Al Aqsa dan perang demografis antara Palestina dan Israel
Oleh Jafar M Sidik Jumat, 7 April 2023 14:01 WIB
Anak-anak muda Yahudi yang lebih tidak toleran ini lahir dari ibu-ibu yang dianjurkan Israel agar beranak banyak dan dari generasi yang tak berinteraksi luas dengan warga non-Yahudi, sehingga pandangan mereka terhadap Palestina pun lebih buruk dibandingkan kelompok usia lainnya.
Mereka khawatir penduduk Yahudi lambat laun menjadi minoritas di Israel, apalagi populasi Palestina terus bertambah. Ini tak termasuk Tepi Barat dan Jalur Gaza yang bukan wilayah Israel dan hampir seluruhnya berpenduduk Arab Palestina.
Bagi Palestina sendiri, demografi menjadi senjata tersendiri. Mendiang pemimpin besar Palestina, Yasser Arafat, pernah mengatakan "rahim wanita Arab adalah senjata terhebat saya".
Ternyata, generasi politisi Israel kemudian, terprovokasi pandangan Arafat ini. Mereka menganggap hal itu sebagai "bom waktu demografis" yang mengancam eksistensi dan integritas Israel.
Ini membuat Israel mendorong wanita Yahudi agar memiliki anak yang banyak. Tak heran tingkat kelahiran di Israel menjadi yang tertinggi di antara negara-negara maju dalam OECD (Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi) dan bahkan pernah lebih tinggi dibandingkan tingkat kelahiran warga Arab di Israel.
Baca juga: Israel larang warga Palestina masuki Masjid Al-Aqsa
Pemerintah Israel juga menerapkan kebijakan imigrasi yang menarik warga Yahudi seluruh dunia agar pindah ke sana.
Biro Pusat Statistik Israel sendiri pada akhir 2021 menyebutkan sekitar 9,4 juta orang hidup di Israel, termasuk daerah permukiman Yahudi di bagian Tepi Barat yang diduduki Israel.
Dari jumlah itu, 6,9 juta (74 persen) di antaranya adalah Yahudi, 1,9 juga lainnya (21 persen) etnis Arab, sedangkan sisanya dari etnis-etnis lain. Warga Arab Palestina di Israel berbeda dari rekannya di Jalur Gaza dan Tepi Barat. Mereka termasuk warga Israel.
Sementara, Biro Statistik Palestina menyebutkan 3 juta orang mendiami Tepi Barat Palestina dan 2 juta tinggal di Jalur Gaza.
Jika digabung, maka total warga Arab Palestina yang hidup, baik di wilayah Israel maupun Tepi Barat dan Jalur Gaza, sama banyaknya dengan jumlah warga Yahudi.
Sejumlah pakar kependudukan di Israel sendiri menyebutkan bahwa sekalipun tingkat kelahiran warga Yahudi tinggi, tingkat kematian Yahudi pun sama tingginya. Artinya, tingkat pertambahan penduduk warga Arab yang rata-rata lebih muda, berlangsung lebih cepat.
Fakta-fakta itu mengkhawatirkan kaum ortodoks dan politisi-politisi kanan Israel, apalagi pada 2065 Israel diprediksi menjadi negara paling padat di dunia dengan penduduk 35 juta orang.
Baca juga: Presiden Palestina umumkan hari berkabung nasional
Siklus kekerasan
Generasi baru Yahudi pun dicekoki oleh ancaman populasi Arab. Mereka bahkan menjadi cenderung lebih eksklusif dibandingkan dengan generasi-generasi sebelum mereka.
Jajak pendapat Jewish People Policy Institute pada awal Mei 2022 memperlihatkan fakta baru bahwa kaum kanan Yahudi menyatakan enggan hidup berdampingan dengan warga Arab di Israel.
Berbeda dengan kaum liberal Yahudi yang optimistis bagi terwujudnya ide dua negara di mana Negara Palestina hidup berdampingan dengan Israel, kaum kanan justru pesimistis terhadap gagasan di mana Palestina dan Arab menginginkan negara dengan perbatasan sebelum dicaplok Israel menyusul Perang 1967.
Tingkah laku kaum kanan pun semakin agresif, yang salah satunya mereka tumpahkan di Al Aqsa.
Mereka semakin getol mendorong pemerintahnya membangun Temple of Mount di tanah tempat berdirinya Al Aqsa, karena bagi mereka ini menyangkut muasal mereka yang bersumber dari agama dan kitab suci mereka.
Namun, saat yang sama, warga Arab Palestina, juga Muslim seluruh dunia, tak akan pernah mau melepaskan Al Aqsa. Dasarnya pun sama, yakni alasan kitabiah yang berkaitan dengan iman dan tauhid.
Dalam kata lain, bagi umat Islam, mempertahankan Mesjid Al Aqsa adalah bagian integral dari keimanan. Ini batas yang tak bisa dilanggar siapa pun.
Tak heran ketika Rabu pekan ini aparat keamanan Israel menyerbu Al Aqsa, tokoh-tokoh Muslim seperti Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan menyebut tindakan Israel itu sudah melewati garis merah, alias melanggar tabu.
Namun demikian, siklus kekerasan sepertinya bakal terus terjadi, bukan saja sampai dua tahun ke depan Ramadhan akan jatuh bertepatan dengan Paskah Yahudi, juga karena atmosfer politik di Israel yang semakin jauh ke kanan.
Salah satu sifat kaum kanan adalah perasaan terancam oleh populasi yang mulai tak seimbang di mana mayoritas perlahan tak lagi menjadi mayoritas. Kecenderungan ini sepertinya tengah terjadi pula di Israel.
Di sisi lain, bangkitnya kanan jauh di Israel membuktikan ucapan Yasser Arafat bahwa 'rahim wanita Arab adalah senjata terampuh Palestina', ada benarnya.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Al Aqsa dan perang demografis Palestina-Israel