Kejaksaan Negeri (Kejari) Bireuen, Aceh, mendamaikan perkara penganiayaan berdasarkan keadilan restoratif atau restorative justice, sehingga penyelesaiannya tidak dilakukan di pengadilan.
Kepala Kejari Bireuen Munawal Hadi di Bireuen, Kamis, mengatakan setelah perdamaian para pihak, pelaku dan korban, selanjutnya, jaksa penuntut umum mengajukan penghentian penuntut perkara berdasarkan keadilan restoratif
"Perkara penganiayaan ini dengan tersangka berinisial MK dan korban, M. Para pihak sudah sepakat berdamai, sehingga penyelesaiannya perkara dilakukan berdasarkan keadilan restoratif," kata Munawal menyebutkan.
Ia menyebutkan proses perdamaian tersangka dengan korban turut disaksikan pihak keluarga kedua pihak serta perangkat desa mereka. Proses perdamaian juga disaksikan pihak kepolisian.
Munawal menyebutkan penganiayaan dilakukan MK terhadap M terjadi pada 4 Oktober 2023. Saat itu, M berada di sebuah kedai di Desa Alue Barat, Kecamatan Samalanga, Kabupaten Bireuen.
Di kedai tersebut, M menerima informasi bahwa becak abangnya hendak dibakar MK. Lalu, M mendapati ban becak abangnya dalam keadaan kempis. Selanjutnya, M menjumpai MK dan menanyakan kenapa ban becak abangnya dikempiskan.
Namun, MK tidak menjawab. Saat itu, MK memegang parang dan besi. Kemudian, MK membuang parang dan menggunakan besi memukul M. Berdasarkan hasil visum Puskesmas Samalanga, korban M mengalami luka di lengan kiri akibat terkena pukulan besi oleh MK.
"Perbuatan tersangka MK sebagaimana diatur dan diancam pidana Pasal 351 Ayat (1) KUHP. Dalam proses perdamaian, tersangka MK bersedia bersedia membayar ganti rugi biaya pengobatan M sebesar Rp25 juta. Tersangka MK juga berjanji tidak mengulangi perbuatannya," kata Munawal Hadi.
Penyelesaian perkara berdasarkan restoratif, kata dia, merupakan tindak lanjut program Jaksa Agung, di mana penyelesaian sebuah perkara tidak harus melalui proses peradilan atau persidangan di pengadilan.
Penghukuman pelaku dalam sebuah perkara adalah upaya terakhir. Jadi, apa bila ada persoalan hukum diupayakan diselesaikan berdasarkan keadilan restoratif dan tidak harus ke pengadilan.
"Akan tetapi, ada syarat penyelesaian perkara hukum berdasarkan keadilan restoratif. Di antaranya, para pihak, baik korban maupun pelaku sudah berdamai. Pelaku berjanji tidak mengulangi perbuatannya dan korban juga tidak lagi menuntut," katanya.
Persyaratan lainnya, pelaku baru pertama melakukan tidak pidana. Penghentian perkara berdasarkan keadilan restoratif tersebut tidak berlaku bagi pelaku residivis atau orang yang pernah dipidana.
Serta ancaman pidananya kurang dari lima tahun. Semua syarat tersebut harus terpenuhi apabila ingin menghentikan perkara berdasarkan keadilan restoratif.
"Penyelesaian perkara berdasarkan keadilan restoratif tersebut sejalan dengan kearifan lokal masyarakat Aceh, di mana penyelesaian sebuah perkara dimusyawarahkan kedua pihak yang disaksikan tokoh masyarakat," kata Munawal Hadi.
Baca juga: Kejari Bireuen geledah Kantor PNPM terkait korupsi Rp3,44 miliar
COPYRIGHT © ANTARA News Aceh 2024
Kepala Kejari Bireuen Munawal Hadi di Bireuen, Kamis, mengatakan setelah perdamaian para pihak, pelaku dan korban, selanjutnya, jaksa penuntut umum mengajukan penghentian penuntut perkara berdasarkan keadilan restoratif
"Perkara penganiayaan ini dengan tersangka berinisial MK dan korban, M. Para pihak sudah sepakat berdamai, sehingga penyelesaiannya perkara dilakukan berdasarkan keadilan restoratif," kata Munawal menyebutkan.
Ia menyebutkan proses perdamaian tersangka dengan korban turut disaksikan pihak keluarga kedua pihak serta perangkat desa mereka. Proses perdamaian juga disaksikan pihak kepolisian.
Munawal menyebutkan penganiayaan dilakukan MK terhadap M terjadi pada 4 Oktober 2023. Saat itu, M berada di sebuah kedai di Desa Alue Barat, Kecamatan Samalanga, Kabupaten Bireuen.
Di kedai tersebut, M menerima informasi bahwa becak abangnya hendak dibakar MK. Lalu, M mendapati ban becak abangnya dalam keadaan kempis. Selanjutnya, M menjumpai MK dan menanyakan kenapa ban becak abangnya dikempiskan.
Namun, MK tidak menjawab. Saat itu, MK memegang parang dan besi. Kemudian, MK membuang parang dan menggunakan besi memukul M. Berdasarkan hasil visum Puskesmas Samalanga, korban M mengalami luka di lengan kiri akibat terkena pukulan besi oleh MK.
"Perbuatan tersangka MK sebagaimana diatur dan diancam pidana Pasal 351 Ayat (1) KUHP. Dalam proses perdamaian, tersangka MK bersedia bersedia membayar ganti rugi biaya pengobatan M sebesar Rp25 juta. Tersangka MK juga berjanji tidak mengulangi perbuatannya," kata Munawal Hadi.
Penyelesaian perkara berdasarkan restoratif, kata dia, merupakan tindak lanjut program Jaksa Agung, di mana penyelesaian sebuah perkara tidak harus melalui proses peradilan atau persidangan di pengadilan.
Penghukuman pelaku dalam sebuah perkara adalah upaya terakhir. Jadi, apa bila ada persoalan hukum diupayakan diselesaikan berdasarkan keadilan restoratif dan tidak harus ke pengadilan.
"Akan tetapi, ada syarat penyelesaian perkara hukum berdasarkan keadilan restoratif. Di antaranya, para pihak, baik korban maupun pelaku sudah berdamai. Pelaku berjanji tidak mengulangi perbuatannya dan korban juga tidak lagi menuntut," katanya.
Persyaratan lainnya, pelaku baru pertama melakukan tidak pidana. Penghentian perkara berdasarkan keadilan restoratif tersebut tidak berlaku bagi pelaku residivis atau orang yang pernah dipidana.
Serta ancaman pidananya kurang dari lima tahun. Semua syarat tersebut harus terpenuhi apabila ingin menghentikan perkara berdasarkan keadilan restoratif.
"Penyelesaian perkara berdasarkan keadilan restoratif tersebut sejalan dengan kearifan lokal masyarakat Aceh, di mana penyelesaian sebuah perkara dimusyawarahkan kedua pihak yang disaksikan tokoh masyarakat," kata Munawal Hadi.
Baca juga: Kejari Bireuen geledah Kantor PNPM terkait korupsi Rp3,44 miliar
COPYRIGHT © ANTARA News Aceh 2024