Yayasan Supremasi Keadilan Aceh (SaKA) mendesak Kepolisian Daerah (Polda) Aceh untuk segera mengungkap konspirasi tekong antar negara yang diduga kuat berada di balik terdamparnya imigran ilegal di perairan Aceh.

“Imigran ilegal kembali ditemukan di perairan Labuhan Haji, Aceh Selatan. Sebelumnya, kapal mereka tenggelam di perairan Aceh Barat, menewaskan banyak orang. Ini sangat berbahaya jika dibiarkan, Polda harus segera mengungkap dalangnya,” kata Ketua SaKA, Miswar di Blangpidie, Sabtu.

Miswar mengungkapkan bahwa investigasi SaKA menunjukkan mayoritas imigran yang terdampar di perairan Aceh bukanlah etnis Rohingya, melainkan warga Bangladesh dan India yang menyamar.

“Sumber yang pernah bekerja dengan seorang tekong di Malaysia mengatakan kepada kami bahwa hanya sekitar 5 persen yang benar-benar etnis Rohingya. Selebihnya adalah warga Bangladesh dan India,” ujarnya.

Baca juga: Kapal etnis Rohingya terombang-ambing di Perairan Aceh Selatan

Para imigran ini mendaftarkan diri kepada tekong di negara asal mereka dengan membayar harga mahal untuk pergi ke Malaysia secara ilegal. Sebelum diberangkatkan, mereka ditempatkan di sebuah kamp di Kalkuta, India.

Tekong dari India dan Bangladesh kemudian bekerja sama dengan tekong di Aceh untuk mengatur perjalanan mereka, memanfaatkan jaringan penyelundupan manusia yang terorganisir dengan baik, melibatkan tekong di Malaysia.

Rantai perjalanan imigran

Menurut sumber tersebut, tekong di Malaysia bertugas menampung imigran yang baru tiba dan mencarikan pekerjaan bagi mereka. Setelah perjanjian kerja dan jumlah gaji ditentukan, imigran dari India dan Bangladesh dinaikkan ke kapal tangkap lalu berlayar menuju perairan Aceh melalui Teluk Benggala.

Sebelum tiba di perbatasan, tekong Bangladesh atau India berkomunikasi dengan tekong Aceh untuk pergantian kapal di laut lepas, dengan harapan bisa masuk secara ilegal ke pesisir pantai Aceh.

Setelah berhasil masuk, tekong di Aceh menjemput dan membawa mereka ke Sumatera Utara melalui jalur darat dan kemudian ke Malaysia melalui Tanjung Balai.

Tidak sedikit juga imigran yang diantarkan langsung ke negeri Jiran menggunakan speedboat berkecepatan tinggi, namun ada juga yang tenggelam di laut seperti peristiwa di perairan Aceh Barat yang menyebabkan banyak korban jiwa.

Lebih parah lagi, setelah proses pergantian kapal selesai di laut lepas, ada tekong yang membiarkan kapal tangkap yang mengangkut manusia itu terombang-ambing hingga bertemu dengan para nelayan yang sedang mencari ikan di laut.

Baca juga: Kapal ditumpangi imigran Rohingya di Aceh diduga milik warga lokal

Dugaan kolaborasi dengan oknum

Miswar juga menyoroti bahwa banyak imigran yang terdampar di perairan Aceh dan ditempatkan di penampungan berhasil melarikan diri.

Hal ini diduga kuat karena adanya kolaborasi antara tekong dan oknum-oknum tertentu. Kolaborasi ini memungkinkan imigran untuk lolos dari tempat penampungan dan lari ke Malaysia.

Setelah tiba di Malaysia, para imigran ini dipekerjakan oleh perusahaan atau majikan. Namun, gaji mereka setiap bulan dipotong oleh tekong dengan alasan untuk menutupi utang selama perjalanan. Gaji yang dipotong tersebut kemudian dikumpulkan dan ditransfer kepada tekong di Aceh dan India.

Hal ini berlangsung selama berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun, membuat para imigran terjebak dalam siklus utang yang sulit dihindari, rentan terhadap eksploitasi dan kondisi kerja yang buruk.

Situasi ini menunjukkan kompleksitas dan tantangan dalam menangani masalah imigran ilegal di perairan Aceh. Kolaborasi antar negara dan berbagai pihak yang terlibat dalam jaringan penyelundupan manusia ini membuat penanganan masalah menjadi semakin sulit.

Oleh karena itu, SaKA mendesak pihak kepolisian untuk segera mengungkap dan menangkap dalang di balik konspirasi ini agar kejadian serupa tidak terus berulang dan menimbulkan korban jiwa di perairan laut Indonesia.

Baca juga: Panglima Laot salurkan logistik untuk Rohingya di laut Aceh Selatan

Pewarta: Suprian

Editor : Febrianto Budi Anggoro


COPYRIGHT © ANTARA News Aceh 2024