Akademisi yang juga Guru Besar Universitas Lampung Prof Bustanul Arifin menyebut Pemerintah Aceh sudah saatnya melakukan percepatan peningkatan nilai tambah atau hilirisasi sektor pertanian, dalam upaya mendongkrak perekonomian di provinsi paling barat Indonesia itu.
“Kalau hanya pertanian saja, tanpa nilai tambah, tanpa hilirisasi, tidak cukup, enggak akan mentas,” kata Bustanul Arifin dalam acara Aceh Economic Forum (AEF) yang digelar Kantor Bank Indonesia Provinsi Aceh di Banda Aceh, Kamis.
Ia menjelaskan Aceh memiliki potensi yang luas biasa untuk sektor pertanian. Bahkan, produk domestik regional bruto (PDRB) Aceh masih didominasi oleh sektor pertanian yang mencapai 30,71 persen, namun masih minim peningkatan nilai tambah.
Secara konsep, menurut Bustanul, pembangunan sektor pertanian Aceh harus diperbaiki. Sebab, konsep pembangunan sebuah daerah atau wilayah itu tidak hanya bertumpu pada sektor primer atau pertanian, tetapi harus ditingkatkan nilai tambah atau hilirisasi.
“Konsep atau pemahaman ini harus diyakini oleh para pengambil keputusan, pelaku usaha juga bahwa kalau hanya mengandalkan primer, itu kurang cukup,” ujarnya.
Prof Bustanul menyoroti produksi gabah kering panen (GKP) di Aceh. Saat ini beras di Aceh masih kualitas medium, sedikit premium, sehingga perlu hilirisasi untuk meningkatkan kualitas. Tentunya, juga harus didukung dengan meningkatkan produktivitas.
“Kalau ada kilang kapasitas yang lebih bagus, efisiensi tinggi, menjaga produksi dan kualitasnya baik, maka petani bisa mendapat harga lebih layak. Di masyarakat bisa stabil dan inflasi bisa terjaga,” ujarnya.
Selain itu, lanjut dia, Aceh tidak perlu lagi menunggu pasokan beras dari Medan, Sumatera Utara untuk memenuhi kebutuhan konsumsi masyarakat. Apabila nilai tambah produk padi sudah ada di Aceh, maka petani akan mendapatkan harga yang lebih layak dan akan meningkatkan kesejahteraan.
"Enggak baik lah, gabah dari sini (Aceh) dibawa ke Medan, terus kita (Aceh) beli lagi dengan harga lebih tinggi, tidak baik nilai tambah diambil orang,” ujarnya.
Ia menambahkan, hilirisasi produk padi tersebut dapat dimulai dari konsolidasi penggilingan skala kecil dan menengah sesuai ketersediaan bahan baku dan infrastruktur pendukung.
Di Aceh, kata dia, dari sekitar 1.000 pabrik penggilingan (kilang) padi, saat ini hanya sekitar 500 pabrik aktif beroperasi membeli gabah dan menggiling padi. Selebihnya tidak dapat bersaing karena kalah modern.
“Pemerintah dan Bank Indonesia perlu memfasilitasi investasi baru penggilingan beras skala besar-modern dan integrasi pembangunan infrastruktur pertanian,” ujarnya.
COPYRIGHT © ANTARA News Aceh 2024
“Kalau hanya pertanian saja, tanpa nilai tambah, tanpa hilirisasi, tidak cukup, enggak akan mentas,” kata Bustanul Arifin dalam acara Aceh Economic Forum (AEF) yang digelar Kantor Bank Indonesia Provinsi Aceh di Banda Aceh, Kamis.
Ia menjelaskan Aceh memiliki potensi yang luas biasa untuk sektor pertanian. Bahkan, produk domestik regional bruto (PDRB) Aceh masih didominasi oleh sektor pertanian yang mencapai 30,71 persen, namun masih minim peningkatan nilai tambah.
Secara konsep, menurut Bustanul, pembangunan sektor pertanian Aceh harus diperbaiki. Sebab, konsep pembangunan sebuah daerah atau wilayah itu tidak hanya bertumpu pada sektor primer atau pertanian, tetapi harus ditingkatkan nilai tambah atau hilirisasi.
“Konsep atau pemahaman ini harus diyakini oleh para pengambil keputusan, pelaku usaha juga bahwa kalau hanya mengandalkan primer, itu kurang cukup,” ujarnya.
Prof Bustanul menyoroti produksi gabah kering panen (GKP) di Aceh. Saat ini beras di Aceh masih kualitas medium, sedikit premium, sehingga perlu hilirisasi untuk meningkatkan kualitas. Tentunya, juga harus didukung dengan meningkatkan produktivitas.
“Kalau ada kilang kapasitas yang lebih bagus, efisiensi tinggi, menjaga produksi dan kualitasnya baik, maka petani bisa mendapat harga lebih layak. Di masyarakat bisa stabil dan inflasi bisa terjaga,” ujarnya.
Selain itu, lanjut dia, Aceh tidak perlu lagi menunggu pasokan beras dari Medan, Sumatera Utara untuk memenuhi kebutuhan konsumsi masyarakat. Apabila nilai tambah produk padi sudah ada di Aceh, maka petani akan mendapatkan harga yang lebih layak dan akan meningkatkan kesejahteraan.
"Enggak baik lah, gabah dari sini (Aceh) dibawa ke Medan, terus kita (Aceh) beli lagi dengan harga lebih tinggi, tidak baik nilai tambah diambil orang,” ujarnya.
Ia menambahkan, hilirisasi produk padi tersebut dapat dimulai dari konsolidasi penggilingan skala kecil dan menengah sesuai ketersediaan bahan baku dan infrastruktur pendukung.
Di Aceh, kata dia, dari sekitar 1.000 pabrik penggilingan (kilang) padi, saat ini hanya sekitar 500 pabrik aktif beroperasi membeli gabah dan menggiling padi. Selebihnya tidak dapat bersaing karena kalah modern.
“Pemerintah dan Bank Indonesia perlu memfasilitasi investasi baru penggilingan beras skala besar-modern dan integrasi pembangunan infrastruktur pertanian,” ujarnya.
COPYRIGHT © ANTARA News Aceh 2024