Menggunakan selempang duta wisata, gadis itu membawa keliling tamunya mengitari anjungan Lhokseumawe yang sudah dipersiapkan dalam rangka Pekan Kebudayaan Aceh (PKA) Ke-8 di Taman Sulthanah Safiatuddin Banda Aceh.
Gedung berukuran sekitar 10x8 meter itu hanya dihiasi foto-foto sejarah pembangunan hingga Pelabuhan Lhokseumawe, serta ragam rempah dari pantai utara, timur, hingga barat selatan Aceh.
Lada, cengkih, kemiri, pala, kunyit, dan ragam rempah lainnya tertata rapi di meja depan dan kiri anjungan daerah yang sempat terkenal dengan Kota Petro Dolar itu.
Semuanya dipersiapkan khusus untuk Pekan Kebudayaan Aceh (PKA) Ke-8 yang berlangsung paea 4--12 November 2023 dengan tajuk "Jalur Rempah: Rempahkan Bumi, Pulihkan Dunia".
Baca juga: Keren! Ada kapal jamaah haji zaman dulu di anjungan Sabang
Event kebudayaan Aceh 4 tahunan tahun ini menyajikan tiga lini masa yakni Aceh masa lalu dengan sejarah dan peradaban dalam konteks jalur rempah.
Lalu, masa kini mengangkat isu terkini dalam perkembangan kebudayaan, pelestarian, pengembangan, hingga pemanfaatannya.
Adapun lini masa depan menegaskan bahwa jalur rempah Aceh dan Nusantara dapat dijadikan sebagai peluang untuk mengembalikan kejayaan rempah pada masa lalu.
Konon, rempah-rempah Aceh mengalami kejayaan pada abad ke-16 hingga akhirnya tercatat dalam peta perdagangan global.
Lhokseumawe memiliki sejarah yang tak terpisahkan. Dahulu, rempah dari Tanah Rencong semuanya dikumpulkan untuk diperdagangkan ke Nusantara maupun luar negeri itu melalui Pelabuhan Lhokseumawe.
Sejarah itu dikuatkan dengan adanya kerajaan Islam pertama di Nusantara yakni Samudera Pasai, serta aktivitas dagang yang sudah kental sejak zaman dulu. Lalu pelabuhan di sana juga sudah sangat ramai dengan pedagang, baik lokal maupun dunia.
Dalam catatan sejarah, jalur rempah dari Lhokseumawe dirintis sejak abad ke-7, saat itu masyarakat sudah mulai memanen hasil pertanian mereka untuk diperdagangkan.
“Sejak abad itu sudah ramai pedagang dari berbagai belahan dunia, mulai dari Eropa, India, Arab, hingga China (ke Lhokseumawe) ,” kata Kabag Protokol dan Komunikasi Pimpinan Setdako Lhokseumawe, Darius.
Baca juga: Sabang sajikan Sie Kari Bak Eumpeuk dan Eungkot Geurapee saat lomba kuliner PKA
Rempah yang diperdagangkan hingga keluar negeri bukan hanya hasil pertanian masyarakat di Tanah Rencong, melainkan dari Pulau Sumatera yang kemudian dikumpulkan ke Lhokseumawe.
Semua itu, karena Lhokseumawe pada abad ke-7 sudah memiliki pelabuhan sehingga hasil rempah-rempah Aceh dan Sumatera dikeluarkan dari Lhokseumawe untuk diekspor ke luar Nusantara.
Dulu, memang terdapat pelabuhan di kawasan Lhokseumawe atau disebut Teluk. Dalam sejarah pada zaman Belanda itu dinamai teluk Seumawe. Dari sanalah kemudian rempah Aceh dikirim hingga ke Eropa.
Wilayah pelabuhan itu merupakan teluk, peta dari zaman Belanda ada Teluk Seumawe. Sentral rempah di situ sejak Kerajaan Samudera Pasai.
Sayangnya, aktivitas perdagangan di Lhokseumawe mengalami kemunduran akibat konflik Kerajaan Samudera Pasai dengan Portugis dan Kerajaan Aceh. Saat itu, Lhokseumawe mendapatkan serangan dari berbagai wilayah.
Kala itu, Portugis ingin menguasai semua urusan perdagangan jalur rempah sehingga akhirnya Kerajaan Samudera Pasai diserang.
Portugis kala itu mau monopoli perdagangan saat itu, mereka ingin mengatur semua aktivitas perdagangan di Aceh.
Hingga kini, Teluk Seumawe masih meninggalkan bekas, sekali-kali saat air laut surut tampak jelas tiang-tiang bekas pelabuhan pada masa lalu tampak di sana.
Imbas dari adanya perdagangan rempah internasional zaman dulu di wilayah Lhokseumawe, menjadikan populasi dan kehidupan masyarakat di sana sangat multikultural. Apalagi dengan munculnya kampung China, Bugis, dan India.
Semua itu karena sejak dulu wilayah tersebut merupakan kawasan terbuka untuk urusan niaga.
Titik jalur rempah Nusantara
Jalur rempah merupakan akses perniagaan yang mengangkut rempah sebagai komoditas utama ke seluruh dunia, dan Aceh menjadi titik terpenting dalam perjalanan rempah di Nusantara mulai abad 16 hingga abad ke 18.
Sejarah mencatat, Kerajaan Samudera Pasai (wilayah utara) dan Kerajaan Aceh Darussalam (di Kutaraja/Banda Aceh) menjadi sentrum perdagangan aneka rempah, terutama lada yang dikenal luas pada masanya. Ini menjadi titik terpenting ekspor rempah ke belahan dunia.
Bagaimana tidak, karena provinsi paling barat Indonesia ini juga berada di wilayah Selat Malaka dari pantai timur utara, hingga Samudera Hindia dari kawasan pesisir pantai barat selatan.
"Aceh patut berbangga karena dari 20 titik jalur rempah Nusantara, dua pusatnya itu berada di Aceh, yakni melalui Samudera Pasai dan Aceh Darussalam," kata Pj. Gubernur Aceh Achmad Marzuki.
Karena menjadi titik terpenting jalur rempah di Nusantara atau sebagai wilayah perantara komoditas rempah untuk negeri barat pada abad ke-16, hal itu menjadikan Aceh diakui dan disegani dunia kala itu.
Karena kejayaan masa itu pula, jalur rempah Aceh tercatat dalam peta perdagangan global, dan diakui oleh bangsa Portugis, Mesir kuno, Yunani, Romawi, China, Arab, dan bangsa lainnya.
Sejak berabad-abad silam, rempah-rempah berperan penting sebagai bumbu masak yang memperkaya khasanah kuliner Nusantara, herbal, obat-obatan, wewangian, dan berbagai kegunaan lainnya.
Dengan segala fungsi dan kegunaannya, rempah telah membentuk kebudayaan bangsa-bangsa di kepulauan Nusantara, serta mengisi berbagai lini kehidupan sosial, budaya, ekonomi, dan politik.
Maka, dalam perjalanan sejarahnya, rempah memberikan dampak besar terhadap perjalanan peradaban dan kontak budaya antarbangsa di dunia, serta mewarnai lanskap perdagangan dunia atau yang dikenal sebagai jalur rempah.
Aceh sebagai titik terpenting jalur rempah Nusantara juga memiliki jejak sejarah yang sangat panjang sebagai daerah penghasil rempah utama, baik dalam lingkup Nusantara maupun dunia.
Jalur rempah juga memengaruhi diplomasi, bahkan konflik politik antarbangsa yang kemudian menandai babak penting perjalanan sejarah bangsa Indonesia, yaitu kolonialisme.
Dukungan untuk warisan dunia
Sejak 2021, jalur rempah Nusantara menjadi program prioritas nasional yang bertujuan menjadikan jalur rempah sebagai warisan budaya dunia, dan Aceh merupakan salah satu titik yang menghubungkan Nusantara dengan dunia.
Guna mendukung program nasional tersebut, Aceh harus kembali bangkit melalui rempah-rempah yang menjadi komoditas unggulan seperti kopi, nilam, pala, sereh wangi, dan lainnya.
Masyarakat harus Aceh mempunyai mimpi besar terkait keberlangsungan jalur rempah Aceh melalui pembentukan Museum Rempah.
Juga untuk mengakomodasi banyaknya temuan manuskrip dan artefak yang memperlihatkan Aceh sebagai lintasan jalur rempah dunia.
Adapun untuk meningkatkan perekonomian Aceh dalam konteks jalur rempah, perlu dibentuk kebun raya rempah di wilayah barat selatan Aceh.
"Semua ini perlu diwujudkan karena nantinya juga dapat dijadikan sebagai living museum dan pusat edukasi herbal Nusantara di Aceh," ujar Marzuki.
PKA Ke-8 tersebut juga menjadi dukungan nyata Pemerintah Aceh demi terwujudnya program prioritas nasional menjadikan rempah sebagai warisan budaya dunia, selain dari upaya mengembalikan kejayaan rempah Aceh.
Baca juga: Madrasah Ibtidaiyah Negeri 1 Banda Aceh menyusuri sejarah Sabang di PKA 8
Rempah Aceh dalam manuskrip
Keberadaan rempah Aceh sejak abad ke 16 bukan hanya isu atau dongeng. Faktanya juga sudah tercatat dalam banyak artefak atau manuskrip yang menceritakan masa kejayaan rempah di Tanah Rencong.
Filolog Aceh, Tarmizi Abdul Hamid alias Cek Midi, menyatakan, kisah dan alur perjalanan rempah banyak terekam dalam manuskrip kuno Aceh,
Di dalam manuskrip tertulis bahwa rempah tidak hanya sebatas produk herbal dan bumbu masakan, tetapi juga menjadi ikon dan falsafah hidup masyarakat Aceh zaman dulu. Itu terekam banyak pada toponimi dan juga catatan utama di dalam beragam manuskrip.
Rempah-rempah yang tertulis di dalam manuskrip merupakan karya pendahulu yang harus dilanjutkan menjadi pengetahuan dan pengembangan lebih lanjut.
Rempah sebagai bahan obat-obatan banyak tercantum dalam karangan kitab ulama-ulama Aceh seperti dalam Kitab Tajul Muluk, Mujarabab, dan masih banyak kitab lainnya dengan judul berbeda yang membahas rempah sebagai ramuan.
Dalam manuskrip rempah juga disebut hasil alam itu sebagai kekuatan orang Aceh pada masa kesultanan. Dengan rempah, Aceh bisa membangun diplomasi dengan negara asing terutama dengan Turki.
Tidak hanya itu, Aceh mampu membuat bandar negosiasi dengan pedagang rempah dunia di Pulau Penang, Malaysia, pada masa kesultanan dahulu sehingga diplomasi dan kekuatan militer terbentuk. Rakyat juga bisa makmur, bahkan hanya dengan rempah.
Para sultan dulu menggunakan hasil bumi yang ada di permukaan, tidak pernah digali seperti emas, batu bara, atau minyak karena hasil rempah sudah memakmurkan rakyat Aceh, bahkan bisa diekspor dan melakukan hubungan dengan negara asing.
Tak hanya itu, dalam manuskrip juga disebutkan rempah menjadi alat tukar masyarakat. Pada masa dulu, masyarakat menukar rempah dengan kertas-kertas berkualitas, dirham, dinar, dan piring-piring keramik.
Piring-piring yang terbuat dari keramik itu bukan dibuat oleh orang Aceh, melainkan bangsa lain yang ditukar dengan rempah.
Kehebatan rempah itulah yang membuatnya disebut sebagai emas hitam bagi masyarakat Aceh.
Dari berbagai manuskrip tercatat, komoditas rempah yang menjadi kekuatan masa kesultanan Aceh adalah lada hitam dan lada putih, kayu manis, kemenyan, dan sarang burung walet. Andalan utama lada sehingga Aceh juga disebut Bangsa Lada.
Menurut Cek Midi, kekuatan rempah Aceh terancam oleh alih fungsi lahan yang saat ini banyak digunakan untuk perkebunan sawit dan pertambangan. Akibatnya, beberapa rempah sudah mulai langka dan sulit ditemukan.
Paling langka kemiri, kulit gaharu, dan cendana, karena keterbatasan lahan yang sudah banyak berubah menjadi perkebunan sawit.
Maka, pelaksanaan PKA Ke-8 ini harus benar-benar menjadi momentum bagi Pemerintah dan masyarakat Aceh untuk mengembalikan kekuatan rempah pada abad ke-21 ini.
"Ambil potensi rempah ini menjadi kekuatan ekonomi bagi rakyat Aceh. Kekuatan yang sudah ada pada masa lalu harus kita manfaatkan lebih baik lagi," harap Cek Midi.
Baca juga: Sambal ganja dan hajam stand BUMdes Abdya jadi pikat pengunjung PKA
COPYRIGHT © ANTARA News Aceh 2023
Gedung berukuran sekitar 10x8 meter itu hanya dihiasi foto-foto sejarah pembangunan hingga Pelabuhan Lhokseumawe, serta ragam rempah dari pantai utara, timur, hingga barat selatan Aceh.
Lada, cengkih, kemiri, pala, kunyit, dan ragam rempah lainnya tertata rapi di meja depan dan kiri anjungan daerah yang sempat terkenal dengan Kota Petro Dolar itu.
Semuanya dipersiapkan khusus untuk Pekan Kebudayaan Aceh (PKA) Ke-8 yang berlangsung paea 4--12 November 2023 dengan tajuk "Jalur Rempah: Rempahkan Bumi, Pulihkan Dunia".
Baca juga: Keren! Ada kapal jamaah haji zaman dulu di anjungan Sabang
Event kebudayaan Aceh 4 tahunan tahun ini menyajikan tiga lini masa yakni Aceh masa lalu dengan sejarah dan peradaban dalam konteks jalur rempah.
Lalu, masa kini mengangkat isu terkini dalam perkembangan kebudayaan, pelestarian, pengembangan, hingga pemanfaatannya.
Adapun lini masa depan menegaskan bahwa jalur rempah Aceh dan Nusantara dapat dijadikan sebagai peluang untuk mengembalikan kejayaan rempah pada masa lalu.
Konon, rempah-rempah Aceh mengalami kejayaan pada abad ke-16 hingga akhirnya tercatat dalam peta perdagangan global.
Lhokseumawe memiliki sejarah yang tak terpisahkan. Dahulu, rempah dari Tanah Rencong semuanya dikumpulkan untuk diperdagangkan ke Nusantara maupun luar negeri itu melalui Pelabuhan Lhokseumawe.
Sejarah itu dikuatkan dengan adanya kerajaan Islam pertama di Nusantara yakni Samudera Pasai, serta aktivitas dagang yang sudah kental sejak zaman dulu. Lalu pelabuhan di sana juga sudah sangat ramai dengan pedagang, baik lokal maupun dunia.
Dalam catatan sejarah, jalur rempah dari Lhokseumawe dirintis sejak abad ke-7, saat itu masyarakat sudah mulai memanen hasil pertanian mereka untuk diperdagangkan.
“Sejak abad itu sudah ramai pedagang dari berbagai belahan dunia, mulai dari Eropa, India, Arab, hingga China (ke Lhokseumawe) ,” kata Kabag Protokol dan Komunikasi Pimpinan Setdako Lhokseumawe, Darius.
Baca juga: Sabang sajikan Sie Kari Bak Eumpeuk dan Eungkot Geurapee saat lomba kuliner PKA
Rempah yang diperdagangkan hingga keluar negeri bukan hanya hasil pertanian masyarakat di Tanah Rencong, melainkan dari Pulau Sumatera yang kemudian dikumpulkan ke Lhokseumawe.
Semua itu, karena Lhokseumawe pada abad ke-7 sudah memiliki pelabuhan sehingga hasil rempah-rempah Aceh dan Sumatera dikeluarkan dari Lhokseumawe untuk diekspor ke luar Nusantara.
Dulu, memang terdapat pelabuhan di kawasan Lhokseumawe atau disebut Teluk. Dalam sejarah pada zaman Belanda itu dinamai teluk Seumawe. Dari sanalah kemudian rempah Aceh dikirim hingga ke Eropa.
Wilayah pelabuhan itu merupakan teluk, peta dari zaman Belanda ada Teluk Seumawe. Sentral rempah di situ sejak Kerajaan Samudera Pasai.
Sayangnya, aktivitas perdagangan di Lhokseumawe mengalami kemunduran akibat konflik Kerajaan Samudera Pasai dengan Portugis dan Kerajaan Aceh. Saat itu, Lhokseumawe mendapatkan serangan dari berbagai wilayah.
Kala itu, Portugis ingin menguasai semua urusan perdagangan jalur rempah sehingga akhirnya Kerajaan Samudera Pasai diserang.
Portugis kala itu mau monopoli perdagangan saat itu, mereka ingin mengatur semua aktivitas perdagangan di Aceh.
Hingga kini, Teluk Seumawe masih meninggalkan bekas, sekali-kali saat air laut surut tampak jelas tiang-tiang bekas pelabuhan pada masa lalu tampak di sana.
Imbas dari adanya perdagangan rempah internasional zaman dulu di wilayah Lhokseumawe, menjadikan populasi dan kehidupan masyarakat di sana sangat multikultural. Apalagi dengan munculnya kampung China, Bugis, dan India.
Semua itu karena sejak dulu wilayah tersebut merupakan kawasan terbuka untuk urusan niaga.
Titik jalur rempah Nusantara
Jalur rempah merupakan akses perniagaan yang mengangkut rempah sebagai komoditas utama ke seluruh dunia, dan Aceh menjadi titik terpenting dalam perjalanan rempah di Nusantara mulai abad 16 hingga abad ke 18.
Sejarah mencatat, Kerajaan Samudera Pasai (wilayah utara) dan Kerajaan Aceh Darussalam (di Kutaraja/Banda Aceh) menjadi sentrum perdagangan aneka rempah, terutama lada yang dikenal luas pada masanya. Ini menjadi titik terpenting ekspor rempah ke belahan dunia.
Bagaimana tidak, karena provinsi paling barat Indonesia ini juga berada di wilayah Selat Malaka dari pantai timur utara, hingga Samudera Hindia dari kawasan pesisir pantai barat selatan.
"Aceh patut berbangga karena dari 20 titik jalur rempah Nusantara, dua pusatnya itu berada di Aceh, yakni melalui Samudera Pasai dan Aceh Darussalam," kata Pj. Gubernur Aceh Achmad Marzuki.
Karena menjadi titik terpenting jalur rempah di Nusantara atau sebagai wilayah perantara komoditas rempah untuk negeri barat pada abad ke-16, hal itu menjadikan Aceh diakui dan disegani dunia kala itu.
Karena kejayaan masa itu pula, jalur rempah Aceh tercatat dalam peta perdagangan global, dan diakui oleh bangsa Portugis, Mesir kuno, Yunani, Romawi, China, Arab, dan bangsa lainnya.
Sejak berabad-abad silam, rempah-rempah berperan penting sebagai bumbu masak yang memperkaya khasanah kuliner Nusantara, herbal, obat-obatan, wewangian, dan berbagai kegunaan lainnya.
Dengan segala fungsi dan kegunaannya, rempah telah membentuk kebudayaan bangsa-bangsa di kepulauan Nusantara, serta mengisi berbagai lini kehidupan sosial, budaya, ekonomi, dan politik.
Maka, dalam perjalanan sejarahnya, rempah memberikan dampak besar terhadap perjalanan peradaban dan kontak budaya antarbangsa di dunia, serta mewarnai lanskap perdagangan dunia atau yang dikenal sebagai jalur rempah.
Aceh sebagai titik terpenting jalur rempah Nusantara juga memiliki jejak sejarah yang sangat panjang sebagai daerah penghasil rempah utama, baik dalam lingkup Nusantara maupun dunia.
Jalur rempah juga memengaruhi diplomasi, bahkan konflik politik antarbangsa yang kemudian menandai babak penting perjalanan sejarah bangsa Indonesia, yaitu kolonialisme.
Dukungan untuk warisan dunia
Sejak 2021, jalur rempah Nusantara menjadi program prioritas nasional yang bertujuan menjadikan jalur rempah sebagai warisan budaya dunia, dan Aceh merupakan salah satu titik yang menghubungkan Nusantara dengan dunia.
Guna mendukung program nasional tersebut, Aceh harus kembali bangkit melalui rempah-rempah yang menjadi komoditas unggulan seperti kopi, nilam, pala, sereh wangi, dan lainnya.
Masyarakat harus Aceh mempunyai mimpi besar terkait keberlangsungan jalur rempah Aceh melalui pembentukan Museum Rempah.
Juga untuk mengakomodasi banyaknya temuan manuskrip dan artefak yang memperlihatkan Aceh sebagai lintasan jalur rempah dunia.
Adapun untuk meningkatkan perekonomian Aceh dalam konteks jalur rempah, perlu dibentuk kebun raya rempah di wilayah barat selatan Aceh.
"Semua ini perlu diwujudkan karena nantinya juga dapat dijadikan sebagai living museum dan pusat edukasi herbal Nusantara di Aceh," ujar Marzuki.
PKA Ke-8 tersebut juga menjadi dukungan nyata Pemerintah Aceh demi terwujudnya program prioritas nasional menjadikan rempah sebagai warisan budaya dunia, selain dari upaya mengembalikan kejayaan rempah Aceh.
Baca juga: Madrasah Ibtidaiyah Negeri 1 Banda Aceh menyusuri sejarah Sabang di PKA 8
Rempah Aceh dalam manuskrip
Keberadaan rempah Aceh sejak abad ke 16 bukan hanya isu atau dongeng. Faktanya juga sudah tercatat dalam banyak artefak atau manuskrip yang menceritakan masa kejayaan rempah di Tanah Rencong.
Filolog Aceh, Tarmizi Abdul Hamid alias Cek Midi, menyatakan, kisah dan alur perjalanan rempah banyak terekam dalam manuskrip kuno Aceh,
Di dalam manuskrip tertulis bahwa rempah tidak hanya sebatas produk herbal dan bumbu masakan, tetapi juga menjadi ikon dan falsafah hidup masyarakat Aceh zaman dulu. Itu terekam banyak pada toponimi dan juga catatan utama di dalam beragam manuskrip.
Rempah-rempah yang tertulis di dalam manuskrip merupakan karya pendahulu yang harus dilanjutkan menjadi pengetahuan dan pengembangan lebih lanjut.
Rempah sebagai bahan obat-obatan banyak tercantum dalam karangan kitab ulama-ulama Aceh seperti dalam Kitab Tajul Muluk, Mujarabab, dan masih banyak kitab lainnya dengan judul berbeda yang membahas rempah sebagai ramuan.
Dalam manuskrip rempah juga disebut hasil alam itu sebagai kekuatan orang Aceh pada masa kesultanan. Dengan rempah, Aceh bisa membangun diplomasi dengan negara asing terutama dengan Turki.
Tidak hanya itu, Aceh mampu membuat bandar negosiasi dengan pedagang rempah dunia di Pulau Penang, Malaysia, pada masa kesultanan dahulu sehingga diplomasi dan kekuatan militer terbentuk. Rakyat juga bisa makmur, bahkan hanya dengan rempah.
Para sultan dulu menggunakan hasil bumi yang ada di permukaan, tidak pernah digali seperti emas, batu bara, atau minyak karena hasil rempah sudah memakmurkan rakyat Aceh, bahkan bisa diekspor dan melakukan hubungan dengan negara asing.
Tak hanya itu, dalam manuskrip juga disebutkan rempah menjadi alat tukar masyarakat. Pada masa dulu, masyarakat menukar rempah dengan kertas-kertas berkualitas, dirham, dinar, dan piring-piring keramik.
Piring-piring yang terbuat dari keramik itu bukan dibuat oleh orang Aceh, melainkan bangsa lain yang ditukar dengan rempah.
Kehebatan rempah itulah yang membuatnya disebut sebagai emas hitam bagi masyarakat Aceh.
Dari berbagai manuskrip tercatat, komoditas rempah yang menjadi kekuatan masa kesultanan Aceh adalah lada hitam dan lada putih, kayu manis, kemenyan, dan sarang burung walet. Andalan utama lada sehingga Aceh juga disebut Bangsa Lada.
Menurut Cek Midi, kekuatan rempah Aceh terancam oleh alih fungsi lahan yang saat ini banyak digunakan untuk perkebunan sawit dan pertambangan. Akibatnya, beberapa rempah sudah mulai langka dan sulit ditemukan.
Paling langka kemiri, kulit gaharu, dan cendana, karena keterbatasan lahan yang sudah banyak berubah menjadi perkebunan sawit.
Maka, pelaksanaan PKA Ke-8 ini harus benar-benar menjadi momentum bagi Pemerintah dan masyarakat Aceh untuk mengembalikan kekuatan rempah pada abad ke-21 ini.
"Ambil potensi rempah ini menjadi kekuatan ekonomi bagi rakyat Aceh. Kekuatan yang sudah ada pada masa lalu harus kita manfaatkan lebih baik lagi," harap Cek Midi.
Baca juga: Sambal ganja dan hajam stand BUMdes Abdya jadi pikat pengunjung PKA
COPYRIGHT © ANTARA News Aceh 2023