Banda Aceh (ANTARA) - Akademi Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala (USK) Banda Aceh Adli Abdullah mengingatkan bahwa adat jangan hanya dijadikan sebagai simbol semata, melainkan harus dipikirkan pelaksanaannya.
"Posisi hukum adat dan masyarakat hukum adat di Indonesia telah diakui dalam sistem hukum ketatanegaraan Indonesia," kata Adli Abdullah, di Banda Aceh, Rabu.
Hal itu disampaikan Adli Abdullah saat mengisi materi diskusi di Fakultas Syariah Dan Hukum UIN Ar-Raniry yang bertajuk "Dimana Posisi Hukum Adat Dan Masyarakat Hukum Adat di Indonesia.
Tenaga Ahli Menteri ATR/BPN RI itu mengatakan bahwa keberadaan hukum adat sebagai wujud dari pluralisme hukum yang berlaku di Indonesia.
Posisi hukum adat dan hukum formil memiliki daya pengikat yang sama. Tetapi berbeda dalam bentuk dan aspeknya operasionalnya.
Menurut Adli, pengakuan terhadap masyarakat hukum adat sebagai subjek hukum perlu diatur dalam penatausahaannya, khusus yang berhubungan dengan kepentingan publik.
Khusus di Aceh, Menurut M Adli posisi adat dan hukum masyarakat Adat cenderung hidup secara simbolik dan formal. Maka sudah seharusnya adat Aceh jangan hanya bicara simbol dan formal.
"Hak ulayat di Aceh nyaris hilang. Contoh lain misalnya institusi mukim hanya menjadi simbol bukan penguasa adat. Ini harus dipikirkan supaya adat Aceh tidak abstrak," ujarnya.
Kemudian, lanjut Adli, persoalan tanah adat, Kementerian ATR/BPN terus memberikan pelayanan terbaik proses penataan tanah-tanah adat di seluruh Indonesia, termasuk tanah adat di Aceh.
Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), Hadi Tjahjanto, terus menata tanah adat di Indonesia dan memastikan aman dari mafia tanah,
Menteri ATR/ATR sangat serius dalam memerangi mafia tanah. Mafia tanah adalah suatu kejahatan extraordinary yang terorganisir dengan baik, rapi dan sistematis.
"Mafia tanah boleh dikatakan suatu kejahatan extraordinary yang sifatnya extraordinary. Artinya jaringan mafia tanah sudah terorganisir dengan baik, rapi dan sistematis dan terus menyasar baik tanah individual maupun tanah ulayat," katanya.
Untuk pencegahannya, menurut Adli Kementerian ATR/BPN terus berupaya mendaftarkan seluruh tanah di Indonesia termasuk tanah ulayat untuk melindungi hak-hak masyarakat adat. Pasalnya, pengakuan hak-hak masyarakat adat berguna untuk mengurangi konflik agraria.
Dalam menghasilkan peta desa lengkap, selama ini, tanah ulayat seringkali tertinggal. Kementerian ATR/BPN juga mencoba menandai tanah ulayat itu dengan Nomor Identifikasi Bidang Sementara (NIS).
"Kalau yang sudah terukur dan itu kemudian sudah memenuhi persyaratan pengukuran kadastral kita kasih NIB (Nomor Identifikasi Bidang). Tapi kalau NIS yang diharapkan nanti bisa ditindaklanjuti program pendaftaran tanah selanjutnya," katanya.
Tindak lanjut dari persoalan tersebut dapat mengacu pada Peraturan Menteri ATR/Kepala BPN Nomor 18 Tahun 2019 tentang Tata Cara Penatausahaan Tanah Ulayat Kesatuan Masyarakat Hukum Adat ataupun Peraturan Menteri ATR/Kepala BPN Nomor 18 Tahun 2021 tentang Tata Cara Penetapan Hak Pengelolaan dan Hak Atas Tanah.
"Ini yang perlu kita kondisikan, setidaknya menjadi hal yang perlu kita rembuk bersama untuk bisa mendorong semua pemangku kepentingan, secara aktif untuk bisa menguatkan program pendaftaran tanah khususnya untuk tanah-tanah ulayat di Indonesia," demikian Adli Abdullah.
Akademisi: Adat jangan hanya sebatas simbol
Rabu, 5 Oktober 2022 23:12 WIB