Banda Aceh (ANTARA) - Pj Gubernur Aceh, Safrizal ZA menerima audiensi dan silaturahmi delegasi parlemen Bangsamoro, Filipina dalam rangka mempelajari tentang pengelolaan pemerintahan di Aceh sebagai daerah otonomi khusus yang menjadi model transisi pasca konflik.
“Selamat datang di Aceh, salah satu daerah yang menerapkan otonomi khusus di Indonesia,” kata Safrizal ZA, di Banda Aceh, Kamis.
Delegasi Bangsa Moro ini dipimpin oleh Sekjen Bangsamoro Autonomous Region in Muslim Mindanao (BARMM), Suharto Ambolodto, serta didampingi perwakilan dari Kedutaan Besar Filipina untuk Indonesia.
Dalam pertemuan tersebut, Safrizal menjelaskan bahwa perdamaian Aceh yang tercapai melalui perjanjian Helsinki pada 2005 telah melahirkan UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA).
Undang-undang tersebut, kata dia, telah memberikan kewenangan khusus bagi provinsi Aceh dalam berbagai aspek pemerintahan.
UUPA, lanjut dia, memungkinkan pembentukan lembaga-lembaga khusus untuk mendukung reintegrasi mantan kombatan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) ke masyarakat sipil.
Selain itu, regulasi ini juga membuka jalan bagi pembentukan partai politik lokal, di mana banyak mantan anggota GAM saat ini aktif dalam kancah politik, termasuk di Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA).
“Sebagian dari 81 anggota DPR Aceh saat ini adalah mantan kombatan GAM,” ujarnya.
Dirinya berharap, pengalaman Aceh dalam pengelolaan pemerintahan pasca damai dapat memberikan manfaat bagi Bangsamoro dalam mewujudkan stabilitas dan kesejahteraan di wilayah mereka.
Sementara itu, Sekjen Bangsamoro Autonomous Region in Muslim Mindanao (BARMM), Suharto Ambolodto, menjelaskan BARMM adalah wilayah otonomi khusus di Filipina yang dibentuk berdasarkan Bangsamoro Organic Law (BOL) pada 2018 lalu. Wilayah ini meliputi provinsi-provinsi dengan mayoritas penduduk muslim.
Pendirian BARMM merupakan bagian dari implementasi perjanjian damai antara Pemerintah Filipina dan kelompok separatis Moro Islamic Liberation Front (MILF), yang bertujuan untuk mengakhiri konflik berkepanjangan di wilayah Mindanao.
Konflik tersebut telah berlangsung selama lebih dari empat dekade dan menyebabkan ribuan korban jiwa serta pengungsian massal.
"Sebagai daerah otonomi khusus, BARMM memiliki pemerintahan sendiri yang mencakup parlemen beranggotakan 80 orang dan 15 kementerian yang bertanggung jawab atas berbagai urusan domestik," kata Suharto.
Wilayah ini, lanjut dia, diatur oleh hukum lokal dengan tetap berada di bawah kedaulatan Filipina. BARMM juga diberi wewenang untuk mengelola sumber daya alamnya, mengembangkan ekonomi, dan melaksanakan hukum Islam di komunitas muslim.
"Kami ingin belajar dari pengalaman Aceh dalam mengelola pemerintahan berbasis otonomi khusus. Aceh menjadi inspirasi bagi kami dalam membangun pemerintahan yang inklusif dan mengelola transisi pasca-konflik,” kata Suharto.
Dirinya juga menyampaikan bahwa BARMM sedang mempersiapkan pemilu pertama mereka tahun depan, meskipun masih ada kemungkinan penundaan untuk memastikan kesiapan penuh.
“Kami ingin memastikan bahwa pemilu ini berjalan lancar dan menjadi langkah penting bagi stabilitas politik di Bangsamoro,” demikian Suharto.