Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Banda Aceh menilai bahwa revisi Qanun (peraturan daerah) Aceh Nomor 6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayat telah mengakomodir hak pemulihan terhadap anak dan perempuan korban kekerasan seksual.
"Kita melihat ada niat perbaikan dari revisi Qanun Jinayat ini, karena ada keseriusan untuk menghukum pelaku dan memulihkan korban," kata Direktur LBH Banda Aceh Syahrul, di Banda Aceh, Kamis.
Syahrul menyampaikan, sebelum dilakukan perubahan, qanun jinayat hanya mengatur bagaimana memberikan hukuman terhadap pelaku kekerasan seksual, dan juga dinilai belum memberikan efek jera kepada pelanggar.
Kemudian, dalam draf revisi saat ini baru dimasukkan tentang pemberatan hukuman hampir sepuluh kali lipat kepada pelaku. Serta mengatur pemulihan terhadap korban.
Setelah revisi qanun disahkan, lanjut Syahrul, maka setiap anak yang menjadi korban kekerasan seksual akan menerima hak restitusi, pendampingan pemulihan psikisnya dan non psikis.
"Maka kita menilai revisi qanun jinayat ini lebih bagus dan baik terhadap upaya pemberian hukuman kepada pelaku kekerasan seksual di Aceh, dan pemulihan korban," ujarnya.
Selain itu, Syahrul juga menuturkan bahwa qanun jinayat juga bahagian kecil dari perlindungan anak. Karena didalamnya tidak mengatur tentang langkah pencegahan terjadinya kasus.
Syahrul melihat untuk langkah pencegahan kekerasan seksual terhadap anak sejauh ini belum dijalankan dengan baik oleh Pemerintah Aceh.
Bahkan, lanjut Syahrul, sampai hari ini belum adanya konsep yang dipublikasikan oleh DP3A Aceh terkait sistem untuk mengurangi angka kekerasan seksual terhadap anak di Aceh.
"Mereka hanya melakukan penindakan saat ada kasus-kasus. Sampai saat ini belum ada konsep dan metode pencegahan yang dilakukan secara baik dan maksimal," katanya.
Karena itu, Syahrul meminta Pemerintah Aceh untuk segera mempertegas bagaimana langkah pencegahan yang harus dilakukan mengingat angka kasus kekerasan seksual anak masih tinggi di Aceh.
Syahrul menyebutkan, berdasarkan data Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) Aceh, sejak Januari sampai September 2022, korban kekerasan terhadap anak dari seluruh kabupaten/kota di Aceh mencapai 443 kasus.
"Periode Januari sampai hari ini masih tinggi kasus kekerasan di Aceh, mulai dari pelecehan, sodomi, pemerkosaan dan incess dan lainnya. Kemudian yang paling tinggi itu adalah pemerkosaan dan pelecehan seksual," demikian Syahrul.
COPYRIGHT © ANTARA News Aceh 2022
"Kita melihat ada niat perbaikan dari revisi Qanun Jinayat ini, karena ada keseriusan untuk menghukum pelaku dan memulihkan korban," kata Direktur LBH Banda Aceh Syahrul, di Banda Aceh, Kamis.
Syahrul menyampaikan, sebelum dilakukan perubahan, qanun jinayat hanya mengatur bagaimana memberikan hukuman terhadap pelaku kekerasan seksual, dan juga dinilai belum memberikan efek jera kepada pelanggar.
Kemudian, dalam draf revisi saat ini baru dimasukkan tentang pemberatan hukuman hampir sepuluh kali lipat kepada pelaku. Serta mengatur pemulihan terhadap korban.
Setelah revisi qanun disahkan, lanjut Syahrul, maka setiap anak yang menjadi korban kekerasan seksual akan menerima hak restitusi, pendampingan pemulihan psikisnya dan non psikis.
"Maka kita menilai revisi qanun jinayat ini lebih bagus dan baik terhadap upaya pemberian hukuman kepada pelaku kekerasan seksual di Aceh, dan pemulihan korban," ujarnya.
Selain itu, Syahrul juga menuturkan bahwa qanun jinayat juga bahagian kecil dari perlindungan anak. Karena didalamnya tidak mengatur tentang langkah pencegahan terjadinya kasus.
Syahrul melihat untuk langkah pencegahan kekerasan seksual terhadap anak sejauh ini belum dijalankan dengan baik oleh Pemerintah Aceh.
Bahkan, lanjut Syahrul, sampai hari ini belum adanya konsep yang dipublikasikan oleh DP3A Aceh terkait sistem untuk mengurangi angka kekerasan seksual terhadap anak di Aceh.
"Mereka hanya melakukan penindakan saat ada kasus-kasus. Sampai saat ini belum ada konsep dan metode pencegahan yang dilakukan secara baik dan maksimal," katanya.
Karena itu, Syahrul meminta Pemerintah Aceh untuk segera mempertegas bagaimana langkah pencegahan yang harus dilakukan mengingat angka kasus kekerasan seksual anak masih tinggi di Aceh.
Syahrul menyebutkan, berdasarkan data Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) Aceh, sejak Januari sampai September 2022, korban kekerasan terhadap anak dari seluruh kabupaten/kota di Aceh mencapai 443 kasus.
"Periode Januari sampai hari ini masih tinggi kasus kekerasan di Aceh, mulai dari pelecehan, sodomi, pemerkosaan dan incess dan lainnya. Kemudian yang paling tinggi itu adalah pemerkosaan dan pelecehan seksual," demikian Syahrul.
COPYRIGHT © ANTARA News Aceh 2022