Banda Aceh, 23/5 (Antaraaceh) - Para ulama dan akademisi sepakat bahwa salah satu upaya mewujudkan Syariat Islam "kaffah" (menyeluruh) di Aceh yakni dengan menghapuskan praktek riba, terutama dalam transaksi diperbankan.
Sebab, baik kalangan ulama maupun akademisi beralasan Aceh sebagai provinsi berotonomi khusus memiliki peluang besar untuk mewujudkan ekonomi syariah dan menghilangkan praktek riba baik pada transaksi perdagangan maupun perbankan.
Niat baik untuk "mensyariatkan" perbankan di Aceh dari elemen masyarakat di provinsi itu terungkap pada workshop yang diselenggarakan Kaukus Wartawan Peduli Syariat Islam.
Para ulama dan akademisi menyatakan peluang Aceh menerapkan sistem ekonomi Islam karena secara undang undang dibenarkan, misalnya UU Nomor 44/1999 tentang pelaksanaan Syariat Islam, dan UU Nomor 11/2006 tentang Pemerintah Aceh.
Namun, Ketua PWNU Aceh Tgk H Faisal Ali menilai lambannya mewujudkan sistem ekonomi syariah termasuk didalamnya mengatur transaksi perbankan sesuai ajaran Islam itu dikarenakan tidak seriusnya Pemerintah Aceh.
Salah satu contoh, Faisal Ali menyebutkan sudah 13 tahun dideklarasikan Syariat Islam namun hingga kini Aceh belum ada bank syariah yang berdiri sendiri, terutama Bank Aceh.
Ketidakseriusan Pemerintah Aceh, menurutnya dapat dilihat dari penyimpanan dana-dana pemerintah yang hingga kini masih dilakukan di bank konvensional, seperti Bank Aceh.
Sementara itu, Sekjen Himpunan Ulama Dayah Aceh (HUDA) Tgk Bulqaini Tanjungan juga berpendapat Pemerintah Aceh harus segera "mensyariatkan" Bank Aceh, sehingga praktek ribawi tidak lagi "membumi" di negeri berjuluk Serambi Mekah ini.
Sementara itu, Ketua Mahkamah Syariah Aceh Idris Mahmudy mengatakan, tidak ada satu ayat dalam Al Quran maupun Hadist Nabi Muhammad SAW yang menghalalkan riba, karenanya tidak ada alasan bagi Pemerintah Aceh tidak mewujudkan lahirnya Bank Aceh Syariah.
"Aceh sebagai daerah yang menjalankan Syariat Islam itu seharusnya tidak ada lagi bank-bank konvensional. Bukan berarti kita mengusir bank konvensional tapi diperlukan kesadaran kolektif untuk mencintai bank dengan konsep syariah," katanya menjelaskan.
Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Aceh Abdullah Saleh menyatakan untuk pengalihan Bank Aceh dari konvensional ke syariah dibutuhkan dukungan seluruh elemen masyarakat di provinsi itu
"Saya sangat mendukung upaya-upaya untuk 'mensyariatkan' Bank Aceh, dan berharap juga dukungan berbagai elemen masyarakat, sehingga Bank Aceh Syariah bisa segera terwujud," katanya menjelaskan.
Politisi Partai Aceh itu mengharapkan para akademisi dan kalangan ulama agar berperan aktif untuk mengkomunikasikan kepada publik bahwa Syariat Islam tidak hanya mengatur masalah hukum cambuk.
"Syariat Islam tidak hanya hukum cambuk, tapi juga mengatur semua persoalan kehidupan khususnya juga tentang ekonomi dan perbankan. Tidak perlu meragukan dukungan DPRA untuk mewujudkan Bank Aceh Syariah," katanya menambahkan.
Dukung Bank Aceh Syariah
Abdullah Saleh yang juga Ketua Badan legislasi (Banleg) DPRA menjelaskan qanun (perda) tentang pembentukan Bank Aceh Syariah akan menjadi prioritas dibahas legislatif pada 2014. Namun, sejauh ini DPRA belum menerima draf dari qanun tersebut.
"Kami berharap qanun Bank Aceh Syariah dapat disahkan, minimal pada akhir-akhir tugas DPRA periode 2009-2014. Namun semua itu sangat tergantung pada draf dan naskah akademis tentang pembentukan Bank Aceh Syariah dari pemerintah," katanya menjelaskan.
Sementara itu, pakar ekonomi Islam Nazaruddin AW mengatakan Syariat Islam yang diberlakukan di Provinsi Aceh seharusnya tidak hanya mengatur tentang Hukum Jinayah, tapi juga menyangkut ekonomi.
"Artinya, secara luas Syariat Islam itu tidak hanya mengatur tentang Hukum Jinayah, tapi juga masalah muamalah khususnya menyangkut ekonomi," kata dosen Fakultas Syariah Universitas Islam Negeri Ar-Raniry Darussalam itu.
Nazaruddin mencontohkan saat Aceh dibawah kepemimpinan sultan pada masa lalu, seperti Sultan Iskandar Muda juga menerapkan sistem ekonomi Islam dalam menjalankan roda kepemimpinannnya.
"Jadi, masyarakat Aceh sebenarnya sudah lama mengenal sistem ekonomi Islam yang dipraktekkan sejak masa kesultanan. Muamalah bukan hal baru bagi masyarakat mayoritas penduduknya muslim ini," katanya menambahkan.
Nazaruddin menjelaskan, terlalu lamanya konsep ekonomi Islam terbenam karena zaman itu menyebabkan adanya keraguan untuk menerapkannya dalam sistem pemerintahan saat ini termasuk di Aceh.
Padahal, ia mengatakan negara-negara nonmuslim seperti di Uni Eropa saat ini sangat mencintai sistem ekonomi Islam. Bahkan, Inggris telah membuka jaringan ekonomi Islam yang luas.
"Karenanya, kami telah mencoba menggagas agar Pemerintah Aceh dapat menerapkan sistem ekonomi Islam. Kami telah melakukan pendekatan dengan beberapa pihak terkait seperti ulama agar menyampaikan kepada pemerintah tentang sistem ekonomi Islam," katanya menambahkan.
Sebab, Nazaruddin menjelaskan ekonomi Islam adalah ilmu yang mempelajari segala prilaku manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya dengan tujuan memperoleh "falah" atau kedamaian dan kesejahteraan di dunia dan di akherat.
Secara eksternal, Nazaruddin menjelaskan beberapa dukungan untuk menerapkan sistem ekonomi Islam, misalnya banyaknya universitas di dunia mengkaji tentang ekonomi Islam. Pada dataran global, telah banyak lembaga keuangan barat menawarkan produk keuangan syariah.
Di internal, pesatnya pertumbuhan institusi ekonomi Islam seperti perbankan, asuransi (takaful), lembaga keuangan mikro, dan perhotelah. Sebagian besar perguruan tinggi di Aceh juga telah membuka jurusan ekonomi Islam.
Ketua Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh Tgk H Gazali Mohd Syam Aceh menilai isu-isu muamalah, khususnya ekonomi syariah kurang mendapat perhatian.
"Padahal, muamalah ini melekat dalam kehidupan sehari-hari umat muslim. Karena itu, isu-isu muamalah ini harus menjadi fokus utama untuk diperhatikan," katanya menjelaskan.
Menurut Tgk Gazali Mohd Syam, persoalan muamalah merupakan masalah kedua terpenting setelah ibadah. Masalah ini juga bagian integral yang tidak dapat dipisahkan dari syariat Islam.
Secara umum, kata dia, muamalah tersebut telah diterapkan di tengah masyarakat Aceh yang menerapkan syariat Islam. Namun, tidak sedikit dari masyarakat memahami apa itu muamalah.
"Ini terjadi karena kurang perhatian atau muamalah itu sendiri kurang dibicarakan. Karena itu diharapkani isu-isu muamalah menjadi perhatian di masa mendatang," katanya.
Ia mengatakan, syariat Islam bukan hanya semata-mata membahas dimensi ibadah, munakahah, siyasah, dan jinayah saja, tetapi juga masalah muamalah.
Bank Syariah merupakan suatu sistem perbankan yang pelaksanaannya didasarkan pada hukum-hukum Islam. Karenanya, Aceh sebagai salah satu provinsi khusus bidang agama, saatnya juga masyarakat mendambakan sistem ekonomi Islam.
COPYRIGHT © ANTARA News Aceh 2014
Sebab, baik kalangan ulama maupun akademisi beralasan Aceh sebagai provinsi berotonomi khusus memiliki peluang besar untuk mewujudkan ekonomi syariah dan menghilangkan praktek riba baik pada transaksi perdagangan maupun perbankan.
Niat baik untuk "mensyariatkan" perbankan di Aceh dari elemen masyarakat di provinsi itu terungkap pada workshop yang diselenggarakan Kaukus Wartawan Peduli Syariat Islam.
Para ulama dan akademisi menyatakan peluang Aceh menerapkan sistem ekonomi Islam karena secara undang undang dibenarkan, misalnya UU Nomor 44/1999 tentang pelaksanaan Syariat Islam, dan UU Nomor 11/2006 tentang Pemerintah Aceh.
Namun, Ketua PWNU Aceh Tgk H Faisal Ali menilai lambannya mewujudkan sistem ekonomi syariah termasuk didalamnya mengatur transaksi perbankan sesuai ajaran Islam itu dikarenakan tidak seriusnya Pemerintah Aceh.
Salah satu contoh, Faisal Ali menyebutkan sudah 13 tahun dideklarasikan Syariat Islam namun hingga kini Aceh belum ada bank syariah yang berdiri sendiri, terutama Bank Aceh.
Ketidakseriusan Pemerintah Aceh, menurutnya dapat dilihat dari penyimpanan dana-dana pemerintah yang hingga kini masih dilakukan di bank konvensional, seperti Bank Aceh.
Sementara itu, Sekjen Himpunan Ulama Dayah Aceh (HUDA) Tgk Bulqaini Tanjungan juga berpendapat Pemerintah Aceh harus segera "mensyariatkan" Bank Aceh, sehingga praktek ribawi tidak lagi "membumi" di negeri berjuluk Serambi Mekah ini.
Sementara itu, Ketua Mahkamah Syariah Aceh Idris Mahmudy mengatakan, tidak ada satu ayat dalam Al Quran maupun Hadist Nabi Muhammad SAW yang menghalalkan riba, karenanya tidak ada alasan bagi Pemerintah Aceh tidak mewujudkan lahirnya Bank Aceh Syariah.
"Aceh sebagai daerah yang menjalankan Syariat Islam itu seharusnya tidak ada lagi bank-bank konvensional. Bukan berarti kita mengusir bank konvensional tapi diperlukan kesadaran kolektif untuk mencintai bank dengan konsep syariah," katanya menjelaskan.
Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Aceh Abdullah Saleh menyatakan untuk pengalihan Bank Aceh dari konvensional ke syariah dibutuhkan dukungan seluruh elemen masyarakat di provinsi itu
"Saya sangat mendukung upaya-upaya untuk 'mensyariatkan' Bank Aceh, dan berharap juga dukungan berbagai elemen masyarakat, sehingga Bank Aceh Syariah bisa segera terwujud," katanya menjelaskan.
Politisi Partai Aceh itu mengharapkan para akademisi dan kalangan ulama agar berperan aktif untuk mengkomunikasikan kepada publik bahwa Syariat Islam tidak hanya mengatur masalah hukum cambuk.
"Syariat Islam tidak hanya hukum cambuk, tapi juga mengatur semua persoalan kehidupan khususnya juga tentang ekonomi dan perbankan. Tidak perlu meragukan dukungan DPRA untuk mewujudkan Bank Aceh Syariah," katanya menambahkan.
Dukung Bank Aceh Syariah
Abdullah Saleh yang juga Ketua Badan legislasi (Banleg) DPRA menjelaskan qanun (perda) tentang pembentukan Bank Aceh Syariah akan menjadi prioritas dibahas legislatif pada 2014. Namun, sejauh ini DPRA belum menerima draf dari qanun tersebut.
"Kami berharap qanun Bank Aceh Syariah dapat disahkan, minimal pada akhir-akhir tugas DPRA periode 2009-2014. Namun semua itu sangat tergantung pada draf dan naskah akademis tentang pembentukan Bank Aceh Syariah dari pemerintah," katanya menjelaskan.
Sementara itu, pakar ekonomi Islam Nazaruddin AW mengatakan Syariat Islam yang diberlakukan di Provinsi Aceh seharusnya tidak hanya mengatur tentang Hukum Jinayah, tapi juga menyangkut ekonomi.
"Artinya, secara luas Syariat Islam itu tidak hanya mengatur tentang Hukum Jinayah, tapi juga masalah muamalah khususnya menyangkut ekonomi," kata dosen Fakultas Syariah Universitas Islam Negeri Ar-Raniry Darussalam itu.
Nazaruddin mencontohkan saat Aceh dibawah kepemimpinan sultan pada masa lalu, seperti Sultan Iskandar Muda juga menerapkan sistem ekonomi Islam dalam menjalankan roda kepemimpinannnya.
"Jadi, masyarakat Aceh sebenarnya sudah lama mengenal sistem ekonomi Islam yang dipraktekkan sejak masa kesultanan. Muamalah bukan hal baru bagi masyarakat mayoritas penduduknya muslim ini," katanya menambahkan.
Nazaruddin menjelaskan, terlalu lamanya konsep ekonomi Islam terbenam karena zaman itu menyebabkan adanya keraguan untuk menerapkannya dalam sistem pemerintahan saat ini termasuk di Aceh.
Padahal, ia mengatakan negara-negara nonmuslim seperti di Uni Eropa saat ini sangat mencintai sistem ekonomi Islam. Bahkan, Inggris telah membuka jaringan ekonomi Islam yang luas.
"Karenanya, kami telah mencoba menggagas agar Pemerintah Aceh dapat menerapkan sistem ekonomi Islam. Kami telah melakukan pendekatan dengan beberapa pihak terkait seperti ulama agar menyampaikan kepada pemerintah tentang sistem ekonomi Islam," katanya menambahkan.
Sebab, Nazaruddin menjelaskan ekonomi Islam adalah ilmu yang mempelajari segala prilaku manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya dengan tujuan memperoleh "falah" atau kedamaian dan kesejahteraan di dunia dan di akherat.
Secara eksternal, Nazaruddin menjelaskan beberapa dukungan untuk menerapkan sistem ekonomi Islam, misalnya banyaknya universitas di dunia mengkaji tentang ekonomi Islam. Pada dataran global, telah banyak lembaga keuangan barat menawarkan produk keuangan syariah.
Di internal, pesatnya pertumbuhan institusi ekonomi Islam seperti perbankan, asuransi (takaful), lembaga keuangan mikro, dan perhotelah. Sebagian besar perguruan tinggi di Aceh juga telah membuka jurusan ekonomi Islam.
Ketua Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh Tgk H Gazali Mohd Syam Aceh menilai isu-isu muamalah, khususnya ekonomi syariah kurang mendapat perhatian.
"Padahal, muamalah ini melekat dalam kehidupan sehari-hari umat muslim. Karena itu, isu-isu muamalah ini harus menjadi fokus utama untuk diperhatikan," katanya menjelaskan.
Menurut Tgk Gazali Mohd Syam, persoalan muamalah merupakan masalah kedua terpenting setelah ibadah. Masalah ini juga bagian integral yang tidak dapat dipisahkan dari syariat Islam.
Secara umum, kata dia, muamalah tersebut telah diterapkan di tengah masyarakat Aceh yang menerapkan syariat Islam. Namun, tidak sedikit dari masyarakat memahami apa itu muamalah.
"Ini terjadi karena kurang perhatian atau muamalah itu sendiri kurang dibicarakan. Karena itu diharapkani isu-isu muamalah menjadi perhatian di masa mendatang," katanya.
Ia mengatakan, syariat Islam bukan hanya semata-mata membahas dimensi ibadah, munakahah, siyasah, dan jinayah saja, tetapi juga masalah muamalah.
Bank Syariah merupakan suatu sistem perbankan yang pelaksanaannya didasarkan pada hukum-hukum Islam. Karenanya, Aceh sebagai salah satu provinsi khusus bidang agama, saatnya juga masyarakat mendambakan sistem ekonomi Islam.
COPYRIGHT © ANTARA News Aceh 2014