanpa penghuni.

Kecamatan Pulau Aceh sendiri dihuni sekitar 6.000 jiwa dan tersebar di tiga kemukiman (permukiman, red) dan 17 gampong (desa), yakni Kemukiman Pulo Breueh Utara, Gampong Alue Raya, Lapeng, Meulingge, Rinon.

Kemudian, Kemukiman Pulo Breueh Selatan teridir dari Gampong, Blang Situngkoh, Gugop, Lampuyang, Lhoh, Paloh, Seurapong, Teunom, Ulee Paya dan terakhir Kemukiman Pulau Nasi, Gampong Alue Reuyeueng, Deudap, Lamteng, Pasi Janeng dan Rabo.

Menuju ke pulau paling ujung Barat Indonesia ini hanya ada satu transportasi laut, itu pun boat kayu milik nelayan dan berangkat dari pelabuhan sandar boat nelayan, Lampulo, Banda Aceh - Gugop, Pulau Breueh dengan waktu untuk tempuh sekitar 2,5 jam.

Kapal yang semula untuk menangkap ikan kini dijadikan alat transportasi utama bagi sekitar 6.000 jiwa masyarakat kepulauan paling ujung barat Indonesia dan pelayaran dari Gugop, Pulo Aceh - Lampulo, Banda Aceh dan sebaliknya.

Ada pun jadwal pelayaran dari Lampulo, Banda Aceh pukul 14:00 WIB dan dari Gugop, Pulau Breueh Pukul 08:00 WIB, ongkosnya pun terjangkau yakni Rp 25.000/ orang dan sepeda motor 25.000 ditambah biaya buruh mengangkat sepede motor ke Boat dua kali masing-masing Rp20.000.

Pewarta: Irman Yusuf

Uploader : Salahuddin Wahid


COPYRIGHT © ANTARA News Aceh 2017