Banda Aceh (ANTARA) - Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Aceh mendesak Polres Aceh Timur untuk menyelesaikan kematian harimau di Aceh Timur yang melibatkan seorang peternak kambing dilakukan secara nonyuridis atau restorative justice (perdamaian).
"Terkait proses hukum terhadap peternak (Syahril) yang kambingnya dimangsa harimau perlu diselesaikan secara nonyuridis, bisa melalui restorative justice," kata Kadiv Advokasi WALHI Aceh Afifuddin Acal di Banda Aceh, Senin.
Sebelumnya, bangkai harimau sumatera dengan perkiraan usia 1,5 hingga dua tahun ditemukan mati tak jauh dari kandang kambing milik Syahril (tersangka) di Gampong Peunaron Lama, Peunaron, Aceh Timur, Rabu (22/2).
Tidak jauh dari bangkai harimau, petugas keamanan dari TNI/Polri menemukan karung berisi racun.
Namun, sebelum ditemukan bangkai harimau, warga juga menemukan tiga ekor kambing milik Syahril mati di kandang dan di luar kandang. Diduga, ketiga kambing tersebut mati setelah dimangsa harimau.
Terhadap kasus itu, Polres Aceh Timur telah menangkap seorang terduga pelaku (Syahril) yang menaburkan racun itu, sehingga menyebabkan kematian satu individu harimau sumatera (panthera tigris sumatrae) di pedalaman kabupaten setempat.
Selain pada proses hukum, Afifuddin juga meminta negara harus hadir untuk melindungi warga kecil. Karena pelaku memelihara dan membeli kambing tersebut dengan cara mengumpulkan uang sedikit demi sedikit.
Menurut Afifuddin, hukum seharusnya tidak hanya dipandang dari aspek yuridis formal, melainkan juga ada pertimbangan pada aspek non yuridis nya.
"Karena terjadi sesuatu, pasti ada sebab dan akibat. Sebab sering ternak dimangsa harimau, tentu menimbulkan reaksi, itu juga akibat lemahnya penanganan konflik satwa yang terjadi saat ini," ujarnya.
Afifuddin menyampaikan, konflik satwa juga tidak bisa hanya dipandang tegak lurus, melainkan ada faktor lain yang bisa mengganggu habitat satwa, karenanya penanganan harus dilakukan secara terpadu.
"Sehingga tidak hanya orang kecil yang selalu jadi tersangka, sementara sebab terjadi konflik satwa itu tidak tersentuh. Misalnya perambahan hutan, pembukaan tambang, pembangunan jalan yang telah memutuskan koridor satwa," katanya.
Dirinya menuturkan, kerusakan hutan hingga krisis iklim juga bisa menimbulkan konflik satwa, karena hewan akan semakin sulit mendapatkan makanan, air akibat dari habitat mereka yang telah terganggu.
Dampak dari itu, maka memaksa hewan masuk ke perkebunan hingga pemukiman warga, serta juga mengubah cara mereka berperilaku.
Afifuddin menegaskan, penanganan konflik satwa liar ini tidak dapat disamakan dengan pemadam kebakaran. Karena permasalahan ini tidak akan pernah selesai.
Dalam penanganan konflik ini, lanjut dia, perlu adanya penegakan hukum soal perambahan hutan, kemudian peningkatan pengetahuan masyarakat tentang pentingnya menjaga kawasan dan satwa liar harus ditingkatkan.
Karena ini, ia berharap BKSDA harus lebih responsif dalam menyikapi persoalan ini, sehingga masyarakat tidak mengambil tindakan sendiri yang dikarenakan lambannya respon pihak terkait menangani kasus.
"Maka yang terpenting bagaimana harus diselesaikan secara terpadu dan perlu ada pertanggungjawaban atas kinerjanya selama ini," demikian Afifuddin.