Bank Indonesia mendorong Pemerintah Aceh untuk memperkuat kerja sama antar daerah (KAD) dalam upaya menjaga ketersediaan stok pangan, terutama komoditas beras yang paling tinggi penyumbang inflasi.
“(Bank Indonesia) mendorong kerja sama antar daerah (KAD) dan stabilisasi suplai gabah untuk menjaga inflasi komoditas beras,” kata Kepala Bank Indonesia {BI) Aceh Rony Widijarto di Banda Aceh, Jumat.
Penyataan itu diutarakan Rony dalam Laporan Perekonomian Aceh Februari 2024, sebagai rekomendasi kebijakan bagi Pemprov Aceh guna mendorong pertumbuhan ekonomi di provinsi paling barat Indonesia itu pada masa akan datang.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat Aceh mengalami inflasi secara tahunan (year-on-year/yoy) sebesar 3,14 persen pada April 2024 atau pada momentum Ramadhan dan Idul Fitri 1445 Hijriah, dengan penyumbang inflasi tertinggi dari komoditas beras sebesar 0,70 persen, disusul bawang merah sebesar 0,44 persen dan cabai merah sebesar 0,39 persen.
Rony menjelaskan, kerjasama antar daerah penting untuk diperkuat. Apalagi pasokan beras Aceh kerap didatangkan dari luar Aceh pada periode-periode tertentu. Padahal jika dihitung secara tahunan, produksi beras Aceh mengalami surplus.
“Gabah dari Aceh dijual ke Sumatera Utara untuk diolah, kemudian beras dijual kembali ke Aceh,” ujarnya.
Baca juga: BI: Aceh perlu perkuat industri pengolahan guna akselerasi pemulihan ekonomi
Kondisi ini, lanjut Rony, menyebabkan harga beras dapat meningkat atau lebih tinggi daripada harga lokal. Maka beras lokal berpotensi kalah saing dengan beras luar yang kualitas lebih baik sehingga akan berdampak pada berkurangnya pendapatan.
Maka, hal yang dapat dilakukan dalam kondisi tersebut ialah menginisiasikan optimalisasi sistem resi gudang (SRG) yang dikelola oleh profesional, terutama untuk komoditas beras dan meningkatkan kualitas pengolahan padi di Aceh untuk menjadi beras kualitas super.
Selanjutnya melakukan kerjasama antar daerah dapat dilakukan untuk memastikan ketersediaan beras di Aceh. KAD dapat dilakukan dalam bentuk gabah, untuk menstabilkan pasokan gabah di Aceh sepanjang tahun.
“Ataupun dapat dilakukan langsung dengan berbentuk beras dengan upaya menstabilkan pasokan sepanjang tahun,” ujarnya.
Di samping itu, Bank Indonesia juga mengingatkan Pemprov Aceh untuk terus menjaga ketersediaan pasokan pangan melalui dua program strategis yaitu peningkatan produksi pangan lokal dan importasi produk pangan.
Kata dia, peningkatan produksi pangan lokal, terutama untuk hortikultura yang kerap menjadi penyumbang inflasi seperti bawang merah, cabai merah, dan cabai rawit. Kemudian produksi komoditas peternakan penyumbang inflasi seperti daging sapi, daging ayam, dan telur ayam, serta peningkatan produksi komoditas perikanan.
“Peningkatan produksi juga didukung oleh pembangunan dan optimalisasi sarana produksi dan infrastruktur pertanian, pembangunan atau rehabilitasi jaringan irigasi, dan kanal pengendalian banjir seperti contoh di Aceh Tamiang,” ujarnya.
Selain itu juga dapat dilakukan korporatisasi klaster petani pangan, dan pengaturan jadwal tanam komoditas pangan. Selanjutnya, juga diperlukan impor komoditas yang sulit diproduksi secara lokal seperti bawang putih dan gula pasir.
Baca juga: Tekan laju inflasi, akademisi dorong BI stabilkan nilai tukar lewat kebijakan moneter
COPYRIGHT © ANTARA News Aceh 2024
“(Bank Indonesia) mendorong kerja sama antar daerah (KAD) dan stabilisasi suplai gabah untuk menjaga inflasi komoditas beras,” kata Kepala Bank Indonesia {BI) Aceh Rony Widijarto di Banda Aceh, Jumat.
Penyataan itu diutarakan Rony dalam Laporan Perekonomian Aceh Februari 2024, sebagai rekomendasi kebijakan bagi Pemprov Aceh guna mendorong pertumbuhan ekonomi di provinsi paling barat Indonesia itu pada masa akan datang.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat Aceh mengalami inflasi secara tahunan (year-on-year/yoy) sebesar 3,14 persen pada April 2024 atau pada momentum Ramadhan dan Idul Fitri 1445 Hijriah, dengan penyumbang inflasi tertinggi dari komoditas beras sebesar 0,70 persen, disusul bawang merah sebesar 0,44 persen dan cabai merah sebesar 0,39 persen.
Rony menjelaskan, kerjasama antar daerah penting untuk diperkuat. Apalagi pasokan beras Aceh kerap didatangkan dari luar Aceh pada periode-periode tertentu. Padahal jika dihitung secara tahunan, produksi beras Aceh mengalami surplus.
“Gabah dari Aceh dijual ke Sumatera Utara untuk diolah, kemudian beras dijual kembali ke Aceh,” ujarnya.
Baca juga: BI: Aceh perlu perkuat industri pengolahan guna akselerasi pemulihan ekonomi
Kondisi ini, lanjut Rony, menyebabkan harga beras dapat meningkat atau lebih tinggi daripada harga lokal. Maka beras lokal berpotensi kalah saing dengan beras luar yang kualitas lebih baik sehingga akan berdampak pada berkurangnya pendapatan.
Maka, hal yang dapat dilakukan dalam kondisi tersebut ialah menginisiasikan optimalisasi sistem resi gudang (SRG) yang dikelola oleh profesional, terutama untuk komoditas beras dan meningkatkan kualitas pengolahan padi di Aceh untuk menjadi beras kualitas super.
Selanjutnya melakukan kerjasama antar daerah dapat dilakukan untuk memastikan ketersediaan beras di Aceh. KAD dapat dilakukan dalam bentuk gabah, untuk menstabilkan pasokan gabah di Aceh sepanjang tahun.
“Ataupun dapat dilakukan langsung dengan berbentuk beras dengan upaya menstabilkan pasokan sepanjang tahun,” ujarnya.
Di samping itu, Bank Indonesia juga mengingatkan Pemprov Aceh untuk terus menjaga ketersediaan pasokan pangan melalui dua program strategis yaitu peningkatan produksi pangan lokal dan importasi produk pangan.
Kata dia, peningkatan produksi pangan lokal, terutama untuk hortikultura yang kerap menjadi penyumbang inflasi seperti bawang merah, cabai merah, dan cabai rawit. Kemudian produksi komoditas peternakan penyumbang inflasi seperti daging sapi, daging ayam, dan telur ayam, serta peningkatan produksi komoditas perikanan.
“Peningkatan produksi juga didukung oleh pembangunan dan optimalisasi sarana produksi dan infrastruktur pertanian, pembangunan atau rehabilitasi jaringan irigasi, dan kanal pengendalian banjir seperti contoh di Aceh Tamiang,” ujarnya.
Selain itu juga dapat dilakukan korporatisasi klaster petani pangan, dan pengaturan jadwal tanam komoditas pangan. Selanjutnya, juga diperlukan impor komoditas yang sulit diproduksi secara lokal seperti bawang putih dan gula pasir.
Baca juga: Tekan laju inflasi, akademisi dorong BI stabilkan nilai tukar lewat kebijakan moneter
COPYRIGHT © ANTARA News Aceh 2024