Selama 18 tahun Aceh dikucurkan dana Otonomi Khusus, alokasi anggaran untuk peningkatan kualitas SDM secara merata tidak terlaksana dengan baik. Hasilnya kualitas angkatan kerja Aceh hari ini bermasalah


Aceh sudah menjalani 18 tahun masa damai, namun provinsi ini masih berkutat dengan angka kemiskinan yang tinggi. Ada beberapa persoalan serius terkait ketenagakerjaan yang membuat Aceh sulit lepas dari jeratan kemiskinan.
 
Tingkat produktivitas angkatan kerja yang rendah, struktur ketenagakerjaan yang didominasi oleh sektor kerja nonformal dan tingkat pendidikan rata-rata angkatan kerja di Aceh yang setengahnya tidak sampai mengenyam pendidikan menengah atas menjadi penyebab Aceh sulit keluar dari jurang kemiskinan.
 
Pemerintah provinsi perlu mengambil kebijakan yang dalam memperbaiki keadaan ini.
 
Data BPS Aceh terkini menunjukkan bahwa angka kemiskinan di beberapa kabupaten di Provinsi Aceh masih cukup tinggi di atas rata-rata provinsi sebesar 15,05 persen. Beberapa kabupaten dengan persentase kemiskinan tertinggi adalah Kabupaten Aceh Singkil 19,18 persen, Gayo Lues 18,87 persen, Pidie 18,79 persen, Bener Meriah 18,39 persen, Simeulue 18,37 persen, Aceh Barat 17,93 persen, Nagan Raya 17,38 persen dan Aceh Utara 16,86 persen.

Baca juga: Masyarakat hukum adat dari perspektif kebijakan pertanahan
 
Tingginya angka kemiskinan di beberapa kabupaten tersebut menunjukkan indikasi bahwa pembangunan di Aceh belum merata. Beberapa daerah seperti Aceh Singkil, Gayo Lues, Bener Meriah dan Simeulue yang salah satunya merupakan daerah terluar masih tertinggal dibandingkan daerah lainnya.

 
Di sisi lain, jumlah angkatan kerja Aceh pada Agustus 2022 sebanyak 2,553 juta orang. Penduduk yang bekerja sebanyak 2,395 juta orang. Sebanyak 922 ribu orang (38,55 persen) bekerja pada kegiatan formal. Sebanyak 1,631 juta orang bekerja pada kegiatan nonformal atau 61.45 persen.
 
Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) Agustus 2022 sebesar 6,17 persen atau 158 ribu orang pengangguran. Sementara tingkat setengah pengangguran pada Agustus 2022 adalah sebesar 10,46 persen.
 
TPAK (tingkat partisipasi angkatan kerja) pada Agustus 2022 sebesar 63,50 persen. TPAK adalah persentase banyaknya angkatan kerja terhadap banyaknya penduduk usia kerja.
 
Sebagian besar penduduk bekerja sebagai pekerja penuh (jam kerja minimal 35 jam per minggu), dengan persentase sebesar 61,50 persen pada Agustus 2022. Sementara 38,50 persen sisanya merupakan pekerja tidak penuh.

Baca juga: BPS sebut penduduk miskin di Aceh bertambah lagi
 
Setengah pengangguran adalah mereka yang jam kerjanya di bawah jam kerja normal (kurang dari 35 jam per minggu) dan masih mencari pekerjaan atau bersedia menerima pekerjaan lain.
 
Tingkat pekerja paruh waktu di Aceh sebesar 28,04 persen, artinya dari 100 orang penduduk bekerja terdapat sekitar 28 orang pekerja paruh waktu. Hal ini menunjukkan rendahnya produktivitas angkatan kerja Aceh, dampaknya adalah pertumbuhan ekonomi Aceh rendah.
 
Dari banyaknya pekerja non-formal yang mencapai angka 61,45 persen, maka potensi untuk kehilangan pekerjaan atau menganggur disebabkan ketidakpastian lapangan kerja.
 
Dari status pekerjaan, hanya sekitar 16,64 persen pekerja yang mampu mempekerjakan orang lain. Mayoritas pekerja lain adalah pegawai,buruh, dan karyawan yang berjumlah 35,20 persen dan wirausaha tanpa dibantu karyawan/buruh jumlahnya 25,54 persen.
Sejumlah pekerja membongkar dan menyelesaikan proyek revitalisasi pasar bina usaha Meulaboh, Aceh Barat, Aceh, Sabtu (14/10/2023). ANTARA FOTO/Syifa Yulinnas/hp. (ANTARA FOTO/SYIFA YULINNAS)
 
Dari segi pendidikan angkatan kerja, hanya 14,21 persen yang merupakan lulusan universitas, 31,55 persen lulusan SMA dan 5,24 persen lulusan SMA Kejuruan. Artinya 49 persen angkatan kerja Aceh tidak sampai mengenyam pendidikan hingga sekolah menengah atas.
 
Kualitas angkatan kerja Aceh terbilang rendah, dilihat dari jumlah pekerja yang hampir setengahnya hanya mengenyam pendidikan SD dan SMP. Masalah peningkatan rata-rata jenjang pendidikan seharusnya jadi perhatian serius Pemerintah Aceh.
 
Ukuran lain produktivitas kerja juga dapat dilihat dari kuantitas jam kerja. Sekitar 38,50 persen penduduk Aceh bekerja di bawah jam kerja normal (di bawah 35 jam per Minggu). Artinya produktivitas angkatan kerja masyarakat Aceh masih sangat rendah.
 
Perlu ada upaya struktural melalui kebijakan pemerintah yang tepat untuk menyediakan lapangan kerja serta membuka sektor usaha kecil dan menengah yang menyerap tenaga kerja untuk mengatasi pengangguran.
 
Selain itu juga perlu perbaikan kebijakan di sektor pendidikan untuk meningkatkan taraf pendidikan rata-rata masyarakat Aceh secara signifikan.
 
Selama 18 tahun Aceh dikucurkan dana Otonomi Khusus, alokasi anggaran untuk peningkatan kualitas SDM secara merata tidak terlaksana dengan baik. Hasilnya kualitas angkatan kerja Aceh hari ini bermasalah.
 
Permasalahan struktur ketenagakerjaan Aceh dan kemiskinan hari ini adalah akumulasi dari kesalahan tata kelola pemerintahan dan kebijakan dalam jangka waktu 18 tahun terakhir pasca damai. Harusnya dana Otsus dimanfaatkan dengan baik untuk peningkatan kualitas SDM Aceh secara merata sehingga isu kemiskinan dapat diatasi.
 
 
Penulis: Jabal Ali Husin Sab, Analis Politik dan Kebijakan Publik di Saman Strategic Indonesia (SSI)

Baca juga: Kemenkeu sebut program PEN selamatkan 5 juta orang dari status miskin baru

Pewarta: Jabal Ali Husin Sab

Editor : Febrianto Budi Anggoro


COPYRIGHT © ANTARA News Aceh 2023