Banda Aceh (ANTARA) - Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbud Ristek) Nadiem Makarim membatalkan kenaikan uang kuliah tunggal (UKT). Keputusan pembatalan ini disampaikan di Istana Merdeka, Jakarta, pada Senin, 27 Mei 2024.
Meski kenaikan uang kuliah tunggal akhirnya dibatalkan, tingginya biaya pendidikan di perguruan tinggi masih akan dihadapi dan dikeluhkan orangtua serta berpotensi membuat para calon mahasiswa mengundurkan diri karena tak sanggup membayar.
“Pupus Mimpi Anak Petani”. Judul berita ini merangkum kisah Fitriani, anak petani penggarap ladang sawit yang mimpinya untuk melanjutkan studi di di Universitas Riau (Unri) terempas karena persoalan mahalnya uang kuliah tunggal atau UKT yang harus dibayarnya. Jumlahnya Rp 8,5 juta per semester. ( Majalah Tempo, 26/5/2024)
Fitri satu-satunya murid Sekolah Menengah Kejuruan Negeri 1 Batang Gangsal yang diterima di Unri via seleksi nasional berdasarkan prestasi atau SNBP. Anak keempat dari enam bersaudara itu membayangkan bisa menjadi orang pertama di keluarga yang kuliah. Tiga kakaknya putus sekolah. Orang tuanya yang sakit-sakitan hanya berpenghasilan tak sampai Rp 3 juta tiap bulan.
Fitri hanyalah satu diantara begitu banyak potret buram calon mahasiswa mundur karena tak mampu membayar uang kuliah.
Dilema kelas menengah
Masyarakat kelas menengah memikul beban berat membiayai anaknya untuk kuliah. Selain peningkatan pendapatan yang tidak sebanding dengan kenaikan uang kuliah, mereka juga terkendala mengakses bantuan biaya pendidikan dari pemerintah, seperti Kartu Indonesia Pintar atau KIP Kuliah.
Dilihat dari populasi mahasiswa, yang merasakan deraan terbesar dari kenaikan uang SPP di PTN/PTNBH adalah mahasiswa golongan kelas menengah, yang pendapatan orangtuanya Rp 5.000.000-Rp 7.500.000 sebulan.
Kelompok ini sekitar 40 persen dari total jumlah mahasiswa. Mereka dalam posisi dilematik dan sangat rentan. Dilematik karena mereka tidak dapat dimasukkan ke dalam golongan I dan II, yang uang kuliahnya antara Rp 500.000 dan Rp 1.000.000, serta tak memenuhi syarat untuk memperoleh beasiswa bidikmisi/Kartu Indonesia Pintar Kuliah (KIPK).
Namun, kalau tidak ditolong dengan beasiswa bidikmisi/KIPK atau keringanan uang kuliah, mereka terancam putus kuliah. Hal itu mengingat kebutuhan kuliah tak hanya SPP, tetapi juga tempat tinggal (kos), makan, transportasi, dan komunikasi.
Keresahan terhadap mahalnya biaya kuliah itu sebetulnya muncul di golongan ini. Kalau yang miskin sekalian bisa ditolong dengan beasiswa yang dasarnya adalah kemampuan ekonomi (bidikmisi/KIPK) serta pengenaan uang kuliah dalam golongan I dan II.
Pada golongan menengah itu tak ada skema apa pun. Peluang hanya pada beasiswa prestasi, tetapi kuota juga terbatas. Kelompok masyarakat kelas menengah membutuhkan pembiayaan yang berkeadilan. Skema pembiayaan menggunakan pinjaman daring bukan solusi karena sangat berpotensi menjerumuskan mahasiswa dan keluarganya dalam jeratan utang berbunga tinggi.
Memang betul, pendidikan tinggi bukan kebutuhan primer, melainkan tersier, kalau mengacu pada Konvensi HAM, khususnya Hak Ekosob. Namun, pandangan seperti itu apabila dilontarkan seorang pejabat Kemendikbudristek sungguh tidak arif dan bijaksana.
Merujuk pada pembukaan Undang-Undang Dasar Negara RI 1945, salah satu tujuan utama berbangsa adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Tujuan mulia ini baru akan tercapai dengan memastikan seluruh warga negara Indonesia tanpa kecuali mendapatkan hak sama dalam mendapatkan pendidikan yang layak dan berkualitas, mulai dari tingkat paling rendah, menengah, hingga tinggi.
Untuk mewujudkan sumber daya manusia yang berkualitas dan berdaya saing menuju Indonesia Emas 2045 yang menjadi target pemerintah di usia 100 tahun kemerdekaan Indonesia. Salah satu yang harus segera dibenahi adalah sistem pendidikan nasional, mulai dari pendidikan anak usia dini hingga pendidikan tinggi.
Polemik UKT tidak boleh dibiarkan berlarut-larut. Pihak terkait perlu merancang skema pendanaan pendidikan tinggi yang berkelanjutan. Tidak boleh lagi ke depan, persoalan seperti UKT menjadi batu sandungan untuk mencapai mimpi menjadi negara maju pada tahun 2045.
Setelah dibatalkannya kebijakan uang kuliah tunggal atau UKT oleh Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nadiem Makarim pada 27 Mei lalu, saatnya kita menemukan solusi kebijakan pembiayaan pendidikan yang bersifat jangka panjang bagi keberlangsungan pendidikan tinggi di Indonesia. Tanpa solusi kebijakan jangka panjang, persoalan yang sama akan kembali muncul pada tahun-tahun berikutnya.
*) Penulis adalah mahasiswa komunikasi penyiaran Islam pada Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Ar-Raniry Banda Aceh.
Dilema Kelas Menengah-Bawah yang Terdampak Kenaikan UKT
Oleh Alif Alqausar Minggu, 16 Juni 2024 15:09 WIB