Manusia tidak melepaskan diri dari pengaruh teknologi. Teknologi adalah fenomena yang membuat manusia harus mengikutinya dan antisipasi sudah selayaknya dilakukan.
“Manusia harus terus-menerus memperbaiki dan berpikir ulang mengenai tujuan sosialnya,” demikian saran dari futurolog Alvin Toffler (1970) sebagaimana dicatat oleh Anthony G. Wilhelm dalam Democracy in the Digital Age: Challenges to Political Life in Cyber Space (2000).
Meski memiliki banyak kemanfaatan, namun Lebaran versi digital ini juga dipandang mengandung sisi-sisi kekurangan dan bisa bersifat tidak terlihat alias laten. Sebagai salah satu contoh, fenomena saling bermaaf-maafan saat Lebaran yang jika hanya mengandalkan fasilitasi via online sampai batas tertentu bisa mengurangi nuansa “kedekatan dan keakraban”.
Bagi banyak pihak, bertemu fisik langsung secara kejiwaan sampai batas tertentu bisa memunculkan rasa keintiman relasi yang lebih optimal sekaligus memberikan kesan lebih mendalam daripada sekadar bertemu via digital.
Ada rasa yang “berbeda” secara psikologis saat bersilaturahmi dengan bertemu secara langsung dengan yang hanya via online, tanpa mengurangi esensi dari Lebaran itu sendiri. Hannah Arent (1963), seorang filsuf Jerman, menyebutnya sebagai “pelemahan hubungan” karena manusia berkomunikasi tidak lagi bertemu secara langsung, namun telah dilokalisasi oleh teknologi.
Lebaran digital, wajah baru berhari raya
Oleh Prof. Dr. Widodo Muktiyo Selasa, 18 April 2023 9:09 WIB