Pemerintah Kota (Pemkot) Langsa menyebutkan, adat istiadat di Aceh tidak cuma semata-mata mengatur seni budaya di provinsi itu, tapi juga mencakup reusam atau kebiasaan gampong (desa) sebagai dasar hukum dalam tatanan kehidupan bermasyarakat.
"Sejak dari dulu reusam atau qanun ini akan menjadi acuan dasar hukum untuk mengatur kehidupan masyarakat," kata Wakil Wali Kota Langsa Marzuki Hamid di Langsa, Rabu.
Baca juga: Pemkot berharap Langsa Trail Adventure jadi ajang nasional
Ia menjelaskan melalui hukum adat di tingkat gampong ini bisa menghasilkan keputusan yang adil bagi masyarakat, seperti ketika sedang bersengketa dibandingkan dengan proses hukum melalui meja hijau.
Tidak jarang sejumlah perwakilan dari tokoh adat dan tokoh agama di tingkat gampong menggelar musyawarah sebelum mengambil satu keputusan terkait berbagai masalah yang pelik di masyarakat setempat.
Pemkot Langsa juga mengapresiasi terkait keberadaan lembaga wali nanggroe, karena adanya lembaga ini kembali memperkuat adat-istiadat Aceh sampai tingkat gampong.
Baca juga: Pemkot Langsa gelar Gampong Fair setiap tahun
"Bila ada masalah, cukup diselesaikan di meunasah (musholla) dengan bu leukat kuning (nasi ketan). Semua masalah selesai, salam-salaman tanpa ada dendam," terang Marzuki.
Staf Ahli Bidang Pemerintahan, Politik dan Hukum Sekretariat Daerah Aceh Kamaruddin Andalah mewakili Wali Nanggroe Malik Mahmud Al-Haytar menyampaikan beberapa hal menyangkut implementasi dari Undang-undang Nomor 11 tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh.
"Untuk mempercepat implementasi UU No.11/2006 tentang Pemerintah Aceh khususnya masalah adat, sebagaimana kita ketahui bahwa adat istiadat Aceh dikoordinir oleh Wali Nanggroe. Karena itu kewenangan yang diberikan ini, perlu diteruskan hingga ke daerah maupun gampong-gampong melalui perangkat kerja Wali Nanggroe termasuk Majelis Adat Aceh ," sebutnya pada acara sosialisasi lembaga Wali Nanggroe di Langsa.
Baca juga: Wali kota Langsa akan ambil kendaraan dinas tidak terawat
Ia mengatakan, lembaga tersebut juga perlu menyerap beberapa hal terkait penerapan adat istiadat di lapangan, terutama 23 kabupaten/kota se-Aceh agar tidak bertentangan dengan syariat Islam.
"Ada daerah di Aceh, punya 'kebiasan' telah dijadikan adat. Tetapi bertentangan dengan syariat Islam, seperti di tempat pesta. Khususnya malam ada perkempulan muda mudi dengan kondisi lampu mati, dan telah berlangsung begitu lama. Tentu ini ada indikasi pelanggaran syariat Islam di sana. Jadi perlu dikaji dan dipertimbangkan kembali, bagaimana yang dimaksud dengan adat," terangnya.
"Maka di sini, diperlukan peran Majelis Adat Aceh menjelaskan kepada masyarakat adat istiadat tidak bertentangan dengan nilai-nilai budayanya, agamanya, dan norma-norma hukum," tegas Kamaruddin Andalah.
COPYRIGHT © ANTARA News Aceh 2019
"Sejak dari dulu reusam atau qanun ini akan menjadi acuan dasar hukum untuk mengatur kehidupan masyarakat," kata Wakil Wali Kota Langsa Marzuki Hamid di Langsa, Rabu.
Baca juga: Pemkot berharap Langsa Trail Adventure jadi ajang nasional
Ia menjelaskan melalui hukum adat di tingkat gampong ini bisa menghasilkan keputusan yang adil bagi masyarakat, seperti ketika sedang bersengketa dibandingkan dengan proses hukum melalui meja hijau.
Tidak jarang sejumlah perwakilan dari tokoh adat dan tokoh agama di tingkat gampong menggelar musyawarah sebelum mengambil satu keputusan terkait berbagai masalah yang pelik di masyarakat setempat.
Pemkot Langsa juga mengapresiasi terkait keberadaan lembaga wali nanggroe, karena adanya lembaga ini kembali memperkuat adat-istiadat Aceh sampai tingkat gampong.
Baca juga: Pemkot Langsa gelar Gampong Fair setiap tahun
"Bila ada masalah, cukup diselesaikan di meunasah (musholla) dengan bu leukat kuning (nasi ketan). Semua masalah selesai, salam-salaman tanpa ada dendam," terang Marzuki.
Staf Ahli Bidang Pemerintahan, Politik dan Hukum Sekretariat Daerah Aceh Kamaruddin Andalah mewakili Wali Nanggroe Malik Mahmud Al-Haytar menyampaikan beberapa hal menyangkut implementasi dari Undang-undang Nomor 11 tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh.
"Untuk mempercepat implementasi UU No.11/2006 tentang Pemerintah Aceh khususnya masalah adat, sebagaimana kita ketahui bahwa adat istiadat Aceh dikoordinir oleh Wali Nanggroe. Karena itu kewenangan yang diberikan ini, perlu diteruskan hingga ke daerah maupun gampong-gampong melalui perangkat kerja Wali Nanggroe termasuk Majelis Adat Aceh ," sebutnya pada acara sosialisasi lembaga Wali Nanggroe di Langsa.
Baca juga: Wali kota Langsa akan ambil kendaraan dinas tidak terawat
Ia mengatakan, lembaga tersebut juga perlu menyerap beberapa hal terkait penerapan adat istiadat di lapangan, terutama 23 kabupaten/kota se-Aceh agar tidak bertentangan dengan syariat Islam.
"Ada daerah di Aceh, punya 'kebiasan' telah dijadikan adat. Tetapi bertentangan dengan syariat Islam, seperti di tempat pesta. Khususnya malam ada perkempulan muda mudi dengan kondisi lampu mati, dan telah berlangsung begitu lama. Tentu ini ada indikasi pelanggaran syariat Islam di sana. Jadi perlu dikaji dan dipertimbangkan kembali, bagaimana yang dimaksud dengan adat," terangnya.
"Maka di sini, diperlukan peran Majelis Adat Aceh menjelaskan kepada masyarakat adat istiadat tidak bertentangan dengan nilai-nilai budayanya, agamanya, dan norma-norma hukum," tegas Kamaruddin Andalah.
COPYRIGHT © ANTARA News Aceh 2019