Al Aqsa dan perang demografis antara Palestina dan Israel
Oleh Jafar M Sidik Jumat, 7 April 2023 14:01 WIB
Palestina juga khawatir tokoh-tokoh garis keras Israel, seperti Menteri Keamanan Nasional Itamar Ben Gvir memprovokasi peristiwa lebih besar, dengan mengunjungi kompleks Al Aqsa.
"Kami khawatir kaum ekstremis Yahudi berusaha mengubah status quo," kata Dr Mustafa Abu Sway dari Dewan Wakaf Islam di Yerusalem.
Status quo yang dia maksud adalah keadaan di mana hanya Muslim yang boleh beribadah di kompleks Al Aqsa, sedangkan non-Muslim hanya boleh berwisata atau berkunjung biasa.
Saat paling genting adalah pada sepuluh hari terakhir Ramadhan ketika umat Islam mendatangi Al Aqsa dalam jumlah besar sampai pagi, demi malam mendapatkan keutamaan lailatulqadar.
"Biasanya Israel menghalangi kaum ekstremis Yahudi agar tidak memasuki kompleks Al Aqsa selama 10 hari terakhir itu. Tetapi karena pemerintahan mereka saat ini berbeda, kami khawatir mereka membolehkan masuk kaum ekstremis," kata Abu Sway seperti dikutip BBC.
Baca juga: Pemuda Palestina tewas akibat luka tembak tentara Israel, kekerasan di bulan Ramadhan
Bom waktu demografis
Jumlah ekstremis Yahudi ini sendiri semakin banyak seiring dengan kecenderungan kian kanan dalam politik di Israel. Mereka semakin berani karena pemerintahan Israel saat ini dikuasai koalisi kanan jauh pimpinan Perdana Menteri Benjamin Netanyahu.
Berbeda dari negara-negara maju pada umumnya di mana kaum muda cenderung lebih liberal, kaum muda Israel malah cenderung ke kanan.
Riset yang dibuat Israel Democracy Institute pada 2022 menunjukkan 60 persen warga Yahudi di Israel mengidentifikasi dirinya sebagai sayap kanan. Padahal pada April 2019, angka itu baru 46 persen saja.
Angka itu lebih besar lagi di kalangan kaum muda berusia 18-24 tahun, mencapai 70 persen.
Tingginya angka pendukung kaum kanan ini terjadi karena dipicu kekerasan di Gaza tahun lalu. Sikap keras Hamas di satu sisi turut mengeraskan sikap kelompok kanan dan kaum ekstremis Yahudi.
Kecenderungan kanan warga Yahudi juga diakibatkan oleh keluarga-keluarga Yahudi, terutama kelompok ortodoks yang lebih suka memilih politisi-politisi konservatif. Faktor lain adalah polarisasi Israel dan Palestina yang semakin dalam.