Banda Aceh (Antaranews Aceh) - "Duduk, duduk!" intruksi itu berasal dari seorang pria bernama Amilin. Sekilas suaranya lantang seperti sedang marah.
    
Namun, ia melakukannya itu ketika memerintahkan gajah, satwa jinak yang dirawatnya selama ini. Di sampingnya, banyak pengunjung yang berfoto, sebagian lagi meminta untuk dapat menunggangi satwa bertubuh besar ini.
    
Selain memerintahkan untuk duduk, dia juga memerintahkan untuk mengambil air dari belalai dan menyemburkannya ke pengunjung.
    
Selain menikmati keindahan alam yang ada di Aceh, kini wisatawan baik lokal maupun mancanegara dapat ikut serta menyaksikan sekaligus beredukasi mengenai satwa pemilik gading di Conservation Response Unit (CRU) Sampoiniet, Kabupaten Aceh Jaya, Provinsi Aceh. Di sana merupakan tempat konservasi dan penempatan gajah jinak di hutan belantara.
    
CRU sebagai tempat pelatihan dan penempatan gajah jinak, kini juga menjadi ekowisata satwa yang ada di Aceh. Lokasinya terletak di Dusun Sarah Deu, Desa Ie Jeurangeh, Kecamatan Sampoiniet, Kabupaten Aceh Jaya, Provinsi Aceh. Letaknya 20 kilometer dari jalan nasional Banda Aceh-Meulaboh (Kabupaten Aceh Barat).
    
Wisatawan lokal maupun mancanegara yang berkunjung ke sina melalui arah Banda Aceh, akan lebih dulu disuguhkan dengan keindahan alam Aceh di Kabupaten Aceh Jaya. Tepatnya di puncak gunung geurutee.
    
Dari Banda Aceh ke CRU Sampoiniet berjarak sekitar 148 kilometer, butuh waktu kurang lebih 3 jam setengah untuk sampai ke CRU Sampoiniet, baik menggunakan kendaraan roda dua maupun roda empat.
    
CRU Sampoiniet memiliki kegiatan rutin setiap harinya. Ada empat ekor gajah di sini. Menariknya, keempatnya memiliki nama dan usia serta jenis kelamin yang berbeda. Empat ekor gajah tersebut adalah spesies gajah sumatera yang termasuk dalam hewan langka dan dilindungi.
    
Gajah yang memiliki tubuh dan gading paling besar bernama Aziz berusia 30 tahun, ada juga Isabella yang paling tua dari keempat gajah di sana, berusia 36 tahun, Johanna 23 tahun, dan Ollo 26 tahun.
    
Biasanya setiap pagi, mahout (pawang) di sini akan lebih dulu memberi makan dan minum gajah, kemudian memeriksa kesehatan gajah, dan dilanjutkan dengan memandikan gajah di sungai yang berada persis di belakang basecamp CRU Sampoiniet.
    
Biasanya juga jika sedang ada pengunjung, mereka juga turut diikutsertakan menunggangi gajah menuju ke tempat pemandian.
    
Nantinya mahout akan memerintahkan gajah untuk duduk di dasar air, kemudian dia dan pengunjung yang ikut akan menyikat bagian tubuh gajah hingga bersih.
    
Setelah dimandikan, gajah akan dibawa lagi ke CRU. Di sana, mahout akan melatih gajah agar mematuhi apa yang diperintahkan oleh mereka dan pengunjung juga dapat ikut bermain dengan gajah.
    
"Kalau udah habis dimandikan, nanti dia main-main atau makan lagi. Kalau ada pengunjung yang datang, kita ajak main sama pengunjung," kata Amilin.
    
Selain melatih gajah-gajah, mahout di sini juga berpatroli ke hutan. Biasanya dilakukan sekali dalam sepekan. Mahout dan gajah berpatroli dengan tujuan untuk mengawasi adanya gajah liar yang masuk ke perkampungan atau perkebunan warga serta membuka jalan baru.
    
"Biasanya kita ada patroli seminggu sekali, atau ada juga nanti kemungkinan warga kasih informasi  adanya gajah liar yang masuk, kita patroli lagi di luar dari jadwal patroli biasanya. Karena itulah kegunaan adanya CRU," kata dia.

Pawang dengan gajahnya patroli. (Foto Antara Aceh/Cut Salma)

Kisah mahout gajah

Hidup di kawasan hutan belantara tanpa listrik dan juga sinyal tentu menjadi tantangan tersendiri di tengah era teknologi saat ini. Hal ini pula yang dialami oleh para mahout dan petugas CRU lainnya. Mereka memilih hidup di hutan belantara untuk menjaga satwa yang dilindungi ini.
    
Peran CRU sebagai sebuah unit manejemen konservasi yang berbasis full time di lapangan, serta penempatan staff secara full time berdampingan dengan masyarakat tentu menjadi upaya utama mitigasi konflik antara satwa liar dan manusia, sehingga mereka juga harus meyesuaikan diri dengan keadaan dan lingkungan hutan.
    
Amilin yang merupakan asisten mahout mengatakan, dirinya bergabung menjadi staff di CRU Sampoiniet kurang lebih sudah 3 tahun.
    
Sebelum bergabung sebagai petugas di CRU, dirinya merupakan anggota Wilayatul Hisbah (WH) yang bertugas di Calang, Aceh Jaya.
    
Ia juga merupakan salah satu warga di Desa Ie Jeurangeh, sehingga awal mula adanya CRU Sampoiniet ia kerap bermain ke tempat itu, sebelum akhirnya ia ditawarkan menjadi asisten mahout.
    
"Kurang lebih udah 3 tahun di sini. Sekitar awal tahun 2015 bergabung. Awal adanya CRU sering kemari untuk main-main sama gajah. Akhirnya jadi asisten mahout di sini," kata dia.
    
Setiap pekerjaan tentu memiliki konsekuensi tersendiri, menjadi mahout menurutnya memiliki risiko yang tinggi. Selain hidupnya yang berada di tengah hutan belantara, mahout kerap kali juga harus berhadapan dengan satwa liar yang ada di hutan.  
    
Amilin menceritakan, ia dan rakan kerjanya, kerap berhadapan dengan gajah liar ketika sedang melakukan patroli.
    
"Misalnya lagi patroli, atau ada laporan dari warga kalau ada gajah liar. Kita harus ke sana. Kita yang mengejar gajah, tapi bisa jadi gajah yang balik mengejar kita," kata dia.
    
Namun demikian, menurutnya, gajah berbalik arah mengejar manusia disebabkan oleh jalan gajah terhalangi, sehingga mau tidak mau, gajah-gajah itu berbalik arah, dan berhadapan dengan manusia.
    
"Inilah risikonya. Setiap pekerjaan pasti ada resikonya. Kami sering kejar-kejaran sama gajah liar. Sebenarnya gajahnya nggak bermaksud mau nyerang. Tapi karena jalannya terhalangi, otomatis mereka harus mutar balik. Gimana  contoh dihalangi?, misalnya pas gajahnya lari, ada tebing atau ada hutan yang tidak ada jalan. Otomatis dia berbalik arah lagi. Nah, pas balik itu ternyata berhadapan sama kita," ujarnya.
    
Mahout-mahout di CRU Sampoiniet ini kerap melakukan patroli dengan membawa berbagai perlengkapan, seperti petasan, maupun kayu-kayu pohon yang ditemui sepanjang perjalanan.
    
"Untuk menakut-nakuti gajah ini agar tidak balik menyerang, biasa kami bawa petasan. Mereka takut sama suara petasan. Atau mau tidak mau harus bawa kayu. Kita juga jangan sampai menyakiti gajah-gajah liar itu, karena bagaimapun harus melindunginya," kata dia sambil memberikan pelepah kelapa pada gajah.

Pawang memandikan gajah di sungai. (Foto Antara Aceh/Cut Salma)

Manfaat untuk masyarakat

Tingginya konflik antara satwa liar, terkhusus gajah dengan manusia serta jumlah gajah yang dibunuh semakin banyak, maka menjadikan sejumlah pihak terkait untuk mendirikan Conservation Response Unit (CRU).
    
Di Aceh, tempat pertama yang disepakati untuk mendirikan CRU pertama kali adalah Kabupaten Aceh Jaya, tepatnya CRU Sampoiniet ini, karena lokasinya rentan terjadinya konflik antara satwa dan manusia.
    
CRU Sampoiniet resmi berdiri Juli 2008. Empat individu gajah jinak didatangkan dari Pusat Pelatihan Gajah (PLG) Saree, Kabupaten Aceh Besar ke CRU yang letaknya berbatasan langsung antara kebun masyarakat dengan hutan itu.
    
Penanganan konflik dan menggiring gajah liar menjauh dari kebun warga mulai rutin dilakukan.
    
Namun demikian, aktivitas di CRU Sampoiniet sempat terhenti pada tahun 2012. Ketika satu individu gajah liar ditemukan mati terbunuh di Kecamatan Sampoiniet, dan menimbulkan permasalahan antara petugas CRU dan juga masyarakat setempat, bahkan Balai Konservasi dan Sumber Daya Alam (BKSDA) memutuskan untuk mengembalikan gajah jinak yang ada di CRU ke PLG Saree.
    
Terhentinya aktivitas yang ada di CRU justru menyebabkan konflik gajah dengan manusia kembali terjadi, masyarakat tidak dapat berkebun karena petugas yang biasanya melakukan penggiringan sudah tidak ada, sehingga pada 28 Maret 2016 CRU Sampoiniet kembali diaktifkan.
    
Salah satu warga di Desa Ie Jeurangeh, Zahlul Akbar yang kerap menghabiskan waktunya di CRU Sampoiniet mengatakan, adanya CRU Sampoiniet sangat membantu masyarakat, karena letak perkampungan warga berdampingan langsung dengan hutan, maka konflik satwa dengan manusia rentan terjadi di tempat ini.
    
"Adanya CRU jelas membantu masyarakat di sini, karena sebelum adanya CRU ini masyarakat sering terlibat konflik dengan satwa. Kalau ada CRU ada yang menggiring satwa-satwa liar yang ada di sekitar sini," katanya.
    
Selain itu, menurutnya CRU menjadi alat pemberdayaan perekonomian masyarakat pinggir hutan yang berkawasan konservasi. Karena dengan adanya CRU yang kemudian menjadi ekowisata satwa, semakin meningkatkan kunjungan ke daerah yang berdampingan dengan CRU.
    
"Sekarang semakin banyak orang yang berkunjung ke sini. Mulai dari yang mau interaksi langsung dengan gajah, atau mahasiswa yang melakukan penelitian, belajar dan lain-lain. Efeknya sangat bagus untuk masyarakat juga. Misal yang punya usaha jualan, karena di CRU nggak ada pedagang kuliner. Otomatis pengunjung sebelum ke sini singgah dulu untuk bawa bekal," kata dia.
     
Ekowisata satwa

CRU juga sebagai sentra pengembangan kapasitas masyarakat dan konservasi di tingkat umum. Konsep pengembangan CRU yang dilengkapai dengan fasilitas basecamp sebagai basis beraktifitas adalah merupakan sarana bagi masyarakat dan penggiat konservasi lokal untuk berkumpul dan mengembangkan berbagai kegiatan.
    
Fazil, yang merupakan salah satu mahasiswa Fakultas Kedokteran Hewan, yang tergabung dalam Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Konservasi Fauna Kedokteran Hewan (KOFAKAHA) Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) Banda Aceh bertepatan dengan penulis berkunjung ke CRU Sampoiniet, ia dan rekan UKM nya juga baru saja melakukan kegiatan di CRU ini.
    
Ia menceritakan, kegiatan yang dilakukan oleh UKM nya adalah kegiatan yang berbentuk fieldtrip, di mana metode itu merupakan cara belajar mengajar yang dilaksanakan dengan mengajak mahasiswa ke tempat atau objek yang bersangkutan dengan materi pembelajaran.
    
Ia dan rekannya memilih CRU sebagai tempat kegiatan mereka karena dirasa tepat dengan tujuan mereka untuk melakukan pendekatan dan mempelajari lebih lanjut dengan satwa yang ada di sini.
    
Fazil yang juga merupakan runner-up duta peduli rimba Aceh tahun 2015 mengatakan, menurutnya gajah adalah satwa liar yang harus dilindungi, mengingat populasinya yang semakin menurun, selain itu gajah juga termasuk hewan yang status konservasinya kritis (Critically Endangered) yang dikeluarkan oleh lembaga konservasi dunia International Union for Conservation of Nature and Natural Resource (IUCN).
    
"Gajah sumatera adalah hewan endemic yang dimiliki oleh negara Indonesia dan tidak dimiliki oleh negara lain dan tentunya harus kita dilindungi," katanya.
    
Ia juga menjelaskan bahwa sebenarnya keberadaan gajah sumatera memiliki banyak manfaat untuk alam dan juga untuk manusia.
    
Gajah adalah penyeimbang ekosistem di alam bebas. Dapat juga diibaratkan dengan spesies payung (umbrella species). Disebut sebagai spesies payung, karena gajah merupakan hewan yang memiliki daerah jelajah sangat luas.
    
"Setiap lintasan hutan yang dilalui oleh gajah, akan subur, karena kotoran gajah juga sangat bagus jika dijadikan pupuk. Jika hutan yang dilewati oleh gajah terjaga, maka hewan yang ada di dalamnya juga otomatis akan terjaga," jelasnya.
    
Ia menambahkan, selain berfungsi sebagai penengah konflik antara gajah dengan manusia, CRU juga berfungsi untuk mengedukasi masyarakat tentang manfaat dari adanya gajah, sehingga gajah tersebut harus dilindungi.
    
Untuk mahasiswa kedokteran hewan sendiri, adanya CRU menjadi sangat penting.
    
"Adanya CRU sangat penting bagi kami mahasiswa kedokteran hewan, karena akan memudahkan kami terlebih yang bercita-cita menjadi dokter hewan spesialis satwa liar. Karena bisa langsung mempelajari bagaimana cara melakukan pendekatan dengan gajah. Karena tentu jauh berbeda dengan mengobati manusia yang tentunya memiliki akal," jelasnya.
    
Selain itu, ia juga menjelaskan bahwa gajah merupakan salah satu hewan yang memiliki daya ingat yang kuat serta daya jelajah yang luas. Hal ini menjadi alasan mengapa ada gajah yang kemudian masuk ke perkampungan warga. Mengingat semakin banyaknya populasi manusia tentu semakin meningkat pula tempat-tempat yang kemudian dijadikan permukiman.
    
"Mungkin perkampungan yang sekarang ini, dulunya adalah tempat lintasan gajah, sehingga mereka masih ingat, dan kembali lagi ke lintasan tersebut. Namun ketika gajah ini kembali ternyata sudah dijadikan perkampungan. Itulah mengapa terjadi konflik dengan manusia, maka dari itu diperlukan CRU yang berdampingan dengan perkampungan dan juga hutan," tambahnya.
    
Kehadiran CRU selain untuk menjaga keseimbangan antara manusia dan gajah juga menjadi ekowisata satwa serta edukasi.

Pewarta: Cut Salma

Editor : Heru Dwi Suryatmojo


COPYRIGHT © ANTARA News Aceh 2019