Banda Aceh (ANTARA) - Fenomena pengungsi Rohingya di Aceh bagaikan kisah cinta yang berubah jadi benci. Sejak 2009, Aceh sudah menjadi tempat pendaratan bagi kapal pengungsi Rohingya dari Bangladesh dan Myanmar demi mencari perlindungan serta kehidupan yang layak.
Awalnya masyarakat setempat menerima mereka dengan alasan kemanusiaan dan persaudaraan sesama muslim. Apalagi Aceh dikenal dengan budaya peumulia jamee yang artinya memuliakan tamu.
Namun, semua itu berubah drastis karena timbul berbagai aksi penolakan dan pengusiran oleh warga. Ada beberapa penyebab yang disinyalir memicu penolakan Rohingya sejak tahun 2023.
Pertama, gelombang kedatangan orang-orang Rohingya ke Aceh semakin besar, jumlahnya ada ribuan. Data dari UNHCR, lembaga PBB yang mengurusi pengungsi, menyebutkan hanya ada 178 orang Rohingya di Aceh yang datang sebelum 14 November 2023. Namun, pada akhir 2023 tercatat ada 11 kapal masuk hampir bersamaan, sehingga jumlah orang Rohingya yang masuk ke Indonesia melonjak jadi 2.288 orang. Jumlah itu naik empat kali lipat dalam lima tahun terakhir.
Kedua, pengaruh media sosial yang dimanfaatkan oleh orang tertentu untuk menyebar ujaran kebencian terhadap pengungsi Rohingya. Mereka kerap disebut sebagai orang yang jorok, pemalas, dan tidak tahu terima kasih.
"UNHCR prihatin dengan adanya respon yang negatif terhadap pengungsi Rohingya di Aceh," kata Mitra Suryono, Associate Communications Officer UNHCR, pada akhir Oktober 2024.
Baca juga: Polres Aceh Selatan sita kapal motor pengangkut Rohingya
Penyebab ketiga, pemerintah Indonesia dan masyarakat Aceh mulai mengendus bahwa kedatangan orang-orang Rohingya melibatkan jaringan sindikat perdagangan orang (human trafficking). Kebaikan orang Aceh menolong mereka telah dimanfaatkan untuk mencari keuntungan finansial.
Rute pelayaran kapal yang mengangkut orang Rohingya sejak akhir 2023 bergeser dari wilayah utara timur Aceh ke barat selatan, seiring dengan penolakan warga lokal yang muncul pertama kali di wilayah utara, seperti di Kabupaten Pidie dan Bireuen. Kapal-kapal pembawa Rohingya seperti paham dengan kondisi itu dan mulai mencari tempat aman yang baru, seperti di Aceh Besar, Aceh Barat, dan saat ini kapal tersebut mendarat di Aceh Selatan.
Selain itu, sebagian besar pengungsi Rohingya yang datang ke Aceh juga mengaku rela membayar banyak uang untuk dapat tempat di kapal.
Praktik perdagangan orang itu terungkap setelah polisi menangkap tiga orang warga Bangladesh dan Myanmar yang berada di kapal pembawa pengungsi Rohingya ke Kabupaten Aceh Besar pada Desember 2023. Dari keterangan polisi, tiap orang membayar senilai 100.000 sampai 120.000 taka bangladesh atau setara Rp14 juta sampai Rp16 juta.
Dalam konteks pengungsi Rohingya, kasus ini menyangkut sindikat kejahatan lintas negara. Mereka "memangsa" pengungsi yang rentan juga terpinggirkan dari Myanmar dan Bangladesh dengan iming-iming harapan hidup yang layak. Para "manusia kapal" tersebut sebenarnya adalah korban karena telah membayar mahal namun keselamatan mereka jadi taruhannya.
Pada Maret 2024, sebuah kapal yang mengangkut 142 orang Rohingya tenggelam di perairan Aceh Barat mengakibatkan 67 orang meninggal dunia. Laporan UNHCR menyebutkan, 27 orang diantaranya adalah anak-anak. Polisi menangkap empat orang warga dalam kasus penyelundupan Rohingya yang berujung tragis itu. Mereka adalah Erpan, Harfadi, Muchtar, dan Herman Saputra.
Dari hasil pemeriksaan polisi terungkap bahwa Herman Saputra bukan "pemain baru" karena sebelumnya ia berhasil menyelundupkan 70 orang Rohingya ke Malaysia pada Desember 2023. Herman mengatur penjemputan mereka ke wilayah perairan Sabang, Aceh, lalu membawanya ke daratan Aceh di Kabupaten Abdya. Dari sana, puluhan pengungsi tersebut diangkut menggunakan truk ke wilayah Tanjung Balai, Provinsi Sumatera Utara, lalu diseberangkan ke wilayah Tanjung Selangor, Malaysia.
Kepada polisi Herman mengaku menerima bayaran dari seorang agen di Malaysia. Dari setiap pengungsi Rohingya yang diselundupkan ke negeri jiran itu, Herman mendapat upah Rp5 juta. Jika dijumlahkan maka ia meraup Rp375 juta.
Halaman selanjutnya: pengungkapan kasus Aceh Selatan
Kasus Aceh Selatan
Kapal penangkap ikan berwarna biru itu terlihat terombang-ambing setelah mesinnya mati di perairan Labuhan Haji, Kabupaten Aceh Selatan, pada 18 Oktober 2024. Di geladak kapal, berjejalan 147 orang Rohingya yang sebagian besar perempuan dan anak-anak.
Labuhan Haji, kota tenang yang dahulu dikenal sebagai pelabuhan keberangkatan ibadah haji di zaman penjajahan Belanda, tiba-tiba heboh dengan kedatangan tamu yang tidak diundang itu. Tak dinyana, tiga tamu dari kapal itu bernasib malang. Mereka meninggal dunia, jasadnya ditemukan terapung di laut sebelum mencapai daratan.
Dua hari sebelumnya, Herman Saputra disambut dengan peusijuek di rumah orangtuanya di Desa Drien Kipah, Kecamatan Tangan-Tangan, Kabupaten Aceh Barat Daya (Abdya). Upacara adat itu merupakan bentuk rasa syukur karena ia bebas dari penjara atas kasus penyelundupan pengungsi Rohingya. Namun, setelah hari itu Herman seperti raib tidak diketahui rimbanya.
Pada 21 Oktober Polda Aceh mengumumkan 11 tersangka baru untuk kasus penyelundupan Rohingya di Aceh Selatan. Nama Herman masuk lagi sebagai tersangka bahkan disebut sebagai otak dibalik kasus ini.
Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Aceh Kombes Pol Ade Harianto mengatakan, Kapal Motor Bintang Raseuki yang ditumpangi pengungsi Rohingya itu dibeli oleh Herman seharga Rp580 juta sebulan lalu. Polisi baru bisa meringkus tiga orang tersangka, sedangkan delapan lainnya masih buron termasuk Herman.
"Kapal motor kayu tersebut diketahui milik warga Labuhan Haji, Aceh Selatan, berinisial H (Herman)," kata Kombes Pol Ade.
Di perkara ini, Herman dan tersangka lainnya dijerat dengan pasal penyelundupan orang Undang-Undang (UU) Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian, kemudian pasal angkutan pelayaran tanpa izin yang mengakibatkan kematian orang lainnya UU Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran , UU Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, serta UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang.
Penegak hukum di Tanah Air harus segera mengambil pelajaran dari kasus Herman Cs di Aceh Barat yang menimbulkan ketimpangan hukuman. Kasus Herman Cs seharusnya menjadi pintu masuk guna memberantas kejahatan perdagangan orang di balik kedatangan Rohingya di Aceh.
Sebelumnya, vonis terhadap Herman Cs jauh lebih rendah ketimbang vonis tiga orang asing yang disidangkan di Aceh Besar. Dalam sidang putusan pada 3 September 2024 itu, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Meulaboh, Aceh Barat, menjatuhkan hukuman kepada terdakwa Erpan, Harfadi dan Muchtar satu tahun penjara dan denda masing-masing Rp15 juta. Vonis untuk Herman Saputra sedikit lebih tinggi, yakni penjara selama 14 bulan atau satu tahun dua bulan, dan denda Rp35 juta.
Sebaliknya, terhadap pelaku orang asing Majelis Hakim menjatuhkan hukuman delapan tahun penjara kepada terdakwa Mohammad Amin, sedangkan terdakwa Anisul Hoque dan Habibul Basyar dihukum masing-masing enam tahun penjara. Mereka semua juga dihukum denda Rp500 juta subsidair tiga bulan tahanan.
Ketimpangan hukuman pada dua kasus itu disebabkan ada perbedaan antara dakwaan dan penuntutan yang disodorkan Jaksa Penuntut Umum (JPU) pada perkara yang melibatkan Herman Cs. Awalnya pelaku dijerat dengan dakwaan primer menggunakan Pasal 120 ayat (1) dan (2) UU Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian dan atau Pasal 55 Ayat (1) ke 1e KUHPidana, dan dakwaan sekunder dengan Pasal 114 ayat (2) UU Keimigrasian dan atau Pasal 55 Ayat (1) ke 1e KUHPidana.
Namun, pada sidang penuntutan, JPU hanya menjerat mereka dengan Pasal 114 ayat (2) UU Keimigrasian. Artinya, ada pasal pada dakwaan yang hilang saat penuntutan.
Kedua pasal tersebut memiliki bobot berbeda baik dari segi peranan pelaku dalam kejahatan dan hukuman yang dijatuhkan. Pasal 120 UU Keimigrasian menjerat pelaku karena melakukan perbuatan penyelundupan manusia, yang mencari keuntungan baik secara langsung maupun tidak langsung, untuk diri sendiri maupun untuk orang lain, dengan membawa seseorang atau sekelompok orang secara terorganisir maupun tidak, yang tidak memiliki hak secara sah untuk masuk maupun keluar dari wilayah Indonesia dan atau masuk ke negara lain.
Hukuman minimal adalah pidana penjara lima tahun dan maksimal 15 tahun, serta denda minimal Rp500 juta dan maksimal Rp1,5 miliar.
Sedangkan Pasal 114 ayat (2) dikenakan kepada penanggung jawab alat angkut, yang sengaja menaikkan atau menurunkan penumpang di luar tempat pemeriksaan imigrasi dan tidak melalui pemeriksaan pejabat imigrasi. Hukumannya maksimal penjara dua tahun dan denda paling banyak Rp200 juta.
Hilangnya pasal 120 telah mengecilkan peranan keempat pelaku di perkara tersebut. Selain itu, juga menggugurkan hasil pemeriksaan polisi terhadap pelaku, yang sebelumnya mengaku mendapat pesanan dari agen di Malaysia.
Imbasnya, vonis yang dijatuhkan hakim tidak menimbulkan efek jera. Sebaliknya, terkesan ada diskriminasi terhadap pelaku orang asing pada kasus tersebut.
Baca juga: Masyarakat izinkan imigran Rohingya dievakuasi ke darat di Aceh Selatan
Kepala Kejaksaan Negeri Aceh Barat, Siswanto, ketika dikonfirmasi beralasan bahwa JPU tidak bisa menggunakan pasal 120 karena saksi kunci tidak bisa dihadirkan ke persidangan, yaitu tiga orang Rohingya dari kapal yang mendarat di Aceh Barat.
Sebabnya, mereka melarikan diri dari tempat penampungan sementara di Kompleks Kantor Bupati Aceh Barat sebelum sempat dihadirkan ke muka sidang.
“Saya kecewa sebenarnya saksi dari Rohingya tidak bisa dihadirkan karena sudah melarikan diri, sehingga dalam persidangan kami hanya bisa menghadirkan saksi yang berasal dari Aceh Barat dan saksi penting lainnya,” kata Siswanto.
Halaman selanjutnya: pembebasan bersyarat cacat hukum
Pembebasan bersyarat yang janggal
Kejanggalan juga terlihat dari pembebasan bersyarat Herman Cs. Penelusuran ANTARA mendapatkan fakta bahwa Herman Cs kini telah bebas bersyarat dari Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Kelas II B Meulaboh. Kepala Kesatuan Pengamanan Lapas Kelas II B Meulaboh, Ganda Fernandi, mengatakan keempat terpidana telah menjalani kurungan penjara selama 2/3 dari masa tahanan, dan telah memenuhi syarat administratif maupun substantif untuk menerima pembebasan bersyarat sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
Jika dihitung sejak Herman ditangkap pada 25 Maret 2024 hingga sidang vonis pada 3 September, maka terpidana sebenarnya baru menjalani 6 bulan 24 hari dari masa hukuman 14 bulan penjara. Sedangkan tiga terpidana lainnya menjalani sekitar 8 bulan dari setahun masa hukuman.
Profesor Mohd Din, Guru Besar Hukum Universitas Syiah Kuala (USK) Banda Aceh, memberikan pandangannya terkait pembebasan bersyarat empat terpidana, terutama Herman Saputra cacat hukum lantaran tidak sesuai dengan pasal 10 UU No. 22 tahun 2022 tentang Pemasyarakatan.
“Pembebasan bersyarat Herman Saputra yang belum memenuhi syarat minimal 2/3 masa hukuman, sebagaimana diatur dalam UU No. 22 Tahun 2022, menimbulkan pertanyaan besar. Syarat pembebasan bersyarat tidak hanya berkelakuan baik, tetapi juga harus telah menjalani masa pidana paling singkat 2/3 dari masa hukuman, dengan ketentuan minimal sembilan bulan,” katanya.
Jika Herman melarikan diri ke luar negeri tanpa izin, ini jelas merupakan pelanggaran hukum. Proses hukum untuk menangkap dan mengekstradisi pelarian yang melanggar pembebasan bersyarat harus segera dilakukan untuk menegakkan keadilan dan memastikan tidak ada penyalahgunaan sistem hukum.
Seseorang yang dibebaskan bersyarat boleh ke luar negeri, namun hanya untuk keperluan darurat seperti berobat dan harus mendapat izin dari Menteri Hukum dan HAM.
Baca juga: Empat terpidana penyelundup Rohingya di Aceh Barat bebas bersyarat
Ketua Yayasan Supremasi Keadilan Aceh (SaKA), Miswar, mengatakan Polda Aceh harus mengusut kasus ini secara menyeluruh untuk mencegah kerugian negara akibat kasus perdagangan orang.
Selain itu, cepatnya terpidana Herman Saputra keluar dari penjara juga harus menjadi sorotan. Apalagi, ia mendapat informasi bahwa Herman Saputra telah berangkat ke Malaysia bersama istrinya tidak lama setelah dibebaskan.
"Penyelundupan imigran Rohingya tidak hanya merugikan negara secara finansial, tetapi juga menguras tenaga dan pikiran masyarakat, pejabat daerah, serta anggota TNI-Polri yang terlibat dalam proses evakuasi," kata Miswar.
Jajaran Polri dan Kejaksaan perlu seirama dalam mengusut tuntas kasus yang kini ditangani di Aceh Selatan dengan juga menerapkan delik tindak pidana pencucian uang dan perdagangan orang. Dan tak kalah penting, penegak hukum harus diawasi agar tidak 'main mata' dengan para sindikat.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Menguak kasus perdagangan orang di balik kedatangan Rohingya di Aceh
Menguak kasus perdagangan orang di fenomena pengungsi Rohingya di Aceh
Oleh FB Anggoro, Suprian, T Dedi Iskandar Selasa, 29 Oktober 2024 14:35 WIB