Banda Aceh (ANTARA) - Tari Guel merupakan salah satu tarian yang berasal dari masyarakat tanah Gayo, tari ini sendiri sebagai simbol yang mewakili identitas masyarakat di dataran tinggi Aceh tersebut.
Dalam setiap perpaduan, gerak tari ini memiliki simbol yang memuat makna sikap masyarakat Gayo saat menjalin hubungan dengan orang lain, penuh hormat dan rukun.
Terciptanya sebuah tari tidak pernah lepas dari sebuah aktivitas yang ada di dalam masyarakat yang terus menerus dilakukan menjadi kebiasaan masyarakat dalam kegiatan sehari hari, kemudian diolah menjadi ungkapan gerak dalam tari guel.
Berdasarkan narasi sejarah masyarakat Gayo, tari Guel merupakan tradisi yang terinspirasi dari legenda kakak beradik Sengeda dan Bener Merie (Bener Meriah) yang mencari gajah putih untuk dipersembahkan kepada seorang putri raja.
Maka dari itu, beberapa unsur gerak tariannya mencerminkan karakter gajah. Selain aspek bentuk, setiap unsur gerak tari Guel juga mengandung nilai filosofi yang memuat pesan moral dan nilai sosial.
Saat ini, pertunjukan tari Guel dalam kemasan kreasi semakin banyak hadir di tengah masyarakat, bentuk-bentuk sajian tari Guel kreasi terkadang meninggalkan ketentuan baku sebagai bentuk pakem dari tari itu sendiri.
Tari Guel ini menjadi salah satu bagian penting di tengah masyarakat Gayo, diperuntukkan pada setiap prosesi kegiatan penyambutan tamu-tamu penting pemerintahan. Bahkan, bagian dari kegiatan sakral acara adat pesta pernikahan dan lainnya.
Tari Guel juga sebagai identitas dari masyarakat pemiliknya, hadirnya sebuah tari tidak terlepas dari kebiasaan dan erat berhubungan dengan aktivitas serta kebudayaan di tengah masyarakat.
Sejarah
Menelusuri kebenaran sejarah tari Guel, akademisi ISBI Aceh Maghfhirah Murni Bintang Permata telah melakukan penelitian termasuk mewawancarai seniman, penyair serta Aktor asal tanah Gayo, Ibrahim Kadir.
Dari hasil penelitian itu dijelaskan bahwa tari Guel terinspirasi dari kisah legenda Sengeda dan Bener Merie. Kisah tersebut menceritakan tentang persaudaraan dua kakak beradik pada masa Kerajaan Linge.
Dalam kisah tersebut, juga memuat
pesan-pesan moral tentang kesetiaan dan persaudaraan yang semestinya diterapkan dalam kehidupan keluarga dan bermasyarakat.
Istilah ‘Guel’ dalam bahasa lokal
(Gayo) berarti ‘membunyikan’. Istilah
tersebut diartikan juga sebagai
membunyikan sesuatu untuk seruan serta ajakan untuk memanggil.
Menurut legenda yang berkembang di tengah masyarakat Gayo, Aceh Tengah, tari Guel tercipta dari kisah pencarian seekor gajah putih.
Gajah putih tersebut dijemput ke tengah hutan dan dipanggil dengan cara membunyikan benda-benda yang dibawa ke tengah hutan.
Sebagian masyarakat beranggapan bahwa, tari Guel merupakan ritual sekaligus sebagai perantara mantra agar dapat membujuk seekor gajah putih untuk keluar dari tempat persembunyiannya.
Detailnya, Bintang menjelaskan bahwa
sejarah tari Guel sendiri tari ini bentuk cerita di masa lalu. Dari Sengeda dan Bener Meriah, mereka adalah adik kakak anak dari Raja Linge.
Dalam perjalanannya, Sengeda dan Bener Meriah dikhianati oleh pamannya, di mana pamannya menugaskan pengawal untuk membunuh kedua saudara kandung tersebut.
Masing-masing dari mereka dibawa oleh pengawal berbeda. Tetapi hanya Bener Meriah yang terbunuh, sementara Sengeda tidak dibunuh oleh pengawal, hingga akhirnya dibawa ke daerah Gayo.
Kemudian di sisi lain, seorang putri raja yang berada di Kutaraja (sekarang Banda Aceh) bermimpi, di mana putri raja itu bertemu dengan seekor gajah putih.
Setelah itu, diadakan lah sayembara oleh raja, bagi siapapun yang mendapatkan gajah putih dan membawanya ke Kutaraja bakal diberikan hadiah.
"Ternyata, Sengeda juga bermimpi mendapatkan gajah putih di wilayah bagian Bener Meriah. Mimpi itu kemudian menuntunnya," kata Bintang.
Sengeda bersama rombongan akhirnya pergi ke daerah Bener Meriah bersama rombongan mencari gajah tersebut dengan membawa sejumlah peralatan seperti gong dan lainnya.
Setelah dicarikan, akhirnya Sengeda menemukan gajah putih itu tepat berada di samping kuburan anak raja Linge yang dibunuh yaitu Bener Meriah. Maka kemudian dianggap bahwa gajah itu merupakan jelmaan dari Bener Meriah tersebut.
Setelah itu, gajah tersebut tidak bisa dibawa atau tidak mau mengikuti rombongan. Lalu Sengeda bersama teman-teman nya mencari cara agar gajah tersebut mau pergi bersama mereka.
Akhirnya mereka menemukan cara yaitu dengan membunyikan semua peralatan alat yang mereka bawa.
"Tidak bisa langsung diajak, jadi kawan Sengeda bilang, Guel (bunyi), akhirnya mereka membunyikan apa peralatan yang mereka bawa hingga memukul benda yang ada di alam, seperti pohon atau kayu-kayu," ujarnya.
Setelah membunyikan semua alat mereka sembari menari membujuk gajah itu agar mau berjalan, akhirnya gajah tersebut mau mengikuti rombongan sengeda ke Kutaraja menyerahkan gajah tersebut kepada raja.
Akhirnya gajah putih patuh dan dapat diajak pergi dan dipersembahkan untuk putri raja di Kutaraja pada saat itu.
Maka, beberapa bentuk geraknya mencerminkan perilaku gajah dan juga beberapa cerminan gerak yang mereka lewati dalam perjalanan mencari gajah dari alam seperti saat mencari, seperti melihat burung yang sering disebut juga dengan gerakan kepor nongok, Sining Lintah atau liukkan peraga tubuh seperti seekor lintah.
"Hal tersebut karena mereka melihat lintah saat melintasi area persawahan sebelum sampai ke tengah hutan, lebih tepatnya dalam tari guel sendiri menjadikan alam sebagai guru dan sumber karya dalam tari guel itu sendiri," kata Bintang.
Filosofi Tari Guel
Berdasarkan hasil penelitian Institut Seni Budaya Indonesia (ISBI) Aceh yang telah dilakukan tarian yang berasal dari tanah Gayo ini memiliki beragam makna.
Maghfhirah Murni Bintang Permata menjelaskan, tari Guel merupakan fenomena sosial yang memiliki kaitan dengan masyarakat pendukungnya. Tarian ini dipahami sebagai sebuah kehidupan yang memberikan interaksi dinamis pada masyarakat pendukungnya.
Tari Guel adalah tari tradisi yang memiliki struktur cerita dan filosofi gerak tari yang baku, dan tetap pada struktur gerak aslinya. Keberadaannya terkait dengan upacara adat, kepercayaan sebagai kelengkapan upacara perkawinan. Didalamnya menyiratkan ajaran moral, agama dan tujuan hidup.
Kata Dosen Program Studi Seni Tari, Jurusan Seni Pertunjukan ISBI Aceh itu, filosofi gerak tari tersebut tampak pada bentuk atau wujud yang secara visual bukan sekedar memenuhi kebutuhan estetika saja, tetapi juga memberikan pemaknaan mendalam tentang kehidupan manusia.
"Tari Guel bukan hanya sekedar tarian penyambut tamu, namun sekaligus merupakan tontonan dan tuntunan yang perlu menjadi cerminan untuk direnungkan dan dilakukan agar apa yang diinginkan dapat terwujud," kata Bintang.
Bintang menuturkan, tari Guel memiliki pesan tentang kesetiaan, tanggung jawab, persaudaraan yang tidak hanya dilakukan oleh saudara/keluarga. Tetapi harus dilaksanakan dalam hubungan untuk sesama.
Pesan keikhlasan juga menjadi isi pesan dalam tari Guel yang menjelaskan perlindungan terhadap Sengeda dari fitnah dan ancaman, serta pengambilan keputusan yang sangat arif dari para pengiring yang membantu dalam proses penjemputan Gajah Putih.
Sebagai sebuah karya tari, tari Guel terbentuk dari unsur-unsur filosofi gerak hingga menjadi satu kesatuan yang utuh.
"Unsur-unsur gerak dalam sebuah koreografi setidaknya dapat dibagi menjadi empat, yakni unsur gerak kepala, tangan, badan dan kaki," ujarnya.
Tari Guel secara visual, lanjut dia, dilakukan oleh dua orang penari yang berpakaian sama, tetapi menggunakan warna berbeda. Seorang warna hitam dan lainnya menggunakan warna putih.
Tarian ini berkarakter menghentak, lentur, sesekali lembut, namun tetap terkesan maskulin gagah.
"Secara visual penonton hanya melihat keterampilan dan terhipnotis dengan penjiwaan dan kegagahan kedua orang penari Guel tersebut," kata Bintang.
Makna Gerakan
Tari Guel memiliki berbagai gerakan yang cukup menarik untuk disaksikan, hampir semua bagian tubuh digerakkan dalam tarian ini, mulai dari bahu, tangan, hingga kepala dengan beragam gaya yang dipertontonkan.
Maghfhirah Murni Bintang Permata menerangkan, gerak yang hadir pada pertunjukan tari Guel adalah salah satu unsur dari kebudayaan suku Gayo yang mengandung nilai etis dan estetika berharga untuk dipelajari.
Tari Guel memiliki kontribusi yang banyak bagi pendidikan masyarakat, karena dalam setiap pementasannya menyampaikan nilai-nilai pesan moral yang menjadi sumber pendidikan bagi masyarakat (penonton).
Dalam tari guel sendiri memiliki empat babakan baku yang harus dipatuhi dalam prosesi pertunjukannya.
Pertama babak menatap: Dalam tahap awal ini adalah komunikasi awal antara Sengeda dan Bener Meriah dengan harapan gajah putih mampu memahami maksud dari Sengeda.
Kedua babak redep/dep: Memperlihatkan gajah putih perlahan mulai merespon gerakan permintaan Sengeda dengan menuruti gerakan yang diperagakan Sengeda.
Ketiga Babak ketibung : Ketika gajah mampu dijinakkan dan terlihat kesediaan untuk mengikuti permohonan Sengeda dengan gerakan yang dilakukan dan diikuti oleh gajah.
Keempat babak cicang Nangka: gerakkan tari yang diperlihatkan adalah ungkapan kebahagiaan dan cenderung bebas sebagai bentuk kegembiraan dan perayaan atas tercapainya maksud dari sengeda terhadap gajah putih. Babakan tersebut adalah pakem dari tari guel sendiri dan di sisi lain,
"Dalam gerak tari Guel sendiri memiliki beberapa gerak yang sering muncul dalam setiap motif yang menjadi karakter dalam tarian ini," kata Bintang.
Adapun motif gerak yang terdapat pada tari Guel tersebut antara lain:
Gerak bahu: Diangkat kerlang ku atas ku toyuh, ke atas dan kemudian dibalas ke bawah.
Teknik ini terus dilakukan berulang, menjadi ciri khas pada tarian guel dan tari gayo lainya, terlihat mudah namun sangat sulit karena gerakannya berulang. Membutuhkan kesabaran dan teknik yang baik dalam melakukan geraknya.
Gerakan ini sama hal nya dengan karakter masyarakat Gayo yang selalu melakukan pekerjaan haruslah dengan semangat yang tinggi pantang menyerah baik dalam keadaan di atas maupun di bawah.
Gerak kepala petongkok: Gerakan kepala yang dilakukan menunduk, sebagai gambarannya masyarakat gayo yang harus selalu memandang kehidupan untuk lebih bersyukur secara terus menerus.
Seperti nasihat yang sering disebutkan oleh orang tua di sana "Munengon Enti Tangakken diri ku Langit," yaitu melihat diri, dan jangan membandingkan diri dengan orang yang lebih atau bermimpi lebih tinggi.
Namun, lihatlah ke bawah agar dapat mencapai rasa hikmat dalam bersyukur, makna lainnya adalah perenungan diri untuk mencapai pemikiran lebih baik sebagai tuntunan hidup, serta berbagai makna lain tersirat dalam gerak kepala petongkok tersebut.
Gerak ulu ku kuen-kukiri: Gerakan
kepala yang melihat kanan dan kiri dilakukan dengan sigap dan berulang sebagai posisi seorang laki-laki yang selalu mengawasi sekitar kehidupannya.
Arti lain jika melakukan sesuatu harus melihat keadaan terlebih dahulu, baru kemudian bertindak sebagai bentuk kesigapan yang bijaksana.
Gerak geritik: Gerakan kiri yang dilakukan diangkat kanan dan kiri secara bergantian dengan teknik kaki di jinjit, gerak ini sulit dilakukan dengan durasi yang sering kali membuat penari merasakan keram di ujung jari, dan betis.
Dalam gerakan ini tercermin sifat masyarakat Gayo yang selalu melibatkan hal gotong royong dalam kehidupan sehari- hari, dan hal tersebut akan terjadi seperti estafet ,saling bergantian satu sama lain.
Ibarat pepatah gayo "Pantas berulo lemem bertona," bahwa siapa yang cepat saling disegerakan/ saling didahulukan, maka yang lambat kita dituntun bersama.
Terakhir gerak muebogkok: Gerakan tersebut sering sekali muncul, ini menjadi gambaran bahwa masyarakat Gayo sangat menghormati orang lain, bukan hanya kepada yang lebih tua, tetapi rasa hormat harus dipegang kepada setiap makhluk hidup tanpa memandang tua atau muda.
Bintang menyampaikan, Gerak tari Guel memiliki simbol yang memuat makna sikap masyarakat Gayo saat menjalin hubungan dengan orang lain dengan rasa hormat dan rukun.
"Maka, dapat disimpulkan, terciptanya sebuah tari tidak pernah lepas dari sebuah aktivitas yang ada di dalam masyarakatnya," demikian Bintang.