Langsa (Antaranews Aceh) - Deburan ombak bersahutan dengan tenang, diiringi semilir angin bertiup sepoi. Meski mentari begitu "gagah" menyinari persada dari ufuk timur sebelum terbenam di belahan barat.

Kicau burung camar sesayup terdengar dari kejauhan. Begitulah, kesan awal ketika melangkahkan kaki memasuki komplek Pelabuhan Kuala Langsa, Kota Langsa, Provinsi Aceh.

Pemerintah Kota Langsa kini tengah mengapai asa dari Pelabuhan Kuala Langsa menjadi kawasan ekspor impor berbagai komoditas asal Aceh, sehingga meningkatkan perekonomian daerah.

Berbagai kesiapan dan upaya pemerintah daerah dalam mempercepat derap pembangunan dan meningkatakn status pelabuhan itu, khsususnya di bidang kemaritiman sebagaimana Nawacitanya Presiden dan Wakil Presiden terus dilakukan.

Kuala Langsa merupakan nama sebuah desa pesisir yang terletak di bagian barat Kota Langsa, Provinsi Aceh. Di daerah ini terdapat sejumlah destinasi wisata, seperti hutan mangrove, jembatan hijau yang ramai dikunjungi pengunjung berakhir pekan, menara pemantau mangrove sampai pelabuhan yang sudah ada sejak sebelum masa kolonial.

Pelabuhan Kuala Langsa adalah satu-satunya sarana transportasi laut yang menghubungkan Kota Langsa dengan luar negeri.

Dahulu pelabuhan ini ramai akan aktivitas  kapal bongkar muat barang antara Kota Langsa dengan daerah-daerah lain di Indonesia. Maupun kapal bongkar muat barang di antaranya dengan negara Malaysia, Thailand, India dan Singgapura.

Di masa lampau, Pelabuhan Kuala Langsa digunakan oleh saudagar Aceh untuk mengirimkan berbagai komoditas hasil pertanian dan perkebunan.

Hal ini dilatarbelakangi oleh letak Pelabuhan Kuala Langsa yang begitu strategis di jalur laut Selat Malaka. Lantas, pada era kolonial Belanda, pelabuhan ini juga dijadikan basis pengiriman berbagai keperluan VOC dalam melancarkan agitasi dan agresinya terhadap bumi "Seuramoe Mekkah".

Ekspor arang bakau ke berbagai negara juga berlangsung lama dari kawasan ini. Diantara tahun 90-an hingga era milenium (2000).

Banyak pengusaha lokal melakukan transaksi perdagangan laut menggunakan jasa pelabuhan Kuala Langsa. Padahal saat itu, Aceh masih dirundung konflik bersenjata antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan Pemerintah Republik Indonesia yang berkepanjangan.

Pelabuhan ini sempat pula menjadi jalur pelayaran internasional melalui beroperasinya kapal feri penyeberangan dari Kota Langsa menuju Penang, Malaysia di pertenggahan tahun 2013. Ini merupakan terobosan Pemerintah Kota Langsa di bawah kepemimpinan Usman Abdullah dan Marzuki Hamid.




Kuala Langsa juga menjadi sejarah penting bagi masyarakat dunia, yakni, aksi penyelamatan ratusan imigran muslim Rohingya asal Myanmar dan Bangladesh.

Nelayan Kota Langsa yang saat itu, bertemu dengan kapal pembawa etnis Rohingya di tengah laut Selat Malaka, membawa saudara muslimnya itu yang sedang terombang-ambing tanpa arah tujuan, menepi ke Pelabuhan Kuala Langsa, sekaligus sebagai tempat penampungan sementara, pada medio Mei 2015.

Kini, Pelabuhan Kuala Langsa "mati suri". Sejumlah fasilitas pendukung seperti dermaga sandar, alur pelayaran, gudang, lokasi parkir, alat angkut dan bongkar muat yang telah disolek pemerintah daerah terkesan mubazir.

Pasalnya, tiada lagi aktivitas pelayaran atau bongkar muat kapal di sana. Pelabuhan kebanggaan masyarakat Kota Langsa itu yang menjadi destinasi warga yang rindu akan keramaian pelabuhan seperti sediakala.

Wali Kota Langsa, Usman Abdullah berencana mengaktifkan kembali jalur ekspor impor melalui pelabuhan ini. Namun, usaha ini tak semudah membalik telapak tangan.

Sejumlah regulasi "menggurita" hasrat pengembangan pelabuhan Kuala Langsa. Walau, secara kekhususan Aceh berhak mengelola sejumlah pelabuhannya secara mandiri.

Pemerintah Kota Langsa berencana menjadikan Kuala Langsa sebagai pelabuhan komoditas. Menukil pernyataan Asisiten I Pemko Langsa, Suyitno AP, bahwa sejumlah fasilatas pendukung telah tersedia di pelabuhan itu.

Hanya tinggal menunggu kejelasan regulasi agar bisa melakukan kegiatan ekspor impor sejumlah barang komoditas hasil perikanan, pertanian dan perkebunan masyarakat.

Sejatinya, Pelabuhan Kuala Langsa "mati suri" sejak terbitnya Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 57 tahun 2002 dan Keputusan Menteri Pertanian Nomor 42 tahun 2010, telah memupus geliat ekspor impor di pelabuhan itu.

Kedua keputusan itu melarang untuk mengimpor barang produksi mainan anak dan hasil pertanian seperti bawang dan gula pasir.

Walau sebenarnya,  celah untuk kembali bergeliatnya kegiatan ekspor impor di Pelabuhan Kuala Langsa maupun sejumlah pelabuhan lain di Aceh, telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh. Dimana, pada Pasal 9 butir 1, disebutkan, Pemerintah Aceh dapat bekerjasama dengan lembaga atau badan luar negeri.

Begitu pula dengan pemerintah daerah (kabupaten dan kota) yang memiliki kewenanggan mengelola pelabuhan yang sebelumnya dikelola Pemerintah Pusat. Dimana, pengelolaan pelabuhan dapat diserahkan pada serikat usaha milik pemerintah Aceh sebagaimana termaktub dalam Pasal 19, butir 1,2 dan 4 UUPA.

Disinilah, dibutuhkan sinergitas semua komponen masyarakat. Secara regulasi, dibutuhkan komitmen Pemerintah Aceh untuk menelurkan aturan daerah tentang pengelolaan pelabuhan.

Kemudian, pentingnya dukungan elit Aceh di Jakarta, seperti anggota DPR RI dan empat senator Aceh untuk mendorong Pemerintah Pusat memberikan kemudahan perizinan ekspor impor di Pelabuhan Kuala Langsa.

Pengamat tansportasi nasional, Darmaningtyas dalam suatu kesempatan mengatakan, dengan tidak beroperasinya Pelabuhan Kuala Langsa telah mematikan sumber perekonomian sedikitnya 413 orang anggota Koperasi Tenaga Bongkar Muat (KTBM), ratusan pedaganng, tukang becak dan ojek yang dapat hidup dari geliat pelabuhan itu.

Padahal, lanjut Darmaningtyas, Pelabuhan Kuala Langsa telah membuka terisoliran perdagangan laut yang beku selama ini, dimana ekspor komoditi buah-buahan, kopra, minyak CPO, arang, pinang dan coklat dari masyarakat Langsa, Aceh Timur, Aceh Tamiang dan sekitarnya telah memberikan peluang usaha yang murah secara biaya operasinal untuk menjangkau pasar luar negeri seperti Malaysia, India maupun Singgapura.



                     
Guna mengembalikan peranan penting Pelabuhan Kuala Langsa, Wali Kota Langsa telah menyurati Presiden Joko Widodo dengan tembusannya ditujukan pada sejumlah kementerian terkait.

Dalam surat bernomor:523/110/2018, perihal hambatan pelaksanaan ekspor perikanan di Kota Langsa, Usman Abdullah berharap kepada Presiden Jokowi dapat menerbitkan regulasi yang berpihak kepada pengusaha lokal (deregulasi) maupun melalui menteri-menteri terkait.

Ia meminta agar mempermudah dan meringankan proses dan syarat-syarat ekspor perikanan, serta disesuaikan dengan kemampuan masing-masing daerah, dan tidak menggeneralisasi semua daerah sama kesiapanannya dalam menyiapkan ekspor perinanan.

Lalu, perlu adanya pembinaan bagi para pelaku ekspor, agar secara bertahap meningkatkan standar mutu dan kualitas eskpor.

Kemudian, diperlukan sinkronisasi antara stakeholder kepelabuhanan dalam hal ekspor ikan, agar jangan satu kementrian atau lembaga memberikan syarat yang justru menambah bebas bagi eksportir.

Terakhir, harap Wali Kota, dalam hal mengeluarkan regulasi ekspor perikanan ini, besar harapan kepada para Menteri/Lembaga yang terkait hendaknya tetap mengacu kepada semangat Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh.

Dimana, pada Pasal 8 ayat 1, 2, 3 yang pada intinya menyatakan kebijakan yang akan dikeluarkan pemerintah berkaitanan dengan Pemerintah Aceh dilakukan dengan konsultasi dan pertimbangan DPRA maupun Gubernur Aceh.

Usman Abdullah meyakini bahwa Presiden Jokowi sangat arif dan bijaksana menyikapi persoalan yang dihadapi di daerah, dan jika hal ini tidak ditindaklanjuti oleh kementerian atau lembaga terkait, maka apa yang tertuang dalam UUD 1945, UU Nomor 2 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah serta Nawa Cita Presiden RI dan arahan Presiden dalam rapat kerja pemerintah terhadap lima tugas kepala daerah hanya sebatas retorika dan wacana saja.

Pewarta: Putra Zulfirman

Editor : Heru Dwi Suryatmojo


COPYRIGHT © ANTARA News Aceh 2018