Peluang investasi Hutan Tanaman Industri sebagai Hutan Tanaman Energi (HTE) di luar Pulau Jawa mencapai luas 832.321 hektare, yang bisa dimanfaatkan pengusaha dari program transisi energi pemerintah untuk mengganti bahan bakar batu bara hingga 10 persen di 52 Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) di Indonesia.

Biomassa kayu diharapkan bisa menjadi salah satu bahan bakar terbarukan guna meningkatkan bauran energi terbarukan sebanyak 23 persen pada tahun 2025 dan 31 persen pada tahun 2050.

Berdasarkan data Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) yang didapatkan ANTARA di Banda Aceh, Senin, peluang investasi untuk HTI tersebar di 11 provinsi di luar Jawa.

Baca juga: Sindikasi lembaga keuangan kucurkan "green loan" Rp12 triliun untuk program transisi energi

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) telah mengatur lokasinya dalam Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan atau PBPH untuk Hutan Tanaman Industri (HTI).

Areal paling luas berada di Provinsi Aceh dan Papua. Ada yang berada pada konsesi HTI yang mendapatkan Surat Keputusan (SK) Pemulihan, seperti di Aceh ada tiga konsesi dengan luas 118.667 Ha. Kemudian di Riau ada dua konsesi (21.910 Ha), Kalimantan Tengah dua konsesi (28.370 Ha), Kaltim tiga konsesi (44.055 Ha), Bangka Belitung dan Kalimantan Barat masing-masing satu konsesi seluas 10.045 Ha dan 9.614 Ha.

Kemudian terdapat peluang di sembilan konsesi HTI yang tidak aktif. Paling luas di Papua ada sebanyak empat konsesi seluas 379.395 Ha, kemudian di Aceh ada satu konsesi seluas 10.384 Ha.

Khusus di Aceh, area paling besar adalah konsesi HTI dari PT Aceh Nusa Indrapuri (ANI) seluas sekitar 97.000 Ha di Kabupaten Aceh Besar dan Pidie.
Daftar areal HTI yang dipulihkan dan HTI tidak aktif yang berpotensi untuk investasi HTE di luar Pulau Jawa. (ANTARA/HO-APHI)

Baca juga: PLN siap pimmpin transisi energi Indonesia

Sejumlah LSM lingkungan menyebut PT ANI awalnya masuk dalam daftar perusahaan yang izin konsesinya akan dicabut, dan program HTE dikhawatirkan akan menimbulkan deforestasi baru karena pembukaan lahan (land clearing) di hutan alam.

Namun, Koordinator Tim Feedstock Biomassa APHI Hadi Siswoyo menyatakan, areal HTI pemulihan dan HTI tidak aktif pada dasarnya adalah areal yang secara legal terletak pada hutan produksi, yang merupakan hutan sekunder atau areal hutan tidak bervegetasi, topografi yang landai, dan tutupan vegetasi awal dll.

Namun karena suatu hal, lanjutnya, konsesi tersebut belum dapat dioperasionalkan, diantaranya karena keterbatasan finansial pemegang izin, industri penerima atau pasar belum tersedia.

"Dengan adanya pemodal baru dan industri penerima atau pembeli seperti pabrik chip dekat lokasi, PLTU dan lain-lain, maka HTI tersebut dapat beroperasi," ujar Hadi Siswoyo, yang juga Wakil Ketua Umum V Masyarakat Energi Biomassa Indonesia (MEBI).

Ia menjelaskan, areal untuk HTI berdasarkan ketentuan teknisnya adalah merupakan hutan sekunder dengan klasifikasi diantaranya kosong dan atau hutan rawang dengan potensi tegakan rata-rata per Ha yang sangat minim. Sesuai tata ruang HTI, areal yang ditanami untuk tanaman cepat tumbuh, maksimal 70 persen, sedangkan untuk bagian areal yang masih memiliki potensi tegakan asal cukup baik, diperuntukkan bagi tanaman unggulan setempat dan kawasan lindung (konservasi).

"Dalam rangka efisiensi investasi, umumnya pelaku usaha HTI sangat memprioritaskan areal kosong dan semak belukar, sehingga biaya persiapan lahan menjadi murah," katanya.


Kebijakan yang diperlukan
Hadi mengatakan perlu ada kebijakan dari pemerintah untuk percepatan rencana HTE di bagian hulu dan hilir agar bisa menarik untuk investasi, dan memastikan produk biomassa bisa diserap di dalam negeri.

Di sektor hulu, pemerintah perlu meregulasi agar ada jaminan penyediaan bibit unggul yang bersertifikat untuk kayu energi. Kemudian dukungan fasilitas penelitian untuk pengembangan jenis tanaman HTE yang memiliki produktivitas yang tinggi, insentif fiskal untuk pengembangan HTE, pendanaan dari Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup (BPDLH) terutama untuk pelaku usaha HTE skala kecil dan atau perhutanan sosial yang menghasilkan kayu energi.

"Pengenaan Pendapatan Negara Bukan Pajak atau PSDH khusus untuk kayu HTE, mengingat masih pengembangan usaha baru pada tahap awal," ujarnya.

Sedangkan disektor hilir, lanjutnya, pemerintah sebaiknya segera menrapkan Peraturan Menteri (Permen) ESDM 12/2023 tentang co-firing, sehingga harga biomassa HTE untuk energi menjadi lebih menarik. Kemudian perlu ada sinergi bisnis pelaku usaha batu bara dan HTE dalam mendukung percepatan transisi energi.

Baca juga: Presiden ajak negara G7 investasi energi bersih di Indonesia

Pewarta: FB Anggoro

Editor : Febrianto Budi Anggoro


COPYRIGHT © ANTARA News Aceh 2024