Oleh Kamaruddin Hasan
Banda Aceh 20/10 (Antaraaceh) - Negara sebagai hasil karya agung, pranata prestasi sepanjang zaman peradaban manusia dengan tujuan fitrah mencapai kebahagiaan dunia akhirat. Hakikatnya karena negara, manusia yang melahirkan, maka semua potensi yang melekat pada manusia juga melekat pada negara.
Sebut saja, secara umum manusia memiliki potensi yaitu cognitive atau nalar, daya imajinatif, otot atau motorik sebagai daya gerak dan potensi hati yang kaitanya dengan mentalitas, moralitas, karakter, identitas, kepribadian dan lainnya. Artinya, secara bersamaan Negara juga memiliki potensi-potensi Tersebut
Ketika manusia dan negara hanya mengandalkan dan atau mengutamakan potensi cognitive, imajinatif dan otot saja, tanpa menempatkan potensi hati sebagai yang utama dalam setiap gerak langkah manusia dan negara, maka bisa dilihat, dirasakan, dan dapat dipetik hasilnya dari tingkah polah manusia dan negara yang nihil moral, nihil karakter/kepribadian, zero rasa humanisme, jauh dari tolerasi, hilangnya trust, nihil rasa menghargai perbedaan, hilang jiwa gotongroyong dan sebagainya.
Jadilah manusia dan negara dengan hati/mental kolusi, korupsi dan nepotisme (KKN). Manusia dan Negara dengan sifat atau gaya dehumanisme, etnosentrisme, oportunis, egoism, hedosnisme, kapitalisme bahwa darwinisme. Manusia dan Negara yang penuh dengan fitnah atas dasar sentimen primordial (kelompok, partai dan golongan) yang premature tanpa tanggungjawab.
Mochtar Pabottingi menyebutnya sebagai regresi politik, selain merajalelanya bermuatan fitnah, juga menguatnya oportunisme politik dan “laku begal” manusia dan negara demi kepentingan politik prakmatis bahkan picik, dengan aroma hawa nafsu kekuasaan model Orde Baru yang miskin keabsahan. Regresi seperti itu menjadi kemunduran besar manusia Negara, karena yang sekaligus dilanggar atau dikhianati adalah ideal-ideal sah dari kehidupan bernegara serta beragama di satu sisi dan rasionalitas demokrasi di sisi lain.
Pelanggaran terhadap ideal-ideal di ranah negara-bangsa, iman, dan rasionalitas demokrasi itu dapat berkomplikasi sangat buruk bagi masa depan manusia dan negara. Juga kemunduran serius dari agenda konsolidasi demokrasi di era reformasi.
Memang kalau kita ambil pendapat Ernest Renan, yang menyebutkan bahwa peta politik di tiap negara senantiasa berubah “A nation’s existence is a daily plebiscite“, kehidupan suatu bangsa laiknya plebisit tiap hari. Memang benar seperti itu adanya, tapi yang menjadi masalah adalah bagaimana rangkaian perubahan manusia Negara, mengarah pada kemunduran. Seharusnya menuju kemajuan demokrasi dalam memanusiakan manusia dan Negara.
Sangat disayangkan, ketika manusia dan negara bukan dengan hati dalam memahami tujuannya, amanah yang diembannya, harapan yang disandangnya, kepercayaan yang diberikan padanya. Manusia dan Negara yang tidak mengenal jati dirinya, identitasnya dan budayanya.
Misalnya praktek-praktek politik bernegara dan berbangsa yang cenderung tanpa memperdulikan potensi hati seperti etika, moralitas, karakter atau kepribadian. Bukannya membawa pencerahan dalam pendidikan politik dan demokrasi, malah menghancurkan capital social dan kemunduran demokrasi.
Pertarungan politik lanjutan pasca Pilpres 2014, antara koalisasi Indonesia Hebat (KIH) dengan Koalisasi Merah Putih (KMP), kalau dibiarkan dapat melanggengkan polarisasi kekuatan, kepentingan kelompok dan politik dengan praktek arogansi komunikasi politik yang zero etika dan norma, yang jauh dari prinsip-prinsip bernegara dan berbangsa, yang terjadi malah terkooptasinya hegemoni dan dominasi kepentingan kelompok, golongan dan partai politik.
Kalau itu realitasnya, akan sulit, menggantungkan harapan tentang kemajuan demokrasi, kebangkitan manusia dan negara yang selalu di wacanakan. Harapan agar manusia dan negara mampu bangkit dari keterpurukan, bangkit dari krisis multidimensi, bangkit dari krisis kepemimpinan, bangkit dari terkikisnya nilai-nilai agama, etika/moral, adat-istiadat, budaya, bangkit dari merosotnya identitas dan harga diri.
Maka normatifnya, proses bernegara dan berbangsa, termasuk menjalankan politik Negara adalah dengan menempatkan manusia dan Negara dalam ranah pendidikan politik secara benar dan baik, menjadikannya peduli dengan partisipasi aktif dalam setiap proses politik, termasuk dalam Pemilu.
Maka sangat wajar, manusia dan negara kembali menempatkan potensi hati sebagai poros utama dalam menata kehidupan bernegara dan berbangsa. Potensi utama ini yang mampu menempatkan manusia dan negara yang peka secara sosial, yang berbudaya, yang humanis, yang penuh dengan toleransi, penuh kesetaraan, saling percaya, menghargaan perbedaan, penuh dengan kasih sayang, rasa peduli, terbuka, jujur, sederhana dan lain sebagainya.
Ketika, manusia dan negara mampu mengimplementasikan potensi hati secara baik dan benar, dalam setiap tarikan nafas, setiap gerak, setiap perilaku, setiap proses kebijakan politik, sosial, ekonomi, hukum dan lain-lain akan menuju pada kemajuan bersama.
Dengan kepemimpinan yang secara tulus menyentuh kalbu serta menangkap hasrat-hasrat murni-terdalam pada setiap manusia dan negara akan sanggup menggalang kekuatan raksasa menuju masa depan yang lebih baik, yang mampu melindungi segenap yang hidup didalamnya, mensejahterakan dan menghargai yang melahirkan dan menghidupkannya. Bahkan secara totalitas sustainable mencerdaskan, memajukan demokrasi yang sudah dirintis dengan susah payah.
Sudah sejak awal, manusia nusantara melahirkan negara ini dengan keihklasan dan potensi hati, untuk dijalankan dan diselenggarakan dengan nilai-nilai ketuhanan, keadilan, peradaban, kebersamaan dan diatas kedaulatan manusia nusantara.
Manusia-manusia nusantara, tidak melahirkan negara ini dengan tujuan hanya untuk segelintir manusia serakah, dengan secara terus menerus menciptakan kehidupannya secara tidak benar senikmat disurga, di tengah-tengah manusia lain yang berjuta-juta hidup merana, melarat, lapar, terpinggirkan, terkucilkan, pembiaran dalam kebodohan, dianaktirikan dan hidup dalam ketidakadilan.
Bukan pula bagi manusia hedonis-oportunis, yang menghaburkan uang ratusan ribu bahkan jutaan rupiah hanya untuk satu porsi makan siang atau malam. Padahal dengan uang sejumlah tersebut bagi manusia-manusia nusantara dipedalaman Aceh, Papua, Kalimantan, Sulawesi, Jawa, Maluku, NTB, NTT, pinggiran Jakarta, dan banyak daerah lain, dapat dimakan puluhan bahkan ratusan manusia.
Negara ini dilahirkan oleh manusia nusantara dengan potensi hati untuk dijalankan dengan cara-cara natinurani-kemanusiaan untuk benar-benar menjadi Negara manusia yang mengutamakan potensi hati. Semoga.
COPYRIGHT © ANTARA News Aceh 2014
Banda Aceh 20/10 (Antaraaceh) - Negara sebagai hasil karya agung, pranata prestasi sepanjang zaman peradaban manusia dengan tujuan fitrah mencapai kebahagiaan dunia akhirat. Hakikatnya karena negara, manusia yang melahirkan, maka semua potensi yang melekat pada manusia juga melekat pada negara.
Sebut saja, secara umum manusia memiliki potensi yaitu cognitive atau nalar, daya imajinatif, otot atau motorik sebagai daya gerak dan potensi hati yang kaitanya dengan mentalitas, moralitas, karakter, identitas, kepribadian dan lainnya. Artinya, secara bersamaan Negara juga memiliki potensi-potensi Tersebut
Ketika manusia dan negara hanya mengandalkan dan atau mengutamakan potensi cognitive, imajinatif dan otot saja, tanpa menempatkan potensi hati sebagai yang utama dalam setiap gerak langkah manusia dan negara, maka bisa dilihat, dirasakan, dan dapat dipetik hasilnya dari tingkah polah manusia dan negara yang nihil moral, nihil karakter/kepribadian, zero rasa humanisme, jauh dari tolerasi, hilangnya trust, nihil rasa menghargai perbedaan, hilang jiwa gotongroyong dan sebagainya.
Jadilah manusia dan negara dengan hati/mental kolusi, korupsi dan nepotisme (KKN). Manusia dan Negara dengan sifat atau gaya dehumanisme, etnosentrisme, oportunis, egoism, hedosnisme, kapitalisme bahwa darwinisme. Manusia dan Negara yang penuh dengan fitnah atas dasar sentimen primordial (kelompok, partai dan golongan) yang premature tanpa tanggungjawab.
Mochtar Pabottingi menyebutnya sebagai regresi politik, selain merajalelanya bermuatan fitnah, juga menguatnya oportunisme politik dan “laku begal” manusia dan negara demi kepentingan politik prakmatis bahkan picik, dengan aroma hawa nafsu kekuasaan model Orde Baru yang miskin keabsahan. Regresi seperti itu menjadi kemunduran besar manusia Negara, karena yang sekaligus dilanggar atau dikhianati adalah ideal-ideal sah dari kehidupan bernegara serta beragama di satu sisi dan rasionalitas demokrasi di sisi lain.
Pelanggaran terhadap ideal-ideal di ranah negara-bangsa, iman, dan rasionalitas demokrasi itu dapat berkomplikasi sangat buruk bagi masa depan manusia dan negara. Juga kemunduran serius dari agenda konsolidasi demokrasi di era reformasi.
Memang kalau kita ambil pendapat Ernest Renan, yang menyebutkan bahwa peta politik di tiap negara senantiasa berubah “A nation’s existence is a daily plebiscite“, kehidupan suatu bangsa laiknya plebisit tiap hari. Memang benar seperti itu adanya, tapi yang menjadi masalah adalah bagaimana rangkaian perubahan manusia Negara, mengarah pada kemunduran. Seharusnya menuju kemajuan demokrasi dalam memanusiakan manusia dan Negara.
Sangat disayangkan, ketika manusia dan negara bukan dengan hati dalam memahami tujuannya, amanah yang diembannya, harapan yang disandangnya, kepercayaan yang diberikan padanya. Manusia dan Negara yang tidak mengenal jati dirinya, identitasnya dan budayanya.
Misalnya praktek-praktek politik bernegara dan berbangsa yang cenderung tanpa memperdulikan potensi hati seperti etika, moralitas, karakter atau kepribadian. Bukannya membawa pencerahan dalam pendidikan politik dan demokrasi, malah menghancurkan capital social dan kemunduran demokrasi.
Pertarungan politik lanjutan pasca Pilpres 2014, antara koalisasi Indonesia Hebat (KIH) dengan Koalisasi Merah Putih (KMP), kalau dibiarkan dapat melanggengkan polarisasi kekuatan, kepentingan kelompok dan politik dengan praktek arogansi komunikasi politik yang zero etika dan norma, yang jauh dari prinsip-prinsip bernegara dan berbangsa, yang terjadi malah terkooptasinya hegemoni dan dominasi kepentingan kelompok, golongan dan partai politik.
Kalau itu realitasnya, akan sulit, menggantungkan harapan tentang kemajuan demokrasi, kebangkitan manusia dan negara yang selalu di wacanakan. Harapan agar manusia dan negara mampu bangkit dari keterpurukan, bangkit dari krisis multidimensi, bangkit dari krisis kepemimpinan, bangkit dari terkikisnya nilai-nilai agama, etika/moral, adat-istiadat, budaya, bangkit dari merosotnya identitas dan harga diri.
Maka normatifnya, proses bernegara dan berbangsa, termasuk menjalankan politik Negara adalah dengan menempatkan manusia dan Negara dalam ranah pendidikan politik secara benar dan baik, menjadikannya peduli dengan partisipasi aktif dalam setiap proses politik, termasuk dalam Pemilu.
Maka sangat wajar, manusia dan negara kembali menempatkan potensi hati sebagai poros utama dalam menata kehidupan bernegara dan berbangsa. Potensi utama ini yang mampu menempatkan manusia dan negara yang peka secara sosial, yang berbudaya, yang humanis, yang penuh dengan toleransi, penuh kesetaraan, saling percaya, menghargaan perbedaan, penuh dengan kasih sayang, rasa peduli, terbuka, jujur, sederhana dan lain sebagainya.
Ketika, manusia dan negara mampu mengimplementasikan potensi hati secara baik dan benar, dalam setiap tarikan nafas, setiap gerak, setiap perilaku, setiap proses kebijakan politik, sosial, ekonomi, hukum dan lain-lain akan menuju pada kemajuan bersama.
Dengan kepemimpinan yang secara tulus menyentuh kalbu serta menangkap hasrat-hasrat murni-terdalam pada setiap manusia dan negara akan sanggup menggalang kekuatan raksasa menuju masa depan yang lebih baik, yang mampu melindungi segenap yang hidup didalamnya, mensejahterakan dan menghargai yang melahirkan dan menghidupkannya. Bahkan secara totalitas sustainable mencerdaskan, memajukan demokrasi yang sudah dirintis dengan susah payah.
Sudah sejak awal, manusia nusantara melahirkan negara ini dengan keihklasan dan potensi hati, untuk dijalankan dan diselenggarakan dengan nilai-nilai ketuhanan, keadilan, peradaban, kebersamaan dan diatas kedaulatan manusia nusantara.
Manusia-manusia nusantara, tidak melahirkan negara ini dengan tujuan hanya untuk segelintir manusia serakah, dengan secara terus menerus menciptakan kehidupannya secara tidak benar senikmat disurga, di tengah-tengah manusia lain yang berjuta-juta hidup merana, melarat, lapar, terpinggirkan, terkucilkan, pembiaran dalam kebodohan, dianaktirikan dan hidup dalam ketidakadilan.
Bukan pula bagi manusia hedonis-oportunis, yang menghaburkan uang ratusan ribu bahkan jutaan rupiah hanya untuk satu porsi makan siang atau malam. Padahal dengan uang sejumlah tersebut bagi manusia-manusia nusantara dipedalaman Aceh, Papua, Kalimantan, Sulawesi, Jawa, Maluku, NTB, NTT, pinggiran Jakarta, dan banyak daerah lain, dapat dimakan puluhan bahkan ratusan manusia.
Negara ini dilahirkan oleh manusia nusantara dengan potensi hati untuk dijalankan dengan cara-cara natinurani-kemanusiaan untuk benar-benar menjadi Negara manusia yang mengutamakan potensi hati. Semoga.
COPYRIGHT © ANTARA News Aceh 2014