Kasus Aceh Selatan
Kapal penangkap ikan berwarna biru itu terlihat terombang-ambing setelah mesinnya mati di perairan Labuhan Haji, Kabupaten Aceh Selatan, pada 18 Oktober 2024. Di geladak kapal, berjejalan 147 orang Rohingya yang sebagian besar perempuan dan anak-anak.
Labuhan Haji, kota tenang yang dahulu dikenal sebagai pelabuhan keberangkatan ibadah haji di zaman penjajahan Belanda, tiba-tiba heboh dengan kedatangan tamu yang tidak diundang itu. Tak dinyana, tiga tamu dari kapal itu bernasib malang. Mereka meninggal dunia, jasadnya ditemukan terapung di laut sebelum mencapai daratan.
Dua hari sebelumnya, Herman Saputra disambut dengan peusijuek di rumah orangtuanya di Desa Drien Kipah, Kecamatan Tangan-Tangan, Kabupaten Aceh Barat Daya (Abdya). Upacara adat itu merupakan bentuk rasa syukur karena ia bebas dari penjara atas kasus penyelundupan pengungsi Rohingya. Namun, setelah hari itu Herman seperti raib tidak diketahui rimbanya.
Pada 21 Oktober Polda Aceh mengumumkan 11 tersangka baru untuk kasus penyelundupan Rohingya di Aceh Selatan. Nama Herman masuk lagi sebagai tersangka bahkan disebut sebagai otak dibalik kasus ini.
Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Aceh Kombes Pol Ade Harianto mengatakan, Kapal Motor Bintang Raseuki yang ditumpangi pengungsi Rohingya itu dibeli oleh Herman seharga Rp580 juta sebulan lalu. Polisi baru bisa meringkus tiga orang tersangka, sedangkan delapan lainnya masih buron termasuk Herman.
"Kapal motor kayu tersebut diketahui milik warga Labuhan Haji, Aceh Selatan, berinisial H (Herman)," kata Kombes Pol Ade.
Di perkara ini, Herman dan tersangka lainnya dijerat dengan pasal penyelundupan orang Undang-Undang (UU) Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian, kemudian pasal angkutan pelayaran tanpa izin yang mengakibatkan kematian orang lainnya UU Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran , UU Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, serta UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang.
Penegak hukum di Tanah Air harus segera mengambil pelajaran dari kasus Herman Cs di Aceh Barat yang menimbulkan ketimpangan hukuman. Kasus Herman Cs seharusnya menjadi pintu masuk guna memberantas kejahatan perdagangan orang di balik kedatangan Rohingya di Aceh.
Sebelumnya, vonis terhadap Herman Cs jauh lebih rendah ketimbang vonis tiga orang asing yang disidangkan di Aceh Besar. Dalam sidang putusan pada 3 September 2024 itu, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Meulaboh, Aceh Barat, menjatuhkan hukuman kepada terdakwa Erpan, Harfadi dan Muchtar satu tahun penjara dan denda masing-masing Rp15 juta. Vonis untuk Herman Saputra sedikit lebih tinggi, yakni penjara selama 14 bulan atau satu tahun dua bulan, dan denda Rp35 juta.
Sebaliknya, terhadap pelaku orang asing Majelis Hakim menjatuhkan hukuman delapan tahun penjara kepada terdakwa Mohammad Amin, sedangkan terdakwa Anisul Hoque dan Habibul Basyar dihukum masing-masing enam tahun penjara. Mereka semua juga dihukum denda Rp500 juta subsidair tiga bulan tahanan.
Ketimpangan hukuman pada dua kasus itu disebabkan ada perbedaan antara dakwaan dan penuntutan yang disodorkan Jaksa Penuntut Umum (JPU) pada perkara yang melibatkan Herman Cs. Awalnya pelaku dijerat dengan dakwaan primer menggunakan Pasal 120 ayat (1) dan (2) UU Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian dan atau Pasal 55 Ayat (1) ke 1e KUHPidana, dan dakwaan sekunder dengan Pasal 114 ayat (2) UU Keimigrasian dan atau Pasal 55 Ayat (1) ke 1e KUHPidana.
Namun, pada sidang penuntutan, JPU hanya menjerat mereka dengan Pasal 114 ayat (2) UU Keimigrasian. Artinya, ada pasal pada dakwaan yang hilang saat penuntutan.
Kedua pasal tersebut memiliki bobot berbeda baik dari segi peranan pelaku dalam kejahatan dan hukuman yang dijatuhkan. Pasal 120 UU Keimigrasian menjerat pelaku karena melakukan perbuatan penyelundupan manusia, yang mencari keuntungan baik secara langsung maupun tidak langsung, untuk diri sendiri maupun untuk orang lain, dengan membawa seseorang atau sekelompok orang secara terorganisir maupun tidak, yang tidak memiliki hak secara sah untuk masuk maupun keluar dari wilayah Indonesia dan atau masuk ke negara lain.
Hukuman minimal adalah pidana penjara lima tahun dan maksimal 15 tahun, serta denda minimal Rp500 juta dan maksimal Rp1,5 miliar.
Sedangkan Pasal 114 ayat (2) dikenakan kepada penanggung jawab alat angkut, yang sengaja menaikkan atau menurunkan penumpang di luar tempat pemeriksaan imigrasi dan tidak melalui pemeriksaan pejabat imigrasi. Hukumannya maksimal penjara dua tahun dan denda paling banyak Rp200 juta.
Hilangnya pasal 120 telah mengecilkan peranan keempat pelaku di perkara tersebut. Selain itu, juga menggugurkan hasil pemeriksaan polisi terhadap pelaku, yang sebelumnya mengaku mendapat pesanan dari agen di Malaysia.
Imbasnya, vonis yang dijatuhkan hakim tidak menimbulkan efek jera. Sebaliknya, terkesan ada diskriminasi terhadap pelaku orang asing pada kasus tersebut.
Baca juga: Masyarakat izinkan imigran Rohingya dievakuasi ke darat di Aceh Selatan
Kepala Kejaksaan Negeri Aceh Barat, Siswanto, ketika dikonfirmasi beralasan bahwa JPU tidak bisa menggunakan pasal 120 karena saksi kunci tidak bisa dihadirkan ke persidangan, yaitu tiga orang Rohingya dari kapal yang mendarat di Aceh Barat.
Sebabnya, mereka melarikan diri dari tempat penampungan sementara di Kompleks Kantor Bupati Aceh Barat sebelum sempat dihadirkan ke muka sidang.
“Saya kecewa sebenarnya saksi dari Rohingya tidak bisa dihadirkan karena sudah melarikan diri, sehingga dalam persidangan kami hanya bisa menghadirkan saksi yang berasal dari Aceh Barat dan saksi penting lainnya,” kata Siswanto.
Halaman selanjutnya: pembebasan bersyarat cacat hukum
Menguak kasus perdagangan orang di fenomena pengungsi Rohingya di Aceh
Oleh FB Anggoro, Suprian, T Dedi Iskandar Selasa, 29 Oktober 2024 14:35 WIB