Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah menyita uang dan beberapa aset dengan nilai sekitar Rp80 miliar terkait dengan kasus dugaan korupsi pelaksanaan proyek pembangunan Dermaga Sabang dibiayai APBN pada tahun anggaran 2006—2011.
"Telah menyita uang dan beberapa aset dengan nilai lebih dari Rp80 miliar dari dua tersangka korporasi dimaksud," ucap Plt. Juru Bicara KPK Ali Fikri dalam keterangannya di Jakarta, Jumat.
Dalam kasus itu, KPK telah menetapkan PT Nindya Karya (Persero) dan PT Tuah Sejati sebagai tersangka.
"Penyitaan uang tersebut karena diduga terkait dengan perkara dan tentu nantinya dalam rangka memaksimalkan asset recovery hasil tindak pidana korupsi," ucap Ali.
KPK juga menyebut kerugian negara yang ditimbulkan dari kasus tersebut senilai Rp313,3 miliar. Selain itu, tim penyidik juga telah memeriksa 140 saksi.
Sebelumnya, Kamis (30/12), KPK juga telah melaksanakan penyerahan tersangka dan barang bukti (tahap kedua) dengan tersangka PT Nindya Karya yang diwakili oleh Plt. Direktur Utama dan PT Tuah Sejati yang diwakili oleh Direktur Utama dari tim penyidik ke tim jaksa karena berkas perkaranya telah dinyatakan lengkap.
Selanjutnya, tim jaksa dalam waktu 14 hari kerja akan melimpahkan berkas perkara dan surat dakwaan ke pengadilan tipikor.
PT Nindya Karya dalam pekerjaan tersebut menjadi "general" kontraktor, sementara PT Tuah Sejati menjadi kontraktor konstruksi. Kedua perusahaan itu menjadi tersangka korporasi sejak 2018.
Dalam kasus tersebut, PT Nindya Karya dan PT Tuah Sejati melalui Heru Sulaksono yang merupakan Kepala PT Nindya Karya Cabang Sumatera Utara dan Nanggroe Aceh Darussalam merangkap kuasa Nindya Sejati Joint Operation diduga telah melakukan korupsi dari proyek senilai total Rp793 miliar yang dibiayai APBN pada tahun anggaran 2006—2011.
Diduga terjadi kerugian keuangan negara sekitar Rp313 miliar dalam pelaksanaan proyek pembangunan dermaga bongkar di kawasan perdagangan bebas dan pelabuhan bebas Sabang. Kedua korporasi ini diduga mendapat keuntungan sejumlah Rp94,58 miliar yang berisiko tidak dapat dikembalikan ke negara jika korporasi tidak diproses.
Dugaan penyimpangan secara umum adalah dengan cara (1) penunjukan langsung, (2) Nindya Sejati Joint Operation sejak awal diarahkan sebagai pemenang pelaksana pembangunan, (3) rekayasa dalam penyusunan HPS dan penggelembungan harga (mark up), (4) pekerjaan utama disubkontrakkan kepada PT Budi Perkara Alam (BPA), dan adanya kesalahan prosedur seperti izin amdal belum ada tetapi tetap dilakukan pembangunan.
Diduga laba yang diterima PT Nindya Karya dan PT Tuah Sejati dari proyek tahun jamak ini adalah sebesar Rp94,58 miliar, yaitu PT Nindya Karya sekitar Rp44,68 miliar dan PT Tuah Sejati sekitar Rp49,9 miliar.
Terhadap PT Nindya Karya dan PT Tuah Sejati disangkakan Pasal 2 ayat (1) dan/atau Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Korupsi sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
COPYRIGHT © ANTARA News Aceh 2021
"Telah menyita uang dan beberapa aset dengan nilai lebih dari Rp80 miliar dari dua tersangka korporasi dimaksud," ucap Plt. Juru Bicara KPK Ali Fikri dalam keterangannya di Jakarta, Jumat.
Dalam kasus itu, KPK telah menetapkan PT Nindya Karya (Persero) dan PT Tuah Sejati sebagai tersangka.
"Penyitaan uang tersebut karena diduga terkait dengan perkara dan tentu nantinya dalam rangka memaksimalkan asset recovery hasil tindak pidana korupsi," ucap Ali.
KPK juga menyebut kerugian negara yang ditimbulkan dari kasus tersebut senilai Rp313,3 miliar. Selain itu, tim penyidik juga telah memeriksa 140 saksi.
Sebelumnya, Kamis (30/12), KPK juga telah melaksanakan penyerahan tersangka dan barang bukti (tahap kedua) dengan tersangka PT Nindya Karya yang diwakili oleh Plt. Direktur Utama dan PT Tuah Sejati yang diwakili oleh Direktur Utama dari tim penyidik ke tim jaksa karena berkas perkaranya telah dinyatakan lengkap.
Selanjutnya, tim jaksa dalam waktu 14 hari kerja akan melimpahkan berkas perkara dan surat dakwaan ke pengadilan tipikor.
PT Nindya Karya dalam pekerjaan tersebut menjadi "general" kontraktor, sementara PT Tuah Sejati menjadi kontraktor konstruksi. Kedua perusahaan itu menjadi tersangka korporasi sejak 2018.
Dalam kasus tersebut, PT Nindya Karya dan PT Tuah Sejati melalui Heru Sulaksono yang merupakan Kepala PT Nindya Karya Cabang Sumatera Utara dan Nanggroe Aceh Darussalam merangkap kuasa Nindya Sejati Joint Operation diduga telah melakukan korupsi dari proyek senilai total Rp793 miliar yang dibiayai APBN pada tahun anggaran 2006—2011.
Diduga terjadi kerugian keuangan negara sekitar Rp313 miliar dalam pelaksanaan proyek pembangunan dermaga bongkar di kawasan perdagangan bebas dan pelabuhan bebas Sabang. Kedua korporasi ini diduga mendapat keuntungan sejumlah Rp94,58 miliar yang berisiko tidak dapat dikembalikan ke negara jika korporasi tidak diproses.
Dugaan penyimpangan secara umum adalah dengan cara (1) penunjukan langsung, (2) Nindya Sejati Joint Operation sejak awal diarahkan sebagai pemenang pelaksana pembangunan, (3) rekayasa dalam penyusunan HPS dan penggelembungan harga (mark up), (4) pekerjaan utama disubkontrakkan kepada PT Budi Perkara Alam (BPA), dan adanya kesalahan prosedur seperti izin amdal belum ada tetapi tetap dilakukan pembangunan.
Diduga laba yang diterima PT Nindya Karya dan PT Tuah Sejati dari proyek tahun jamak ini adalah sebesar Rp94,58 miliar, yaitu PT Nindya Karya sekitar Rp44,68 miliar dan PT Tuah Sejati sekitar Rp49,9 miliar.
Terhadap PT Nindya Karya dan PT Tuah Sejati disangkakan Pasal 2 ayat (1) dan/atau Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Korupsi sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
COPYRIGHT © ANTARA News Aceh 2021