Kota Banda Aceh di usianya yang pada tahun ini 819 tahun, menyimpan banyak jejak sejarah yang menarik untuk wisatawan saat travelling ke Provinsi Aceh. Kota ini sebenarnya tidak hanya memiliki daya tarik wisata religi seperti Masjid Raya Baiturrahman dan peninggalan bekas tsunami Aceh.

Bagi Anda yang ingin melihat sisi lain pesona Banda Aceh tidak ada ruginya untuk mengunjungi beberapa peninggalan jaman kolonial yang masih ada di pusat kota ini. Objek wisata anti-mainstreem ini menarik bagi Anda yang menyukai sejarah dan arsitektur kuno.

Setidaknya ada peninggalan kolonial yang bisa dijangkau dengan berjalan kaki dari Masjid Raya Baiturrahman. Tempat-tempat ini kerap terlewatkan oleh wisatawan saat mengunjungi Banda Aceh.


Water Toren Kutaradja

Sekitar 50 meter dari sebelah kiri Masjid Raya Baiturrahman terdapat dua peninggalan bersejarah, yakni menara air (water toren), sebuah bangunan ikonik yang dulu berfungsi sebagai penampung air bersih. Water Toren Kutaradja, atau yang lebih dikenal sebagai menara air Kutaradja, merupakan salah satu peninggalan bersejarah dari era kolonial Belanda yang masih tegak berdiri di Banda Aceh. Berlokasi di sekitar Taman Sari, Kampung Baru, Kecamatan Baiturrahman. 

Menara ini dibangun sekitar tahun 1928. Nama Kutaradja sendiri adalah sebutan lama untuk Banda Aceh, yang saat itu menjadi pusat pemerintahan kolonial di Aceh. Menara ini dirancang sebagai bagian dari proyek infrastruktur untuk mendukung sistem penyediaan air bersih dan memperbaiki sanitasi kota. Dibangun dengan beton bertulang, Water Toren memiliki bentuk silinder tinggi dengan diameter yang cukup besar untuk menampung ribuan liter air. Meskipun desainnya sangat fungsional, unsur arsitektur kolonial tetap terlihat melalui jendela kecil dan pintu akses menuju bagian dalam. 
 
Suasana di sekitar Menara Air (Water Toren Kutaradja), peninggalan jaman kolonial Belanda di Kota Banda Aceh pada November 2024. (ANTARA/Rika Tamara)

Di dekat bangunan itu terdapat kedai kopi saring yang biasa ramai setiap hari kerja. Tempat ini cukup menarik untuk dikunjungi wisatawan yang ingin merasakan sarapan tradisional, seperti nasi gurih sambal eungkot keumamah atau sekadar ditemani segelas kopi saring tradisional Aceh.
  
Saat ini Water Toren tidak lagi berfungsi sebagai menara air. Namun, bangunan ini tetap berdiri sebagai cagar budaya yang menyimpan cerita masa lalu Banda Aceh. Namun, kondisi menara terlihat kurang terawat, terlihat dari beberapa bagian yang mulai menunjukkan tanda-tanda kerusakan karena faktor usia.

“Water Toren itu bagian dari sejarah kota kita. Sayang kalau sampai rusak atau diabaikan. Bangunan seperti ini bisa jadi pengingat masa lalu, biar generasi sekarang tahu bagaimana perkembangan Banda Aceh dulu,” ujar Amirukhsin, seorang warga yang duduk ngopi dekat menara air tersebut.


Peninggan Hotel Atjeh

Berseberangan dengan situs Water Toren, terlihat tiang pancang warna-warni yang mencolok di tengah lapangan berumput. Tiang-tiang ini merupakan sisa dari konstruksi pembangunan Hotel Atjeh, sebuah hotel megah yang dibangun pada masa kolonial Belanda dan pernah menjadi kebanggaan Kutaradja kala itu. 

Hotel yang berdiri pada awal abad ke-20 ini dikenal sebagai salah satu hotel pertama dan paling mewah pada masanya. Bahkan, pada 16 Juni 1948, Presiden pertama Indonesia Ir. Soekarno pernah menginap di Hotel Atjeh, menjadikannya saksi bisu perjalanan sejarah Indonesia di masa proklamasi kemerdekaan.
 
Sejumlah warga mengunjungi bekas konstruksi Hotel Atjeh di Kota Banda Aceh pada November 2024. (ANTARA/Rika Tamara)

Namun, seiring berjalannya waktu, hotel tersebut hancur, dan meskipun ada niat untuk membangun hotel baru yang lebih kokoh, proyek itu tak kunjung terlaksana. Yang tersisa kini hanyalah tiang-tiang pancang, berupa balok cor semen yang berfungsi sebagai pasak bumi untuk pembangunan pondasi.  

Herman, seorang tukang becak yang tinggal di sekitar kawasan tersebut mengungkapkan bahwa tiang-tiang warna-warni ini merupakan bagian dari bekas Hotel Atjeh.

"Tiang-tiang ini sisa dari Hotel Atjeh yang dulu terkenal. Sekarang, warga cat dengan warna-warna cerah agar bisa terus mengingatkan kita pada sejarah kota ini," ujarnya.

Meskipun kondisi tiang-tiang tersebut tidak sepenuhnya terawat, keberadaannya tetap menjadi monumen yang menghubungkan generasi muda dengan kisah-kisah masa lalu yang pernah mewarnai Kota Banda Aceh.


Sentral Telepon Kutaradja

Berjarak sekira satu kilometer dari Water Toren, masih berdiri Sentral Telepon Kutaradja. Situs sejarah ini dibangun oleh Belanda dengan nama Nederlandsch Indie Telefon. Lokasinya berada di tengah Taman Wisata Hutan Kota, tepatnya di Jalan Teuku Umar Nomor 1, Gampong Sukaramai, Kecamatan Baiturrahman. 

Sentral Telepon Kutaradja kini telah ditetapkan sebagai salah satu cagar budaya yang melambangkan sejarah perkembangan komunikasi di Aceh di jaman kolonial. Pada masanya, bangunan ini telah mendukung perkembangan infrastruktur komunikasi di Banda Aceh, menjadi pusat pengendalian dan distribusi jaringan telekomunikasi di Kutaradja. 
 
Sejumlah warga mengunjungi bangunan Sentral Telepon Kutaradja peninggalan Belanda di Kota Banda Aceh pada November 2024. (ANTARA/Rika Tamara)

Bangunan ini mengusung gaya arsitektur kolonial Belanda dengan desain yang sederhana namun kokoh, menampilkan struktur yang kuat dan dilengkapi dengan jendela-jendela besar yang memberikan kesan luas pada ruangannya.

Namun, meskipun memiliki nilai historis yang tinggi, bangunan ini kini dalam kondisi yang kurang terawat. Beberapa bagian bangunan mulai menunjukkan tanda-tanda kerusakan, dan minim informasi yang dapat ditemukan di sekitar lokasi untuk mengedukasi masyarakat atau pengunjung tentang sejarah dan peran penting sentral telepon ini di masa lalu. Walaupun lokasinya strategis, di pusat kota, banyak orang yang tidak mengetahui bahwa bangunan ini merupakan cagar budaya karena keberadaannya yang tertutup oleh pepohonan besar di sekitar bangunan itu.

Meskipun memiliki nilai historis yang tinggi, sayangnya banyak situs bersejarah di Kota Banda Aceh kini kurang terawat. Warisan sejarah ini seharusnya mengajak kita untuk lebih peduli dalam melestarikannya, agar tetap menjadi penghubung antar generasi dengan jejak-jejak yang membentuk perjalanan panjang Kota Banda Aceh.


Penulis: Rika Tamara, mahasiswa Komunikasi USK Banda Aceh
 

Pewarta: Redaksi Antara Aceh

Editor : Febrianto Budi Anggoro


COPYRIGHT © ANTARA News Aceh 2024