Banda Aceh (ANTARA) - Rektor UIN Ar Raniry Darussalam Banda Aceh Prof Mujiburrahman menyatakan sangat mendukung kebijakan Penjabat Gubernur Aceh Achmad Marzuki tentang penguatan peningkatan pelaksanaan Syariat Islam di Aceh, namun pemerintahan perlu membuat rukhsah atau keringanan dalam hal pembatasan warung kopi (Warkop) di tempat khusus.
Prof Mujiburrahman di Banda Aceh, Kamis (10/8) mengatakan perlu adanya rukhsah pada beberapa tempat yang khusus seperti di kantin rumah sakit, serta untuk warkop maupun kafe dan rumah makan di area persinggahan kendaraan di jalan lintas provinsi. Area khusus tersebut selama ini memang ada pelaku usaha makanan maupun warkop yang buka 24 jam, sehingga aturan baru Pj Gubernur yang meminta pelaku usaha tutup jam 00.00 WIB akan menyulitkan masyarakat. Konteks rukhsah ialah perubahan hukum dari hukum asalnya karena sebab tertentu dengan tujuan untuk memberikan kemudahan dan keringanan karena kebutuhan atau keterpaksaan.
Secara keseluruhan, ia mengatakan kebijakan Pj Gubernur Aceh tersebut sejalan dengan komitmen UIN Ar Raniry. “Kebijakan Pj Gubernur Aceh tersebut sejalan dengan komitmen UIN Ar-Raniry Banda Aceh terkait dengan implementasi Syariat Islam di Aceh,” kata Prof Mujiburrahman menanggapi Surat Edaran (SE) Gubernur Aceh Nomor 451/11286 tentang Penguatan dan Peningkatan Pelaksanaan Syariat Islam Bagi Aparatur Sipil Negara (ASN) dan Masyarakat secara umum di Aceh.
Baca juga: Tak hanya batasi warkop, SE Gubernur Aceh juga larang non muhrim naik kendaraan berduaan
Ia menjelaskan ada tiga tahapan implementasi yang dapat dilaksanakan di komunitas Muslim, termasuk di Aceh yakni pertama ajarkan dan didik masyarakat mengerti dan mengamalkan Islam dengan benar, kedua, benah pranata sosialnya dan ketiga laksanakan hukuman.
Menurut dia pemerintah harus membuat kebijakan dan aturan yang mengatur ketertiban, kebaikan dan kemaslahatan masyarakat agar sesuai dengan nilai-nilai ajaran Islam dan terhindar dari hukuman dan keburukan.
Ia mencontohkan agar masyarakat muslim tidak berzina maka dibenahi pranata sosialnya seperti negara harus mengatur supaya prosesi pernikahan dimudahkan, menjamin akan mendapat pekerjaan yang baik.
Kemudian untuk menjaga kesehatan dan kemaslahatan masyarakat, maka pemerintah dapat membuat aturan untuk mengatur jadwal buka dan tutup warung kopi/cafe di Aceh yang bertujuan menjaga kemaslahatan dan kesehatan masyarakat Aceh itu sendiri.
"Dengan adanya aturan tentang jam tutup warung kopi di pukul 00.00 malam, akan memberi peluang kepada masyarakat Aceh untu dapat beristirahat dengan cukup dan sempurna, sehingga hal ini akan memberi pengaruh kepada peningkatan kualitas kesehatan dan tentunya juga kualitas hidup masyarakat Aceh itu sendiri," kata Prof Mujib.
Di sisi lain, kebijakan pengaturan jam tutup warung kopi ini dengan sendirinya juga berdampak positif untuk menghindari dari berbagai efek negatif selama ini dengan dibukanya warung kopi dua puluh empat jam.
Baca juga: Kadin: Pembatasan waktu warkop bisa ganggu ekonomi dan iklim investasi Aceh
Dalam surat edaran tersebut salah satu poinnya membatasi usaha warung kopi dan sejenisnya di Aceh agar tidak membuka usaha melewati pukul 00.00 WIB. Selain itu, kepada laki-laki dan perempuan non muhrim juga dilarang naik kendaraan berduaan.
"Imbauan Gubernur kepada warung kopi, kafe, dan sejenisnya, agar tidak membuka kegiatan usaha lewat pukul 00:00 WIB. Tidak berdua-duaan di tempat sepi dan di atas kendaraan" kata Juru Bicara Pemerintah Aceh Muhammad MTA.
Muhammad MTA menyampaikan, surat edaran Gubernur Aceh tersebut diterbitkan setelah menggelar pertemuan dengan Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh beberapa waktu lalu.
MTA menjelaskan, saat ini Indonesia sedang mempersiapkan generasi emasnya di tahun 2045 mendatang. Dalam konteks Aceh, sebagai satu-satunya daerah yang menerapkan syariat islam, maka penting untuk mendekatkan para generasi pada masjid dan meunasah (mushalla).
"Aceh harus berbeda, menyongsong 2045, generasi Aceh bukan hanya bersiap menghadapi persaingan global, tetapi memiliki bekal agama yang kuat, agar tidak mudah dipengaruhi budaya negatif yang merusak tatanan adat budaya yang Islami di Aceh,” katanya.
Baca juga: DPRA: Pengawasan syariat Islam harus terus ditingkatkan